31/12/13

Menikmati Teater Bangsawan oleh Mahasiswa AKMR & STSR dalam "Mengarak Karya Keliling Riau" Membahagiakan Rakyat



Kedatangan rombongan mahasiswa Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) dan Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) ke Kota Dumai sempena pertunjukan berjudul Mengarak Karya Keliling Riau adalah sebuah upaya kreatif nan luar biasa. Mengapa luar biasa? Apa nan istimewa dari teater kawan-kawan mahasiswa AKMR dan STSR ini?
Mengarak Karya Keliling Riau di Panggung Dewan Kesenian Dumai


Mengarak Keliling Karya Riau yang ditampilkan pada laman Dewan Kesenian Dumai (DKD) merupakan rangkaian dari berkelilingnya mahasiswa AKMR & STSR untuk menampilkan teater bangsawan gubahan mereka. Mereka sebelumnya sudah tampil di Siak Sri Inderapura pada 27 Desember 2013, lalu berteater di Sungai Pakning pada 28 Desember 2013 dan sesudah pertunjukan di Dumai akan berteater pula di Bangko Pusako (Rokan Hilir) pada 30 Desember 2013.
Saya sangat berbahagia sekali dapat menyaksikan penampilan teater ini sebab diantara para lakonnya ada seorang penyair yang sudah memenangi Tarung Penyair Panggung se-Asia tahun 2011 di Tanjung Pinang dan Laman Cipta Sastra se-Riau tahun 2013 di Pekanbaru. Penyair tersebut memang patut menjadi “best of the best” dalam ranah sastra khususnya perpuisian Indonesia sebab dia tak hanya tunak menulis sajak namun juga membaca sajak-sajaknya tanpa melupakan nilai-nilai tradisi dan esensi kearifan lokal. Sebelum ini saya hanya dapat menyaksikannya bersajak dengan perpaduan syair dan puisi melalui YouTube namun sekarang dia sudah ada didepan saya dan kawan-kawan di Dumai yang dari masa ke masa tetap juga setia pada laman Dewan Kesenian Dumai meski hanya sebuah panggung, sound system dan lampu-lampu pencahayaan nan sederhana. Di kesempatan yang berbahagia itu pula saya dapat bertemu muka dengan penulis Hikayat Atah Roy.
Penampilan Teater dengan tajuk Mengarak Karya Keliling Riau dibuka oleh Agoes S. Alam selaku Sekretaris DKD pada pukul21.05 WIB dan kemudian sekapur sirih dari Darwis Mohd. Saleh selaku salah satu seniman Dumai yang juga bergiat untuk menghidupkan teater di Dumai. Setelah itu Eriyanto Hadi selaku PR III STSR memberikan pemaparan tentang tujuan Mengarak Karya Keliling Riau untuk mengenalkan STSR sekaligus memotivasi penggiat-penggiat teater di semerata Riau dalam hal ihwal berteater. Beliau menyebutkan bahwa mereka keliling 8 kota namun dibagi dalam 2 tim. Beliau juga berjanji di tahun 2014 akan kembali membawa teater AKMR dan STSR untuk berkeliling mengarak karya dengan kekuatan penuh. Sebagian teman-teman yang lain tak dapat turut serta sebab sedang menyiapkan orkestra untuk Festival Sungai Carang yang digagas oleh Rida K Liamsi. Bersama rombongan teater AKMR dan STSR juga hadir sastrawan dan penyair sekaligus sosok yang pernah menjadi Direktur AKMR yakni Hang Kafrawi.
Pada malam nan berbahagia itu pula saya diberikan kesempatan oleh Agoes S. Alam untuk memberikan buku Kebersahajaan di Tepian Halmahera kepada Eriyanto Hadi selaku Pembantu Ketua III STSR dan Sekretaris Umum Dewan Kesenian Riau sebelum teater dari AKMR dan STSR tampil membawakan naskahnya. Saya menyampaikan bahwa dalam buku tersebut terdapat sebuah tulisan saya mengenai potensi sastra di Dumai yang sudah saya kirimkan kepada Panitia Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2011. Alhamdulillah, tulisan tersebut diapresiasi sebagai salah satu nominasi dalam kategori esai. Saya sangat berterima kasih atas perkenan Bapak Eriyanto Hadi yang sudah mau menerima buku esai dari saya. Sebenarnya saya hendak menyerahkan bukunya juga kepada beberapa pihak di Andam Budaya Nusantara 2013 namun tersebab saya ini hanya rakyat biasa maka buku-buku kiriman dari Panitia Tulis Nusantara sudah saya bagi-bagikan ke beberapa orang kawan yang bergiat dalam ranah sastra di Dumai.
Di malam itu juga hadir Dawami Bukit Batu,  A Yani AB, Syahrul Affandi, Misli AT, Erik, kawan-kawan Komunitas Musisi Dumai dan masyarakat Dumai yang tertarik untuk menyaksikan teater bangsawan persembahan mahasiswa AKMR dan STSR.
Sebelum pertunjukan utama dimulai, Agoes S. Alam ternyata sudah merencanakan agar kawan-kawan penyair untuk membacakan sajak-sajaknya. Saya juga sangat senang sekali sebab mestilah pada kesempatan yang berbahagia itu kami dapat menyaksikan penampilan Hang Kafrawi dan Jefri Al Malay membaca sajak-sajaknya. Saya agak gugup ketika Agoes S. Alam dari atas panggung melirik-lirik saya. Saya diberi kesempatan pertama untuk membacakan puisi. Saya sudah menyiapkan beberapa puisi. Namun karena senarai utama adalah teater, maka saya membacakan sebuah sajak berjudul “Tempuling” karya Rida K Liamsi.
Setelah itu ada Syahrul Affandi membacakan sebuah puisi berjudul “Tepak Tanah” yang saya tulis. Lalu ada Dawami Bukit Batu yang juga membacakan puisi saya berjudul “Mengasah Kata”. Mereka berdua yang mendadak dijemput membaca puisi dan kebetulan saya selalu membawa beberapa puisi hingga puisi-puisi tersebutlah yang dibacakan.
Kemudian salah seorang penyair Dumai yakni A Yani AB membacakan sebuah puisi yang katanya belum sempat tertulis judulnya namun memiliki larik di mana dadamu kawan? / dimana kukumu kawan?. Belakangan saya menanyakan judul puisinya. Puisi itu berjudul “Kisah Keluh Kesah”. Sesudahnya ada Agoes S. Alam yang membacakan sajak “et la het” dan Tuan Darwis dengan sajak berjudul “Darwis yang Berputar-Putar di Gasing Waktu” yang sarat metafora dan kritik sosial.
Pembacaan beberapa puisi tersebut lebih merupakan sebagai tabik dari kawan-kawan penikmat sastra kepada kawan-kawan teater yang luar biasa hingga rela berkeliling Riau untuk mengarak karya. Namun belum hangat rasanya jika malam itu Hang Kafrawi dan Jefri Al Malay tak membacakan puisi-puisinya. Hang Kafrawi membacakan 2 puisi yakni “Aku Masih Mencintaimu” dan puisi “Aku Datang Tanpa Air Mata”. Lalu setelah beliau, Jefri Al Malay membacakan puisinya yang pernah menobatkannya menjadi pemenang pertama Tarung Penyair Panggung tahun 2011. Puisinya berjudul “Anjung-Anjung”. Meski tanpa visualisasi multi media dan sound system seperti penampilan-penampilan “Anjung-Anjung” sebelumnya namun puisi Jefri Al Malay yang berselendangkan syair nan merdu dan syahdu itu terdengar memukau.
Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, begitulah agaknya kesempatan yang indah malam itu. Selain dapat menyaksikan penampilan teater AKMR dan STSR, saya dapat pula menyaksikan Hang Kafrawi, Jefri Al Malay dan Dawami Bukit Batu membaca puisi. Meski tak semua puisi harus melengking-lengking (meminjam diksi dari Dawami Bukit Batu) namun perlu sekali-sekali sajak-sajak dilengkingkan agar suara-suara yang katanya sudah merdeka itu sampai ke telinga-telinga yang tertutup kotoran debu.
Monda sedang memaparkan tentang "Akibat Usul Tak Diperiksa"
Penampilan utama dimulai pada pukul 22.10 WIB dengan pemparan singkat dari Monda tentang naskah cerita yang ditulis oleh Jefri Al Malay. Monda juga menyebutkan bahwa mereka juga banyak menimba ilmu dari (alm.) Encik Dam, salah seorang seniman teater di Dumai. Dalam penjelasannya disebutkan mereka akan memainkan teater bangsawan. Tak begitu banyak yang saya ketahui tentang teater bangsawan selain imaji-imaji bahwa teater bangsawan mempunyai ciri khas dengan cerita dan busana istana, bangsawan dan kerajaan.
Jefri Al Malay berlakon sebagai Raja, Mando berlakon sebagai Laksamana Senget, Deni Afriandi sebagai Laksamana Bingal/ Laksamana Tengen, Eriyanto Hadi sebagai Mamanda Raja dan diiringi oleh tiga orang pemusik serta dua orang penari sebagai dayang-dayang.
Dari kesan pertama terlihat bahwa teater bangsawan yang dimainkan oleh Jefri Al Malay dan kawan-kawan adalah teater bangsawan kontemporer. Hal ini dibuktikan dari penggunaan kostum yang cenderung pop. Mengapa saya sebutkan pop? Jika hendak mengetahui hal tersebut, silakan saksikan sendiri dokumentasi penampilan mereka (mungkin bisa dengan menghubungi DKD atau Teater AKMR & STSR).
Dalam lakonnya diceritakan bahwa Raja sedang bersenang-senang ketika Laksamana Senget dan Laksamana Bingal datang melaporkan perihal perkembangan terkini di wilayah kekuasaannya. Lalu datang pula Mamanda Bendahara yang membawa setumpuk kertas dalam map kepada Raja. Kedua Laksamana dan Mamanda Bendahara bertengkar akibat saling mempertahankan pendapat tentang mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi rakyat seperti banjir, air nan tak mengalir, jalan yang sudah dibangun namun ada pula yang belum dibangun, saluran aliran air ke laut yang terhambat dan tersumbat tersebab lokeknya perusahaan pemilik tanah melebarkan parit-parit untuk mengalirkan air dari darat ke laut. Padahal jika curah hujan begitu tinggi, alamatlah tempat tinggal rakyat ada yang tenggelam dan bisa jadi hanyut. Belum lagi masalah ada seniman-seniman yang bising-bising. Begitulah Mamanda Bendahara melaporkan perkembangan terkini kepada Raja. Kata Mamanda Bendahara, tak usah sampai seniman-seniman demonstrasi pula. Mungkin agaknya jika seniman-seniman demonstrasi semakin pusing kepala dan sakit telinga Raja akibat kebisingannya. Cerita punya cerita, dalam kemunculan konflik terlihat Laksamana berseteru dengan Mamanda Bendahara sehingga Rajapun marah sebab dia sedang bersenang-senang. Raja mendamaikan mereka dan menceritakan perihal mimpi-mimpinya.
Alkisah dalam lakon tersebut Raja bermimpi bertemu seorang gadis nan cantik namun sayangnya setelah dilihat secara seksama gadis itu memiliki muka datar. Dua Laksamana kemudian menafsirkan bahwa Raja akan memperoleh Permaisuri. Mereka sudah ada bertemu Putri yang dimaksud oleh Raja. Lalu Raja menitahkan agar mereka untuk segera menjemput Putri yang dimaksud.
Penampilan Teater Bangsawan AKMR & STSR memang sangat menarik sebab mereka berhasil membuat para penonton tertawa-tawa terpingkal-pingkal terkekeh-kekeh. Satu hal yang menarik ketika hujan mulai turun kembali dan membuat para penonton berpindah ke posisi yang tidak terkena hujan, para pelakon langsung mengubah setting panggung mereka agar para penonton dapat mengikuti jalannya lakon sesuai dengan sudut pandang yang sesuai. Penonton adalah raja. Begitulah pesan yang hendak disampaikan mereka.
Maklumlah di Dumai belum ada Gedung Kesenian hingga penampilan-penampilan kesenian seperti ini seringkali terganggun akibat cuaca. Lalu banyak pula kegiatan kesenian yang menumpang-numpang di tempat lain. Entahlah, padahal di saat yang bersamaan juga banyak dibangun gedung-gedung lain.
Masing-masing pelakon berhasil melakonkan perannya masing-masing. Seperti Eriyanto Hadi yang berlakon sebagai Mamanda Bendahara tampil sangat jenaka. Meskipun penuh kejenakaan, cerita yang dimainkan oleh Teater AKMR & STRS sarat dengan amanat dan kritik sosial tentang imbauan agar penyelenggara pembangunan segera menunaikan janji-janji dan program-programnya dan juga imbauan kepada perusahaan-perusahaan besar agar turut serta memberikan solusi nyata atas dampak kesehatan, sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan di wilayah tempat beroperasinya perusahaan-perusahaan tersebut.
         “Selendang Merah di Atas Kursi” adalah sebuah majas nan menarik dalam cerita Akibat Usul Tak  Diperiksa, naskah karya Jefri Al Malay yang dimainkan oleh Teater AKMR & STSR.  Majas tersebut berdasarkan salah satu adegan dimana selendang merah diletakkan pada kursi yang menjadi singgasana Raja.
Dalam klimaks, Raja tidak mau menerima Putri yang dijemput oleh kedua Laksamana sebab tidak sesuai dengan harapan. Raja memerintahkan Laksamana untuk menangkap Putri sebab tidak menyenangkan hati Raja.
Alkisah akhir cerita, Raja mengajak Mamanda Bendahara bersenang-senang dengan menari bersama dayang-dayang.
Tak terasa sudah satu jam lebih dan para penonton khususnya saya sendiri merasa sangat puas dan senang dapat menyaksikan cerita yang dilakonkan Teater AKMR & STSR.
Seperti biasa selalu ada diskusi seusai penampilan kegiatan kesenian di Panggung DKD (sebuah panggung sederhana namun luar biasa manfaatnya). Diskusi pada malam itu diisi oleh Monda, Darwis Mohd. Saleh, Hang Kafrawi, Dawami Bukit Batu selaku Pimpinan Redaksi Dumai Pos dan Agoes S.Alam. Dalam diskusi Hang Kafrawi menyebutkan bahwa Teater Bangsawan AKMR & STSR sudah masuk ke ranah teater kontemporer sebab Jefri Al Malay, Monda, dkk mencoba eksplorasi untuk melepaskan pakem-pakem teater bangsawan. Hal itu beliau buktikan dengan menyatakan bahwa Teater AKMR & STSR tampil dinamis saat berlakon. Ketika para penonton mengubah posisinya untuk melihat maka para pelakon juga berani mengubah setting bermain agar selaras dengan sudut pandang para penonton. 
 
Diskusi perihal Teater : Monda, Darwis Mohd. Saleh, Hang Kafrawi, Dawami Bukit Batu & Agoes S. Alam
 Sementara Dawami Bukit Batu sedikit bernostalgia bahwa beliau dulu juga sering menyaksikan lakon-lakon Teater Bangsawan di Bukit Batu. Sebuah kabar gembir juga disampaikan oleh Dawami Bukit Batu bahwa Dumai Pos akan menyiapkan Halaman Budaya dalam Harian Dumai Pos.
Dalam diskusi tersebut juga disampaikan harapan-harapan dari Darwis Mohd. Saleh tentang impian beliau untuk menyelenggarakan Pentas Apung yang menampilkan teater-teater. Belum lagi ada wacana kalau perlu juga diselenggarakan Festival Sungai Dumai ataupun Festival Bandar Bakau seperti halnya Festival Sungai Carang.  Sedangkan Eriyanto Hadi selaku PR III STSR menyampaikan dalam diskusi tentang dinamika terkini perihal eksistensi STSR.
Sepengetahuan saya memang sudah terdapat beberapa atraksi kesenian yang sudah dilaksanakan maupun yang masih berupa konsep di Dumai namun di masa mendatang atraksi-atraksi kesenian itu perlu untuk ditingkatkan baik secara kualitas maupun kuantitas termasuk juga dukungan moral dan moril dari semua pihak khususnya masalah anggaran. Sedangkan penyelenggara pembangunan saja ada yang berkeluh kesah tak dapat melaksanakan program kegiatan kesenian akibat tak ada anggaran apatah lagi para penggiat kesenian. Namun ketiadaan dan keterbatasan anggaran tidak akan menjadi hambatan dalam berkreativitas sebab karya-karya seni adalah yang utama.
Apakah atraksi-atraksi dan kegiatan kesenian tidak termasuk karya seni? Ya, mereka adalah karya-karya seni dalam pertunjukan.
Saya berharap bahwa naskah-naskah teater juga dapat dibukukan agar bermanfaat sebagai sumber pelajaran pelajar saat belajar kesenian di sekolah-sekolah.
Semoga di tahun 2014 dapat pula Teater AKMR & STSR serta penyair-penyair Riau & Kepulauan Riau singgah ke Dumai meski sekejap sempena Mengarak Karya Keliling Riau.
Riau ini memiliki 10 Kabupaten, 2 Kota, 163 Kecamatan, 241 Kelurahan, 1.594 Desa (Data Wilayah Administrasi Ditjen DukCapil Kemendagri, Desember 2012) hingga alangkah indahnya jika di tahun 2014 juga diselenggarakan Mengarak Karya Keliling Riau di setiap Kabupaten dan Kota semerata Riau dengan lebih memperbanyak jemputan, promosi dan publikasi ke pelbagai pihak khususnya sektor pendidikan.
Eksistensi AKMR & STSR juga dapat menjadi barometer agar didirikan pula SMK-SMK Kesenian di semerata Riau.
Mengapa dikatakan bahwa Teater AKMR & STSR membahagiakan rakyat? Sebab rakyat terhibur dengan lakon yang dimainkan oleh mereka. Hiburan tentu tujuannya untuk menyenangkan sekaligus juga memiliki fungsi pendidikan melalui amanat-amanat dalam cerita.
Demikianlah catatan saya di penghujung tahun 2013 tentang Teater AKMR & STSR yang sudah Mengarak Karya Keliling Riau.  Semoga bermanfaat. Terima kasih.

Ralat: Berdasarkan keterangan Jefri Al Malay melalui facebook kepada saya bahwa judul naskahnya adalah Akibat Tak Usul Periksa bukan Akibat Usul Tak Diperiksa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar