26/09/14

Khazanah Budaya Tradisional Melayu di Pesisir Dumai dalam Sajak Konon dan Kenen seperti Angin Karya A. Yani AB


Pada bulan April 2014 nan lalu Dumai tercinta berusia 15 tahun sebagai sebuah wilayah administrasi pemerintahan daerah di Provinsi Riau dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kokoh dengan Pancasila, Bhinneka Tungal Ika dan Wawasan Nusantaranya. Setelah 15 tahun berdiri sebagai sebuah kota tentu begitu banyak pengaruh budaya lain nan memperkaya dan menjadi bagian dari kebudayaan di kota Dumai. Selain itu masih banyak khazanah budaya di Dumai yang belum diteliti dan diketahui masyarakat pada umumnya khususnya kekayaan budaya nan eksis jauh sebelum Dumai diresmikan menjadi sebuah kotamadya pada bulan April 1999.

Sudah berapa banyak tersedia bahan-bahan bacaan nan komprehensif tentang kebudayaan di kota Dumai baik itu kebudayaan tradisional, kontemporer, mutakhir maupun pascamutakhir yang ada? Apakah pesatnya pembangunan di beberapa sektor pada sebuah kota akan membuat masyarakatnya lupa pada akar kebudayaan tempat dimana bumi dipijak dan langit dijunjung?  Semoga saja tidak.

Apa saja lagi budaya fisik dan nilai-nilai budaya tradisional Melayu khususnya di pesisir Dumai selain hanya yang ada dalam ruang lingkup sebatas menjadi objek seremonial-seremonial belaka dalam penyelenggaraan atraksi budaya tradisional sempena memperingati momentum hari-hari besar tertentu, berpantun, menyemah kampung, prosesi adat istiadat dalam konteks sosial kemasyarakatan dalam pernikahan, kelahiran, kematian dan lain sebagainya? Padahal dalam atraksi budaya tradisional yang dianggap sesuatu nan seremonial itu adalah produk budaya dengan muatan nilai-nilai kearifan lokal nan tinggi dan bermanfaat untuk ketahanan budaya nasional.

Alhamdulillah, dalam begitu banyaknya pertanyaan yang muncul serta kerisauan tiadanya sumber-sumber bacaan yang komprehensif tentang kebudayaan khususnya budaya tradisi Melayu di pesisir Dumai, penulis menemukan sebuah karya sastra karangan penyair di Dumai nan memiliki kandungan sangat berharga untuk mengetahui beberapa khazanah warisan budaya tradisional Melayu di pesisir Dumai. Karya sastra tersebut adalah sajak Konon dan Kenen seperti Angin karya oleh A. Yani AB. Tentu masih banyak lagi karya-karya sastra di Dumai baik lisan maupun tulisan nan didalamnya memuat fakta-fakta sejarah, nilai-nilai budaya, nilai-nilai keluhuran tradisi Melayu maupun produk-produk imajinasi sebagai bagian dari kekayaan budaya di pesisir Dumai.

Teks sajak dapat berfungsi sebagai sumber pengetahuan tentang budaya tradisional suatu masyarakat di sebuah daerah atau wilayah jika di dalam teks tersebut terdapat entitas dan identitas yang berkaitan dengan budaya tradisional.


A. Yani AB adalah singkatan nama Ahmad Yani bin H. Abu Bakar, salah seorang penyair di Dumai yang sajak-sajaknya diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Riau dalam Kumpulan Sajak Pilihan Dewan Kesenian Dumai bertajuk Bulan-Bulan Kopak pada tahun 2010. A Yani AB lahir di Dumai, 20 September 1964. Awal berkeseniannya dimulai pada ranah seni rupa dengan melukis sejak bangku sekolah. Beliau menulis puisi dan cerita pendek pada pertengahan tahun 1980-an di beberapa surat kabar seperti Taruna Baru, Dobrak, Singgalang, Suara Indonesia Pembaruan, Simponi, Genta, Riau Pos dan Dumai Pos. Selain sebagai salah seorang mitra kerja PT. Pertamina RU II Dumai  untuk Juru Gambar/ Designer di Safety Artist – HSE RU II, beliau juga aktif bekerja pada ranah melukis, dekorasi, taman, patung dan seni rupa lainnya.Sampai hari ini beliau masih menulis sajak dan cerita pendek. Beberapa sajak dan tulisan-tulisan puitisnya nan terkini dapat dibaca melalui dinding pada jejaring sosial facebook beliau.

Membaca dan memaknai sajak-sajak dalam Bulan-Bulan Kopak adalah bagian dari proses untuk menunaikan janji. Sajak yang dipilih untuk menjadi bahan utama dalam upaya membaca, memaknai, menikmati dan memberi apresiasi serta kritik sesuai dengan hasil pembacaan penulis. Tak dapat dipungkiri gaya bahasa dan bahkan pilihan kata dalam sajak-sajak Bulan-Bulan Kopak juga turut memberi warna dan memperkaya proses menulis yang sedang penulis pelajari.

Maklumlah seringkali apa yang terasa indah dan nikmat saat penulis dengar dan baca akan menjadi pilihan pula ketika akan menulis puisi-puisi. Begitulah agaknya adat dan kebiasaan di dunia. Jika seseorang terbiasa mendengar dan membaca kata-kata nan indah penuh makna maka dirinya akan terbiasa pula untuk mengucapkan dan menuliskan kata-kata nan indah pula. Sebaliknya jika terbiasa mendengar dan membaca kata-kata yang tak indah dan cenderung sebagai lambang-lambang untuk sesuatu yang kasar dan tak santun maka ada kecenderungan dirinya akan terbiasa pula untuk mengucapkan dan menuliskan kata-kata yang tak indah didengar dan dibaca.  Padahal seluruh kata dan bunyi yang pernah didengar, ditulis, dibaca dan diucapkan oleh manusia tak ada satupun yang kasar dan tak indah. Manusialah yang membuatnya menjadi kasar dan tak indah.

Apa metode yang penulis gunakan dalam membaca dan memaknai sajak karya A. Yani AB dalam Bulan-Bulan Kopak? Untuk membaca tentu saja metode yang digunakan adalah membacanya secara berulang-ulang dengan membayangkan apa saja makna setiap kata baik ketika berdiri sendiri maupun dalam satu kesatuan larik dan bait.

Diharapkan melalui hasil pembacaan sajak ini dapat memperlihatkan bahwa kandungan dalam sebuah teks sajak kaya akan hal-hal bermanfaat  untuk mengetahui khazanah tradisi di sebuah daerah maupun kawasan khususnya di pesisir Dumai.

Saya menemukan adanya (id)entitas budaya tradisional Melayu khususnya di pesisir Dumai dalam 16 bait sajak berjudul Konon dan Kenen Seperti Angin  karya A. Yani AB. Untuk dapat memaparkannya dalam keutuhan maka pertanyaan-pertanyaan berikut menjadi benang merah dalam proses pembacaan dan pemaknaan sajaknya.

1. Bagaimana peranan diksi dalam memperkuat ciri khas estetika sajak ini?
2. Apa entitas dan identitas tradisi budaya tradisional Melayu di pesisir Dumai dalam sajak ini?
3. Apa latar belakang nan melahirkan sajak ini?
4. Apa nan A. Yani AB rindukan dengan menulis sajak ini?
5. Bagaimana sajak ini dapat menyampaikan pesan penyairnya?

Berikut ini adalah teks lengkap sajak karya beliau yang menjadi bahan telaah dalam pembacaan dan pemaknaan,

Konon dan Kenen seperti Angin2

kusapa engkau dalam sepisau kata sepi
bila jubah malam menangkup bulan tersadai
antara kasau bubung tua
serak rintih hujan bagai irama ratib terkirai
ditingkahi jerit pingkau katak kuang
semabau angin lembab bersiul jalang di selah
dinding tergajai
di situ kuingatkan dikau tentang Dumai
tentang masa kecil kita yang degil

di pondok tua ini kita dulu sama menimang suka
bermain sambar lakun bersama kawan-kawan
di laman belakang bawah pokok mempelam
sundalnya matahari membacinkan peluh
kita berpendar dalam surai debu-debu
tawa dan tengkar memecah sepi kampung nelayan itu
menimbulkan urat teking di batang leher
gaduh yang kini jadi rindu


bila surut jauh menyingkap sesai
langkah budak-budak lasak terhuyung hayang atas lumpur
mengutip siput, lokan dan sepetang
senepakpun berambat ke busut saat kita terbungkuk
mencari pumpun
tak jera disengat sembilang
tak hirau kudis di keting tiga liang

betapa masa kanak-kanak kita begitu akrab dengan alam

aku masih ingat, renyai hujan panas merenda pelangi
kita selipkan daun bakau di telinga
ketika engkau terjerembab dari dahan berembang
ketingmu biru birat disambut bakau yang serau
lalu cik munah mengurutmu di petang jumat
karena engkau mengigau dalam demam panas yang naas

tujuh hari kau tak ngaji
aku termangu di tangga surau

kalifah seman menanyakanmu
karena kau tak nampak batang hidung
sedang yang lain sudah masuk juz dua belas

engkau telah sakit
terkapar di tikar pandan hancing pering
mulutmu menyeringai macam kucing tertusuk
tulang ikan biang
melengas bau ajal dari mulutmu
dan aku terpinga menatapmu dari tingkap

tuk bomo membuat ancak
aku yang mengambilkan daun nipah di baran
disemburkan mantra tiga paling di ubunmu
di atas bertih dan beras tujuh rupa
misai tuk bomo bagai balak hanyut
dibalik kepul asap kemenyan putih
dicontenglah jerangau dan bonglai
di kening, di balik telinga, tapak tangan,
tapak kaki dan pelipat
kemudian tetemas dihidang di lidah pasang
berangkat jauh dijemput surut
meninggalkan harapku akan kesembuhan

musim bergegas begitu pantas
matahari macam pelesit
usia muda membuat kita memuja bulan ngambang
yang lahir dari perut laut
melesak ke pucuk-pucuk kelapa
memanjangkan bayang sampan-sampan memasang rawai

di pondok ini dulu kita menabuh gendang dan marwas
di laman belakang di bawah pokok mempelam
saat leha dan eton menyusun langkah dalam rentak dzapin
pak long memetik gambus
lengking nyanyinya menikam sampai ke ceruk rindu

sahabat, masihkah kau simpan ini dalam lensa mimpimu?

kembalilah sekejap karena Dumai dah ramai
pondok tua ini dah begitu dekat dengan laut
di taman belakang bawah pohon mempelam
dah tumpat dengan busut

pancang-pancang dah dipasang
tembok pabrik mengangkang melecuti hutan bakau
pokok mempelam itu sudah lama ditumbang pasang
yang tinggal cuma tunggul tua tempat senepak
meniti hari
ingin rasanya kubawa tunggul itu pulang
untuk jadikan monumen masa kecil kita dulu
tapi itu tidak kulakukan

pulang sekejap duhai ayam kampung
suku sakatmu masih menunggu
kau ditaburkan beras kuning dilangkah pertamamu

tak rindukah engkau pada Dumai?
Tempat dimana mimpimu tertinggal di pelabuhan seismik
Dijilatnya  masin lidah pasang dari tahun ke tahun
Angin lautpun kebaku
Tak pernah ingat sampaikan kabar dari seberang
Hingga tak ku tahu engkau di rimba yang mana
Bejibun pesan kutitip pada bulan
Tapi kau tak nampak cinap
Yang tinggal cuma mimpi dan rindu tanpa bingkai
Bergarit dalam nafas penat dan perut malam
Di bawah sembur angkuhnya obor kilang
Dijerat tali arus pasang keling
Diratah waktu dan usia

Dumai, Desember 99


Pada judul sajak memang belum tersurat tentang (id)entitas tradisi namun ketika mendalami makna kata konon dan kenen menandakan bahwa penyairnya hendak menunjukkan bahwa sajaknya berkaitan dengan waktu. Ada apa dengan waktu hingga penyairnya memilih kata konon dan kenen dalam judul sajaknya?

Kata konon dalam Kamus Bahasa Indonesia mempunyai beberapa makna yaitu 1) gerangan; agaknya; 2) kata orang; kabarnya; katanya; 3) barangkali; mungkin; 4) kabar. Lalu kata konon juga dapat bermakna menipu.  Pilihan makna nan sesuai untuk kata konon itu tentu saja makna yang keempat yaitu kabar. Mengapa? Sebab setelah ada kata kenen. Kata kenen yang berasal dari kosa kata bahasa Melayu khususnya Melayu di Riau bermakna sekarang. Penggunaan kata penghubung dan memperlihatkan ada hubungan antara konon dengan kenen. Pemaknaan yang dapat dikemukakan dari judul sajak Konon dan Kenen seperti Angin yaitu masa lalu dan masa sekarang selalu bergerak dan cepat berlalu. Pemilihan diksi konon, kenen dan angin berhasil menarik perhatian karena diksi konon itu membuat ingatan jadi melayang-layang ke masa lalu, diksi kenen mengarahkan ke masa sekarang dan diksi angin mewakili sifat untuk menggambarkan tentang perjalanan waktu nan tersirat dalam konon dan kenen. Biasanya jika ada seseorang sudah berupaya mengingat dan terkenang akan masa nan lampau itu menandakan bahwa dirinya sedang merindu, merindukan dan dalam kerinduan akan sesuatu.

Apa yang dirindukan oleh penyairnya tentu dapat ditelaah dari pemilihan diksi-diksi dalam sajaknya. Pengunaan diksi-diksi sebagai entitas memperlihatkan identitas budaya tradisional dan kearifan lokal Melayu di pesisir Dumai dalam sajak A Yani AB adalah ciri khas dan kekuatan A Yani AB pada pencapaian estetiknya menuliskan sajak. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemilihan diksi dalam sajak dan digambarkan pada tabel berikut ini:


Tabel Diksi Entitas Identitas Sajak Konon dan Kenen seperti Angin karya A. Yani AB

Sajak Konon dan Kenen Seperti Angin  karya A. Yani AB ini adalah salah satu karya sastra dari Dumai yang memuat nilai-nilai kearifan. Sajak ini terdapat unsur-unsur konvensi yang umum dan memenuhi syarat dalam sastra untuk dapat dikatakan sebagai sebuah karya sastra dalam kategori puisi.

Sajak ini terdiri dari 16 bait yang dalam setiap baitnya kaya akan majas. Beberapa majas tersebut seperti: bila jubah malam menangkup bulan tersadai, sundalnya matahari membacinkan peluh, bila surut jauh menyingkap sesai, mulutmu menyeringai macam kucing tertusuktulang ikan biang, tetemas dihidang di lidah pasang, matahari macam pelesit, lengking nyanyinya menikam sampai ke ceruk rindu, tembok pabrik mengangkang melecuti hutan bakau,  di bawah sembur angkuhnya obor kilang.

Khazanah warisan budaya tradisi Melayu di pesisir Dumai yang terkandung dalam sajak Konon dan Kenen seperti Angin karya Ahmad Yani bin H. Abu Bakar adalah sebagai berikut:
  1. Permainan Tradisional
  2. Pengobatan Tradisional;
  3. Kesenian Tradisional;
  4. Mata Pencaharian Tradisional;
  5. Tradisi Mengaji;
  6. Kearifan lokal.
Permainan tradisional dalam sajak ini adalah Sembar Lakun. Sebuah permainan anak-anak yang mengejar musuh lalu menangkapnya dan memenjarakannya dalam sebuah lingkaran. Musuh yang telah ditangkap dapat bebas kembali jika dapat disentuh atau disembar oleh teman-temannya nan masih bebas di luar lingkaran. Begitu pula untuk menangkap musuh tentu dengan cara disentuh atau disembar.

Bermain di tepi pantai nan penuh pohon-pohon bakau untuk mengumpulkan siput, lokan, sepetang dan senepak serta mencari pumpun juga merupakan permainan tradisional. Pumpun adalah sejenis lipan laut yang hidup di lumpur tepi pantai dan biasanya dijadikan umpan untuk memancing di laut. Pumpun adalah umpan pilihan untuk memancing ikan Sembilang yang memiliki patil yang berbisa. Jika terkena bisa dari sengat  ikan Sembilang maka akan bagian tubuh yang terkena akan bengkak dan terasa sakit. Rasa sakitnya tergantung berapa banyak bisa dari sengat ikan Sembilang. Kalau tersengat tiga patil ikan Sembilang tentulah makin dalam sakitnya.

Pengobatan tradisional dalam sajak ini adalah berobat dengan bomo, pengobatan tetemas dan mengurut. Pengobatan tradisional untuk mengobati sakit oleh bomo atau biasanya disebut juga sebagai dukun atau tabib. Deskripsi pengobatan ini terlihat dari penggunaan diksi-diksi ancak, mantra, bertih dan beras tujuh rupa, kemenyan putih, jerangau dan bonglai. Lalu pengobatan itu dilengkapi dengan pemberian tetemas. Tetemas adalah pengobatan tradisional Melayu untuk menyembuhkan demam panas akibat sesuatu hal yang tak dapat dijelaskan dalam dunia medis. Menurut kepercayaan penduduk Melayu di pesisir Dumai bahwa tetemas dapat menyembuhkan sakit yang diakibatkan keteguran mahluk halus dan mahluk-mahluk lain dari alam ghaib. Media pengobatannya adalah kunyit yang dibelah dua. Dalam proses membelah dan mengoleskan kunyit pada bagian-bagian tubuh yang menderita demam selalu disertai dengan membaca basmalah dan shalawat nabi. Dalam bait ke-9 sajak ini digambarkan bagian-bagian tubuh yang dioleskan kunyit yaitu di kening, di balik telinga, tapak tangan, tapak kaki dan pelipat (lutut bagian depan dan belakang). Diksi lidah pasang bermakna kunyit yang sudah dioleskan ke bagian-bagian tubuh lalu disembur dengan air ludah atau diludahi sambil membaca basmalah dan shalawat nabi. Namun jika ditilik dari penjelasan ilmiah bisa saja dalam kunyit itu terdapat zat yang bermanfaat untuk menyembuhkan demam panas.

Sedangkan mengurut untuk mengobati kaki yang sakit akibat terjatuh maupun terkilir. Pengobatan tradisional mengurut biasanya berfungsi untuk mengobati bagian-bagian tubuh yang sakit akibat terjatuh, terkilir atau terkena benda tumpul serta memperlancar aliran darah.

Dalam sajak ini juga ada tentang upah-upah. Hal ini dapat dibaca pada baris terakhir  bait ke-15.  Larik kau ditaburkan beras kuning dilangkah pertamamu adalah salah satu prosesi tradisi untuk keselamatan, kesembuhan, semangat atau memulai sesuatu. Tentu saja dalam setiap prosesi tradisional seperti ini diiringi dengan pembacaan do’a.

Khazanah tentang alat musik tradisional dan tarian tradisional dinyatakan oleh Penyair Perindu Kearifan pada bait ke-11 yakni bermain alat musik gendang dan marwas untuk mengiringi tarian dzapin disertai petikan gambus dan nyanyian lagu Melayu. Sampai hari ini eksistensi musik tradisional Melayu seperti gendang, marwas dan gambus serta tari Dzapin masih dapat ditemukan di Dumai dan semerata tempat di Riau. Alhamdulillah masih ada orang-orang nan tunak untuk mencintai musik, lagu dan tarian tradisionalnya. Jika tidak alamatlah akan terancam punah budaya tradisional Melayu di Indonesia. Walhasil jika tradisi-tradisi punah di tanah air tercinta ini maka punahlah pula kebudayaan Nusantara. Namun selama manusia-manusia Indonesia masih mau mencintai dan merindukan budaya tradisinya maka tak perlu risau akan kepunahan itu.

Ada pun mata pencaharian tradisional yang terdapat dalam sajak ini adalah nelayan dan bomo. Namun sekarang seiring perkembangan kemajuan teknologi maka pekerjaan sebagai nelayan dan bomo ada yang sudah termasuk mata pencaharian mutakhir berdasarkan perlengkapan dan peralatan yang digunakannya dalam bekerja.

Mengaji sebagai tradisi belajar membaca Al Quran sebagai wujud nyata mengamalkan Rukun Islam dan Rukun Iman juga dapat ditemukan dalam sajak ini. Biasanya guru mengaji adalah orang-orang yang sudah berilmu pengetahuan tentang Al Quran dan mendapat kepercayaan oleh masyarakat untuk mengajarkan cara membaca Al Quran dan artinya.

Melalui sajaknya ini, A. Yani Abu Bakar hendak menyampaikan tentang kearifan lokal bahwa manusia khususnya di wilayah pesisir Dumai sangat akrab dengan alam dan membutuhkan alam. Hal itu dapat dibuktikan dengan bagaimana anak-anak dengan riang gembira bermain dan berinteraksi dengan sesamanya di pantai dan hutan bakau, penggunaan bahan-bahan obat tradisional dari tumbuh-tumbuhan seperti yang ada pada pengobatan tetemas dan pentingnya wilayah pesisir dan laut bagi nelayan untuk menangkap ikan-ikan.

Beberapa kerinduan lainnya dari Penyair Perindu Kearifan ini dapat dilihat pada setiap bait dalam sajaknya. Penyair ini merindukan masa-masa saat dia masih kanak-kanak dengan berkumpul dan bermain dengan sahabat-sahabatnya.

Ada sebuah personifikasi pada larik “matahari macam pelesit” nan menarik dan dapat ditafsirkan sebagai teriknya sinar matahari yang membuat kulit menjadi gelap dan hitam serta dapat membuat manusia kehilangan cairan dalam tubuhnya. Pelesit dalam cerita rakyat di Sumatera disebutkan sebagai mahluk jadi-jadian atau seseorang manusia yang memiliki ilmu hitam yang dapat menyerap dan menghisap darah atau semangat hidup maupun energi bayi dengan usia dibawah lima tahun. Namun sampai hari ini belum ada penelitian ilmiah umum yang dapat membuktikan bahwa pelesit itu ada atau tidak. Mungkin penelitian metafisika khusus adalah ranah nan sesuai untuk membuktikan eksistensi pelesit. Tafsir lainnya mungkin ada pemimpin yang bertingkah laku macam pelesit. Pemimpin yang gemar menghisap darah rakyatnya sendiri meski selalu berjanji dan bersumpah akan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya. Pemimpinnya gemuk-gemuk, rakyatnya kurus menderita. Ada pula pemimpin-pemimpin nan kurus namun rekening-rekeningnya pula yang gendut. Entahlah siapa pemimpinnya itu dan di mana mereka memimpin. Mungkin di negeri antah berantah sebab di sini pemimpin-pemimpinnya sangat cinta rakyatnya.

Pada bait ke-14 digambarkan tentang daerah pesisir Dumai yang awalnya ditumbuhi pohon-pohon Bakau sudah berubah drastis sejak pembangunan pabrik-pabrik sebagai bagian dari ekspansi industri. Kelak jika habis hutan Bakau serta pelbagai kearifan lokal nan hidup dari eksistensi hutan Bakau, pantai sebagai tempat bermain anak-anak, laut Dumai sebagai lapangan kerja nelayan-nelayan di Dumai untuk mencari ikan-ikan dan memberi makan keluarganya niscaya bertambah lagi permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hasil pembacaan sajak Konon dan Kenen seperti Angin karya A. Yani AB dapat dilihat pada Bagan berikut ini:

Bagan Pembacaan Sajak Konon dan Kenen seperti Angin karya A. Yani AB
Setiap nilai budaya nan maujud dalam bait, larik, diksi, imaji dan makna pada khazanah tradisi di pesisir Dumai seperti yang tergambar pada bagan di atas memiliki nilai-nilai positif untuk penerapan pendidikan karakter berwawasan budaya tradisi, alam dan kearifan lokal.

Tidak sekadar hendak menyampaikan tentang kerinduannya akan kenangan di masa kanak-kanak dan kerinduannya pada eksistensi kearifan lokal namun juga ada pesan nan sangat penting dalam sajak ini.  Pesan penting dalam sajak ini menurut penulis bahwa jagalah eksistensi kearifan lokal di Dumai jika kearifan lokal tidak dijaga dan diperhatikan secara serius maka niscaya akan timbul efek domino nan tidak baik dan merugikan untuk keberlangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh pejuang-pejuang nan berjuang memerdekakan bangsa ini dari belenggu penjajahan.

Pesan lainnya sebagaimana pesan itu tertera pada judul sajak “Konon dan Kenen seperti Angin”. Diksi Angin itu juga dapat ditafsirkan sebagai angin nan dapat bermanfaat atau malah merugikan untuk hidup manusia. Jika angin untuk kincir-kincir angin sebagai penghasil tenaga listrik, angin untuk mengisi ban, angin untuk kipas angin, angin untuk berlayarnya perahu-perahu nelayan, angin untuk mengibarkan bendera maka baiklah eksistensi angin itu. Jika angin itu membuat manusia masuk angin, angin badai nan merusak dan menghancurkan peradaban manusia di suatu tempat maka itulah angin nan jahanam. Namun tiadalah pula Allah Maha Penyayang menciptakan angin untuk menjahanamkan manusia sepanjang manusia-manusia tidak ingkar kepada-Nya.

Masa lalu dan sekarang bagaikan angin nan mesti disikapi secara arif sebab didalam keduanya penuh dengan kekayaan kearifan lokal dan catatan sejarah peradaban manusia khususnya orang-orang Dumai yang masih akrab dan tunak dengan pesisir, pantai, hutan Bakau dan budaya tradisionalnya.

Selain itu juga termuat mengenai kearifan lokal nan erat kaitannya dengan eksistensi hutan Bakau yang ada di tepi pantai kota Dumai. Meskipun di sepanjang pesisir Dumai sudah banyak dibangun kawasan industri dengan pelbagai pabrik-pabrik dan fasilitas lainnya namun sampai sekarang masih ada daratan di tepi laut yang tergerus akibat abrasi. Ironis sekali jika pembangunan industri di suatu daerah begitu pesatnya namun tidak dibarengi dengan pembangunan untuk menjaga dan menyelamatkan lingkungan.

Sebuah kota pelabuhan dan industri yang pada awalnya merupakan kampung nelayan berubah budayanya akibat pembangunan dan pengembangan kawasan industri dan sekalian pabrik-pabriknya. Namun tidaklah dapat dipungkiri bahwa keberadaan kawasan industri di suatu daerah akan mempengaruhi percepatan pengembangan ekonomi dan pembangunan. Hanya saja perlu mendapat perhatian bahwa pembangunan berwawasan kebudayaan dan berbasiskan kearifan lokal juga sangat penting. Kuncinya ada pada sinergisitas dalam kebaikan bersama dan bukan hanya untuk keuntungan sebelah pihak saja.

Pesisir Dumai nan dulu kaya dengan hutan bakau dan kearifan lokal pesisir kini semakin penuh dengan pabrik-pabrik. Budaya pesisir serta kearifan lokalnya berganti dengan budaya urban perkotaan tipikal kawasan industri yang tak asing lagi dengan segala jenis kecanggihan teknologinya. Mulai dari penggunaan teknologi gadget-gadget pakai pencet-pencet hinggalah hanya dengan disentuh-sentuh saja sementara budaya pesisir nan ada tergerus, tergencet dan pada akhirnya akan tinggal jadi kenangan dalam catatan-catatan sejarah saja. Itupun kalau buku-buku tentang sejarah kekayaan budayanya ada. Lalai dan lupa dalam menjaga dan mempertahankan khazanah budaya tradisionalnya berarti merusak kebudayaan peradaban manusia. Menjaga eksistensi kebudayaan tradisional bukan bermaksud tidak menerima perubahan dan menolak untuk mau berubah. Apalah artinya menerima perubahan dan mau berubah jika itu hanya merusak bahkan menghancurkan peradaban manusia khususnya budaya tradisional?

Semoga pembacaan atas sajak Konon dan Kenen Seperti Angin karya A. Yani AB dalam Buku Kumpulan Sajak Pilihan Dewan Kesenian Dumai Bulan-Bulan Kopak bermanfaat menambah khazanah sastra Indonesia khususnya untuk penikmat sastra Indonesia dalam upaya membaca, menikmati dan memaknai sajak. Kalau terlebih dalam penulisan, kurangkan saja. Jika terkurang dalam penulisan, silakan ditambahkan.             


Dumai, September 2014

1. Wawancara dengn A. Yani AB melalui Facebook, 10 Februari 2014.
2. Tyas AG, dkk, 2010, Kumpulan Sajak Pilihan Dewan Kesenian Dumai Bulan-Bulan Kopak,  Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, hal.47-52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar