07/10/12

Kritik Sastra dalam Kunjungan Atah Roy Ke Penyengat

     Kisah ini dimulai dengan kedatangan Atah Roy ke sebuah pulau di Kepulauan Riau yang sangat dikenal oleh masyarakat Melayu di Nusantara dan dunia internasional. Siapakah yang tidak mengenal Pulau Penyengat? Sebuah pulau yang menjadi saksi perjuangan Raja Haji Fisabilillah selaku Yang Dipertuan Muda Riau IV bersama rakyatnya dalam melawan Belanda yang pongah dan serakah. Beliau merupakan salah satu pahlawan Nasional Indonesia. Selain sejarah heroik terkait perlawanan terhadap imperialis dan kolonialis Belanda pada saat itu, Pulau Penyengat juga merupakan tempat lahirnya karya sastra ternama yakni Gurindam 12 karya Raja Ali Haji. Raja Ali Haji merupakan cucu dari Raja Haji Fisabilillah.

      Sosok Atah Roy dengan piawainya memancing keingintahuan Leman Lengkung. Sebuah kata yakni kata ‘beban’ menjadi awal Atah Roy dalam memotivasi Leman Lengkung untuk turut segak dalam kehidupan. Terdapat delapan belas percakapan dalam cerita ini. Hanya dengan delapan belas dialog saja cerita ini sudah dapat memberikan gambaran bahwa Atah Roy ingin menyampaikan agar generasi Melayu terkini sebagai penerus agar dapat mengetahui dan memahami esensi sejarah kegemilangan Melayu baik dalam susastra dan pelbagai hal lainnya. Selain itu Atah Roy mengingatkan agar sejarah kegemilangan orang-orang Melayu mesti diisi dengan berbagai hal yang positif dan bermanfaat.

     Golongan muda yang biasanya gemar menunjukkan eksistensi dalam keberanian memperjuangan segala sesuatu yang bersifat baik untuk orang banyak sekarang agaknya lebih senang duduk tenang dalam ruang-ruang berpenyejuk ruangan (AC) sambil menambah gemuk badan.
      Eksistensi orang muda seperti Leman Lengkung dinyatakan penulisnya dalam kalimat,

“Saye paling geram dengan Atah ni, Atah tak pernah bace karya-karya sastra saye berbentuk puisi tu?”

     Leman Lengkung selaku orang muda marah sedikit agaknya sebab dia dikatakan Atah Roy tidak berbuat sesuatu meski telah membaca tentang sejarah kegemilangan Riau Lingga dan Pulau Penyengat. Kalimat Leman Lengkung itu menjadi bukti bahwa orang-orang muda kebanyakan ingin menunjukkan eksistensi mereka yang telah ‘berbuat’ sesuatu dalam kehidupannya. Meski tujuan ‘berbuat’ sesuatunya itu berdasarkan berbagai motif yang berbeda pula namun hasrat untuk menunjukkan ‘eksistensi’ itu tetap saja diperoleh dari contoh yang diberikan oleh golongan tua dalam kehidupannya.

     Lihatlah disekitar betapa banyak orang tua yang dengan senang hati akan menceritakan tentang apa yang telah diperbuatnya apalagi kalau cerita tentang yang telah dibuatnya itu untuk menambah pencitraan diri agar lebih dikenal baik, lebih dikenal cerdas, lebih dikenal sebagai sosok pro orang banyak dan banyak orang. Tidak hanya golongan tua, ada juga sosok-sosok golongan muda yang dengan arogannya melakukan pencitraan diri tentang apa yang yang telah diperbuatnya di tingkat lokal dan nasional. Padahal mungkin yang diperbuatnya hanya untuk kepentingan diri sendiri dan bukan untuk banyak orang dan orang banyak.

     Tentu saja sebagai seorang sosok orang tua yang telah makan asam garam takkan karya-karya sastra milik Leman Lengkung lepas dari sasaran mata Atah Roy. Dalam kalimat berikut ini terlihat bahwa Atah Roy memberikan kritik sastra terhadap karya Leman Lengkung.

...Puisi dikau terlalu cengeng, siket-siket, aie mate, siket-siket mengeritik orang, macam dikau aje yang betul. Seharusnye dikau bace berulang-ulang Gurindam 12 karya Raja Ali Haji tu; dapat orang berteduh di bawahnye, dapat juge orang berjalan berdasarkan tuntunannye. Puisi dikau tidak,”

     Atah Roy menyatakan bahwa puisi-puisi yang ‘berair mata” dan ‘mengkritik’ dianggap sebagai puisi yang terlalu cengeng. Agaknya kritik ini hanya untuk memotivasi lebih jauh lagi bagaimana pemikiran Leman Lengkung terhadap eksistensinya dalam membuat puisi-puisi.

     Lihat bagaimana Leman Lengkung memberi respon terhadap kritik Atah Roy,

“Tah, zaman dah berbeze. Dulu karya sastra tu memang dibace orang, pade hari ini sastra cume jadi pekerje sampingan, karene tak banyak yang membace karya sastra. Lepas itu, honor karya yang ditulis pun tak dapat dihandalkan, nak beli rokok je susah. Terpakselah penulis karya sastra macam pengemis, mintak sane, mintak sini, kalau punye jaringan yang kuat, dapatlah, kalau tak ade, sampai mampus buku-buku tak terbit.”

     Dalam kalimatnya Leman Lengkung ingin menyampaikan kepada Atah Roy bahwa sekarang sudah zaman yang berbeda. Dulu mungkin tersebab bagian dari Kerajaan dan termasuk golongan bangsawan maka orang-orang dengan mudahnya menggali potensi aktualisasi diri. Betapa tidak bernilai karyanya jika setiap hari kebutuhan-kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi dari pajak-pajak yang dikumpulkan dari orang banyak dan banyak orang. Sekarang jika tidak punya jaringan maka kemungkinan sampai akhir hayat tidak akan diterbitkan buku-buku karya orang yang miskin. Begitulah agaknya pesan yang didapat dari pernyataan Leman Lengkung.

     Namun kerisauan Leman Lengkung tentang eksistensi karya sastra saat ini perlu diberikan pencerahan lagi agar dia semakin bersemangat untuk mengeksplorasi kreativitasnya dalam hal ihwal menulis dan membaca puisi. Jika karya-karya sastra yang ditulis merupakan karya yang bermutu dan memiliki karakter maka peluang untuk menjadikan karya sastra sebagai salah satu sumber ekonomi kreatif tidaklah mustahil. Tidak perlu pula penulis karya sastra sampai menjadi pengemis atau seperti sosok-sosok yang mencari uang dengan tulisan-tulisan tentang ‘kesalahan-kesalahan’ pihak-pihak tertentu dengan tujuan ada ‘amplop-amplop’ kiriman agar tulisan-tulisan itu tidak dilanjutkan dan dihentikan publikasinya. Leman Lengkung hanya mesti cermat meneroka segementasi pasar pembaca karya sastranya sebab dalam pasar sastra tetap berlaku teori-teori ekonomi tentang pemasaran.

     Sejauh mana Leman Lengkung telah berhasil memperkenalkan dan dikenal oleh orang banyak dan banyak orang di tingkat lokal tentu akan membuka peluang-peluang baru untuknya dalam meraih minat pembaca lainnya ditingkat nasional dan internasional. Namun yang paling utama adalah karakteristik dan kekuatan puisi-puisi dan tulisan Leman Lengkung juga merupakan aspek penting yang tidak boleh dilupakan. Jika hanya berharap menulis tentang mencarutmarutkan dan mengkritisi kerja-kerja orang lain serta menimbulkan polemik maka Leman Lengkung hanya akan dikenal tersebab piawainya dalam melempar bola dan menimbulkan polemik tanpa menunjukkan karyanya.

     Semoga ada manfaat yang didapatkan sosok-sosok muda seperti Leman Lengkung dari pesan (Alm) Hasan Junus dalam salah satu tulisannya di kolom Riau Pos.co:

Saudara-saudaraku para pengarang yang berusia muda, sedangkan Václac Havel yang hidup di tengah belantara lebat totaliterisme yang hebat dahsyat, yang lebih sempit dari penjara, yang lebih terkungkung dari penindasan para tiran, yang lebih pedih dari disembelih sedangkan dapat menghasilkan karya-karya besar yang tahan dirempuh waktu apalagi Anda yang jiwa dan badan merdeka tidak terbelenggu.”

     Jika masih kurang berkeyakinan juga untuk tetap berkreativitas dan berkarya maka cobalah memaknai pesan Yusmar Yusuf berikut ini sebagaimana yang telah ditulisnya pada kolomnya di Riau Pos.co,

Jalan seni bukan dunia kerja. Dia bukan urusan tempat orang melamar atau bursa kerja, kemudian dipersepsi lagi sebagai dunia yang serba berjenjang eselon. Seni bukan persoalan sedangkal eselon itu. Dia bakal menjadi bahan tertawaan dunia yang telah menghadirkan seni sebelum agama-agama hadir dengan satu perintah langit; demi keteraturan manusia. Seni ialah sosok purba yang tak pernah takluk oleh para pecundang dalam zaman apapun. Karena seni menghadirkan dirinya pada basis tunggang bernama karya. Maka mereka yang berkaryalah yang memperoleh tempat.”

     Kalau Leman Lengkung tidak hendak menjadi penulis sastra yang ‘pop’ maka jalan-jalan ‘stensilan’ melalui jalur media alternatif dapat menjadi solusinya. Barangkali jalur-jalur seperti sastra cyber juga dapat dimanfaatkan. Leman Lengkung tidak perlu malu pula berupaya membuat sebentuk proposal dalam rangka mencari peluang agar karya-karya sastra miliknya dapat diterbitkan dan didistribusikan. Negara ini saja selalu membuat proposal-proposal untuk mendapatkan pinjaman hutang, menyelenggarakan berbagai helat baik skala baik skala lokal, nasional dan internasional serta peluang mendapatkan penanaman investasi agar pembangunan tetap terus berkembang sehingga dapat menjadi negara maju. Apatah lagi Leman Lengkung, seorang anak muda yang ingin ‘bersastra’ dan bermanfaat karyanya untuk orang banyak dan banyak orang.

      Bukankah Leman Lengkung berada dekat dengan lokasi kerja orang-orang kreatif yang berupaya melahirkan dan mengalirkan sastra dunia? Apalagi yang Leman Lengkung tunggu, sering-seringlah berdiskusi dengan mereka jika ada waktu senggang. Leman lengkung juga dapat mengambil pembelajaran dari jalan-jalan kreatif yang telah dilakukan Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi yang dikatakan merevolusi sastra Indonesia setelah novelnya itu diterjemahkan menjadi The Rainbow Troops dan diterbitkan diberbagai negara. Sebentuk upaya kreatif dari Denny JA dalam mengenalkan karya-karyanya berupa puisi esai dalam dunia sastra Indonesia dan dunia juga merupakan contoh positif dalam upaya mengenalkan karya-karyanya.

     Konsep “Buat, Baca dan Bagi” dari salah seorang sahabat yang aktif dalam dunia media alternatif mungkin dapat diterapkan juga agar karya-karya sastra Leman Lengkung semakin tersebar dan dibaca oleh banyak orang dan orang banyak. Sosok-sosok lain seperti Lemang Lengkung diharapkan untuk dapat terus menulis, menulis dan menulis agar semakin bertambah kaya. Kaya dengan tulisan yang bermakna. Selain itu Leman Lengkung tidak harus menukar keyakinan dan membelokkan ajaran agama yang dianutnya agar menjadi cepat terkenal dan ‘pop’ dalam dunia sastra. Tulis saja apa yang mau ditulis sehingga akhirnya ditemukan tulisan yang terbaik dan penuh nilainya. Segala sesuatunya adalah proses menjadi apa yang Lemang Lengkung inginkan. Menulislah selalu Lemang Lengkung bersama Atah Roy. Atah Roy mampu memberikan kritik sastra yang bermanfaat dan tidak merupakan pengkerdilan atau pembunuhan karakter Lemang Lengkung dalam dunia sastra. Jika terdapat sosok-sosok muda seperti Leman Lengkung dan Atah Roy dalam kehidupan nyata maka jalan-jalan kreatif untuk membuat karya sastra dapat dibaca dan diapresiasi oleh orang banyak dan banyak orang dapat dengan mengirimkannya ke Riau Pos, Majalah Sagang dan Sagang.com. Ketiganya merupakan media yang sudah mendunia disamping berbagai media lainnya yang ada di Indonesia.

      Sosok-sosok seperti Leman Lengkung juga dapat mengenalkan karya-karya dalam kerja-kerja sastra dan aktivitas budaya lainnya melalui Bulan Bahasa dan Sastra dan Jambore Nasional Bahasa dan Sastra, Festival Folklore di Kabupaten Meranti, Mandi Puisi di Kota Dumai, Laman Sastra & Tadarus Puisi di Pekanbaru, Puisi Jazirah di Rokan Hilir, Kongres Sastra Indonesia dengan kegiatan-kegiatan pelatihan  penulisan esai sastra, pentas sastra, dan pagelaran “Api Unggun Sastra” yang diselenggarakan Komunitas Sastra Indonesia, Temu Sastra Indonesia, Parade Obrolan Sastra (Milis APSAS), Ubud Writers and Readers Festival, Temu Nusantara Melayu Raya, Pertemuan Penyair Nusantara, Korea-ASEAN Poets Literature Festival, Ubud Writers and Readers Festival – Bali, Makassar International Writers Festival (Rumah Budaya Rumata Artspace), Forum Lingkar Pena Indonesia – Jakarta, Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim), Southeast Asia Literary Council (Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia) dan berbagai helat sastra lainnya di berbagai benua yang ada di muka bumi ini.

      Dalam cerita Atah Roy telah memberikan kritik sastranya terhadap puisi-puisi Lemang Lengkung dalam cerita ini. Tujuan Atah Roy adalah untuk membuka horison harapan Lemang Lengkung agar menjadi sosok orang muda yang cerdas mengkritisi dan berani mempertanyakan segala hal tanpa harus menjadi ‘perajuk’ jika tidak tertulis namanya dan dibesar-besarkan sebagai seseorang yang telah ‘berbuat’.

    Selain itu juga ditemukan bahwa antara golongan tua dan golongan muda masih sering bertelagah meskipun tidak terlalu besar telagahnya namun percakapan antara Atah Roy dengan Leman Lengkung dapat menjadi buktinya. Saat ini acap kali ditemukan orang-orang tua yang dengan pongahnya mengkerdilkan generasi mudanya yang dianggap tidak dapat berbuat apa-apa. Generasi kosong yang masih mentah dan cengeng. Golongan tua pula yang terkesan menciptakan stigma itu sebagai upaya orang-orang tua yang cemas dan takut dengan golongan muda yang dikhawatirkan akan mengeser posisi enak mereka dalam kehidupan.

     Berapa banyak orang muda yang menjadi pemimpin di negeri ini? Kalaupun ada mungkin itu orang-orang muda yang setali dengan pemegang tali kekang kuda. Golongan tua acap kali memberikan contoh yang tidak baik kepada golongan muda.

     Dalam cerita ini dikisahkan bahwa Leman Lengkung menyindir Atah Roy.

“Sebagai orang tue, ape yang Atah buat? Pandai menyalahkan aje? Lepas tu merajuk kala tak dibawak?”

      Agaknya sifat perajuk yang sering ditemukan dalam masyarakat saat ini adalah hasil nyata perjuangan golongan tuanya yang suka merajuk sehingga sifat itu menurun kepada generasi mudanya. Pada umumnya secara psikologis orang-orang muda itu pemberani dengan darah mudanya. Entah kenapa, mungkin sebab setiap hari sudah diberi teladan untuk ‘merajuk’ saja maka orang-orang muda yang pemberani sudah langka ditemukan saat ini. Paling kita hanya menemukan orang muda yang berani berkata “Gantung saja saya nanti di Monas.”

     Dalam kisah Kunjungan Atah Roy ke Pulau Penyengat terdapat nilai historis yang ingin disampaikan kepada pembacanya yaitu mengenai kegemilangan sastra Melayu di Riau yang mendunia melalui salah satu karya sastra Raja Ali Haji yang berjudul Gurindam 12. Selain itu nilai kesejarahan yang ingin disampaikan adalah mengenai eksistensi sebuah perkumpulan cendekiawan orang-orang Melayu dalam Rusdiyah Klab di Pulau Penyengat. Sedangkan nilai kesusastraan yang ada selain gaya bahasa yang digunakan penulisnya dengan kekuatan karakteristik bahasa Melayu juga terdapat pesan mengenai sebentuk kritik sastra yang telah disampaikan penulis melalui percakapan antara Atah Roy dan Leman Lengkung.

     Di dalam kisah ini juga terdapat teknik memotivasi orang muda dalam diskusi dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan dan kritik tentang eksistensinya agar lebih terbuka cakrawala berpikirnya. Tidak hanya itu saja di dalam kisah Atah Roy ini juga terdapat nilai silaturahim tentang golongan tua masih senang berdiskusi dengan golongan muda. Berbeda dengan saat ini jika tak ada ‘udang di balik batu’ maka tak ada kisah yang muda-muda diberi kesempatan untuk berdiskusi. Kalau diskusi tentang proyek, komisi, jatah uang lelah dan sisa anggaran mungkin berebut-rebutlah semuanya tidak hanya yang tua namun juga yang muda-muda.

     Tidak salah kiranya jika dinyatakan bahwa Atah Roy dan Leman Lengkung adalah sosok-sosok yang ‘istimewa’ meski tak pongah pula mereka berkoar-koar ‘kami istimewa’. Keistimewaannya terlihat pada kecintaan terhadap nilai-nilai lokal yang masih mau menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi meski Atah Roy dan Leman Lengkung sudah terbiasa hidup di pusat kehidupan penuh segala sesuatu yang pekat dengan modrenitas dan dekat dengan kehidupan post-modrenitas nan langka dengan keindahan-keindahan nilai-nilai lokal.

     Hang Kafrawi sebagai salah satu sastrawan Indonesia yang bermastautin di Riau merupakan salah satu penulis dari sekian banyak penulis kreatif di negeri Lancang Kuning. Kisah yang berjudul Kunjungan Atah Roy ke Penyengat merupakan salah satu tulisannya dari 71 kisah dalam Blog Hikayat Atah Roy. Jika diantara pembaca ingin menambah sebentuk kenikmatan saat membaca Atah Roy dalam kisah-kisahnya maka Atah Roy dalam Hantu Duit pada kolom Cerita Pendek pada Riau Pos Spesial dapat menjadi salah satu hidangan berikutnya. Hang Kafrawi telah berhasil menggunakan karakter fiksi yang bernama Atah Roy untuk menjadi sebuah media (medium) untuk menyampaikan pesan (message) yang memiliki makna (meaning) serta bermanfaat untuk para pembaca kisah Hikayat Atah Roy. Setidaknya itulah yang penulis rasakan ketika membaca cerita tentang Atah Roy.

     Syabas, semakin hari makin bertambah pula sosok-sosok kreatif yang akan merubah kerisauan bahwa sastra di Riau menjadi seakan-akan redup setelah beberapa sastrawan besarnya berpulang menghadap Sang Pencipta. Selama kata, kalimat dan paragraf belum dilarang untuk dituliskan maka selama itu pula akan bermunculan penulis-penulis kreatif yang tidak akan terjebak dalam stagnansi untuk berkreativitas meskipun dihadapkan dengan minimnya anggaran dan kurangnya kepedulian berbagai kalangan tentang esensi sastra untuk memanusiakan manusia dan tidak untuk membinatangkan apalagi menjahanamkannya dalam polemik berkepanjangan seperti kisah-kisah usang katak dalam tempurung dan tempurung tengkurap.

     Semoga Hikayat Atah Roy dapat diterbitkan dalam bentuk buku sehingga semakin bertambah kesempatan para pembaca dan penikmat sastra untuk membaca, meneroka dan menelaahnya tidak sebatas hanya di laman-laman online dengan majalah digital dan blog saja.

 

Dari Dumai Cinta Damai, 21 September 2012

Referensi:
Blog Hikayat Atah Roy karya Hang Kafrawi
Kolom Segak – Koran Riau
Kolom Hasan Junus di Riau Pos.co
Kolom Yusmar Yusuf di Riau Pos.com

Playlist:
Ibrahim Sattah - Maut
Sagu Band – Beda Impian
Jeruji – Lawan & Do The Fight

(Tulisan ini pernah dikirimkan kepada 2 buah media cetak dan satu media sastra asing. Sedangkan editor media asing itu menyatakan bahwa mereka tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia sehingga kalau mau kirim tulisan dalam bahasa yang mereka gunakan. Sengaja saya kirimkan dalam Bahasa Indonesia, dalam pengantarnya saya bilang saya mau mempromosikan tulisan saya dan Hikayat Atah Roy serta Sastra Indonesia. Ya sudahlah. Saya muat di blog ini saja biar dapat diapresiasi siapa saja.Ini ditulis sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap kreativitas penulis-penulis kreatif di Riau khususnya penulis kisah-kisah Atah Roy.)

Keterangan: Esei ini sudah dimuat dalam Riau Pos Edisi Ahad 09 Des 2012 

(Tentu saja sudah diedit lagi sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh Redaksi).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar