27/11/15

Kritik Sastra atau Telaah Sastra



Tulisan ini bukan untuk menambah kerlap-kerlip bintang-bintang di semesta sastra yang ketika satu bintang gemilang, pancaran cahaya bintang-bintang nan lain menjadi terhalang. Masing-masing bintang sudah punya waktu dan tempat untuk gemilang sesuai dengan konstelasinya, berdasarkan orbit, rotasi dan gravitasinya. Bintang-bintang nan mulai tidak terlihat kilaunya, tidak mesti merusak keseimbangan alam agar dapat lebih dekat dengan matahari dan menjauh dari dari kegelapan. Terlalu dekat dan makin dekat dengan matahari hanya akan membuat bintang-bintang menjadi musnah. Terlalu lama dalam kegelapan dan sengaja ditutupi agar tidak mendapat cahaya matahari juga akan menjadikan bintang-bintang akan menjadi beku dan kemudian musnah dalam kedinginan.


    Kecaman-kecaman yang menyatakan ada puisi-puisi di Indonesia sebagai puisi gelap, puisi sampah, puisi yang tidak dapat dimengerti artinya dan tidak dapat diketahui tujuannya dan puisi gagal, tidak dapat disebut sebagai suatu hasil telaah atau kajian sastra maupun sebagai kritik sastra,  kalau tidak dibuktikan dengan alasan-alasan dan penemuan kesalahan-kesalahan melalui telaah yang menggunakan perangkat penilaian sastra.

    Kalau ditilik dari jenis pengkajian sastra menurut M.H Abrams dalam kamus istilah sastra A Glossary of Literary Terms (1999), kecaman-kecaman di atas dapat dikategorikan sebagai kecaman impresionis, bukan kecaman dari penelaah/kritik(us) sastra profesional. Kecaman yang lebih mengutamakan perasaan daripada alasan, fakta dan telaah.
     Saut Situmorang menyebutkan bahwa salah satu kriteria untuk menjadi seorang penelaah/kritik(us) sastra yang pofesional adalah memberikan penilaian terhadap karya sastra berdasarkan telaah, bukan semata-mata berdasarkan perasaan (Saut Situmorang, Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia, dibaca dari blog Jurnal Sastra Boemipoetra, http://boemipoetra.wordpress.com, 19 November 2013).

     Salah seorang penelaah sekaligus kritik(us) sastra Indonesia profesional lainnya, yakni Maman S. Mahayana juga mengingatkan masyarakat sastra Indonesia bahwa prinsip utama dalam kritik sastra adalah penilaian yang diperoleh dari pengkajian, bukan hanya sebatas perasaan (Maman S. Mahayana, Seolah-olah Kritik Sastra, dibaca pada halaman berbasis jaringan komputer internasional, http://mahayana-mahadewa.com, 26 Juni 2013).
     Apa boleh seseorang memberikan tanggapan atas sebuah karya sastra yang dibaca dan didengarnya? Ya, boleh. Semuanya boleh memberikan tanggapan, baik berdasarkan perasaan maupun pengkajian mendalam, tetapi kalau hendak berniat menjadi penelaah sekaligus kritik(us) sastra yang sejati dan profesional, mulailah belajar untuk tidak menilai berdasarkan perasaan, meski dalam penelaahan yang mendalam itu juga sangat dibutuhkan perasaan.
     Kebebasan puitis (poetic licence) dan kebebasan makna (meaning Licence) dalam penciptaan sebuah puisi sebagai karya sastra, mestinya tidak digunakan dalam memberikan penilaian sebuah karya sastra. Mengapa? Karena melakukan penilaian berdasarkan perangkat pengukuran nilai berdasarkan kriteria yang telah sahih, atau sudah diuji oleh pakar-pakar sastra yang wawasan sastranya dalam dan luas, paham tentang penilaian dan mampu membuat perangkat pengukuran nilai.
      Apakah kritik sastra sama dengan telaah sastra?
      Ya. Berdasarkan konteks ilmu sastra, kesusastraan, kuartis tika sastra dan terminologi, kritik sastra adalah telaah sastra.
       Apa yang pengertian dari kuartis tika sastra?
      Oleh karena penulis sering menulis apa yang tiba-tiba terlintas dalam benak, penjelasan singkat tentang kuartis tika sastra akan disampaikan pada tulisan terpisah.
      Hal pertama yang mesti dilakukan untuk mengetahui pengertian istilah kritik sastra atau telaah sastra, tentu saja dengan membuka dan membaca kamus istilah, kamus arti kosa kata, kamus etimologi dan ensiklopedia. Calon-calon penelaah-penelaah dan kritik(us) sastra Indonesia juga mesti mempelajari dan membaca arti dan sejarah kata-kata dan istilah dalam sastra Indonesia yang berasal dan diserap dari bahasa asing dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia diperkaya dengan kosa kata dari bahasa Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Mandarin dan yang lainnya. Hal ini tentu juga akan berpengaruh pada pemahaman dalam mengenali dan menggunakan istilah secara tepat sesuai konteksnya.
      Lima kata yang berasal dari bahasa Inggris yaitu critic, critical, criticism, critize, dan critique, yang mungkin diserap utuh ke dalam proses ketika mengalihbahasakan teori-teori dan teknik-teknik menelaah sastra ke dalam bahasa Indonesia, adalah garis awal keberangkatan untuk membuktikan bahwa kritik sastra adalah telaah sastra.
     Asal dan arti kata critique dan critic dapat dialihbahasakan sebagai berikut:
      Kata critique pada tahun 1702, diserap dari ejaan kata dari bahasa Perancis abad ke-17 critick , yang berasal dari istilah Yunani yakni kritike tekhnethe critical art”, sedangkan kata critic pada tahun 1580, berarti “orang yang memberikan penilaian”, diserap dari kata critique dalam bahasa Perancis pada abad ke-14, diserap dari istilah bahasa Latin yaitu criticus, yang berarti “penilai, kritik(us) sastra”, diserap dari  bahasa Yunani yakni kritikos yang berarti “mampu membuat penilaian”, diserap dari istilah krinein yang berarti “untuk memisahkan, memutuskan”. Arti “orang yang menilai kebaikan, faedah, dan kepatutan buku-buku, sandiwara-sandiwara, dan yang lainnya, berasal dari sekitar tahun 1600 Masehi. Arti kata dalam bahasa Inggris ini pun telah ditambah dengan arti “pencela/pengecam, penemu kesalahan”. (Dibaca dan diakses dari http://www.etymonline.com, pada tanggal 22 November 2015)
      Dalam kamus Bahasa Inggris Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English oleh AS Hornby, kata critic berarti 1) person who forms and gives judgments, especially about literature, art, music, and the others, 2) person who finds fault, point out mistakes, etc (AS Hornby, 1987:204). Kalau kemudian kata critic itu diserap utuh menjadi kata kritik dalam bahasa Indonesia, alih bahasa arti kata kritik adalah 1) orang yang membuat dan memberikan penilaian-penilaian, khususnya tentang sastra, seni, musik, dan yang lainnya, 2) orang yang menemukan kesalahan-kesalahan, memberitahu dan mengingatkan tentang kesalahan-kesalahan, dan yang lainnya.
      Satu kata bisa punya lebih dari satu arti makna, apalagi kalau ditelaah berdasarkan 29 jenis makna kata.
      Kata judgement tersebut bukan berarti penghakiman atau menghakimi, karena dalam kamus bahasa Inggris Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English oleh AS Hornby, ada 5 arti dari kata judgement. Sangat tidak tepat memaknai kalau penelaah/kritik(us) diartikan sebagai hakim sastra, sebagaimana hakim-hakim di pengadilan itu.
     Penelaah/kritik(us) memberikan penilaian terhadap sebuah karya sastra berdasarkan prinsip-prinsip sastra nan sesuai dengan karya sastra tersebut. Alangkah naifnya seorang penelaah/kritik(us) sastra, kalau semisalnya, memaksakan prinsip-prinsip penciptaan Gurindam untuk menelaah puisi-puisi kontemporer. Itu mungkin sama seperti mengupas buah Embacang dengan pisau daging. Pisau daging memang bisa mengupas buah Embacang, tetapi akan lebih sesuai kalau mengupasnya dengan pisau buah. Kalau mengupas buah Embacang dengan gigi? Alamatlah bisa terkena getah buah Embacang.
     Kata critical berarti 1) of or at a crisis, 2) of the work of a critic, 3) fault-finding (AS Hornby, 1987:204). Ketika kata critical itu diserap utuh menjadi kata kritis, alih bahasa arti katanya adalah 1) sedang krisis, 2) saksama, 3) teliti menemukan kesalahan.
    Pada kata criticism, yang mungkin akibat kelemahan memahami proses penerjemahan kata dari bahasa asing sebagai bahasa sumber ke bahasa target yakni bahasa Indonesia,  kata ini mungkin menjadi rancu dialihbahasakan ketika berduet dengan kata literary hingga membentuk istilah literary criticism. Kata criticism berarti 1) the work of a critic; the art of making judgments (concerning art, literature, etc), 2) judgement or opinion on literature, art, etc. , 3) fault-finding; remark, etc that finds fautl (AS Hornby, 1987:204). Kata cricitism yang dialihbahasakan menjadi kata telaah dalam bahasa Indonesia, karena sufiks –ism digunakan untuk membentuk kata benda dari kata dasar yang menggambarkan kepercayaan atau keyakinan sosial, politik dan agama, telaah/pengkajian atau metode/teknik proses penciptaan sesuatu, dapat dialihbahasakan artinya menjadi 1) proses pembuatan atau hasil kerja seorang penelaah/kritik(us); seni membuat penilaian-penilaian (mengenai seni, sastra, dan yang lainnya), 2) penilaian atau pendapat terhadap sastra, seni, dan yang lainnya, 3) penemuan kesalahan; pernyataan lisan berupa opini atau pemikiran.
     Lantas, apa alihbahasa arti dari kata critize? Kata critize berarti 1) form and give a judgement of; find fault with: (AS Hornby, 1987:204). Alih bahasanya menjadi membuat dan memberikan penilaian dari; menemukan kesalahan dengan: .
    Kata yang kelima adalah critique yang berarti critical essay or review (AS Hornby, 187:204). Kalau dialihbahasakan artinya menjadi tulisan atau kajian nan saksama untuk menemukan kesalahan dan memberikan penilaian.
     Hal ini tentu berbeda dengan pengertian esei (esai) sebagai sebuah karangan bebas yang tidak terikat kaidah sastra yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Hanya saja, celakanya, ketika seorang eseis dan penelaah/kritik(us) sastra tidak dapat mengendalikan rasa antipati dan simpati terhadap seseorang yang menghasilkan sesuatu karya sastra, di sana akan muncul pujian atau makian. Kalau pujian atau makian muncul dengan perangkat penilaian, dan bukan karena perasaan semata, itu adalah eseis dan penelaah/kritik(us) sastra profesional.
    Apakah ada penelaah sastra yang tidak menemukan kesalahan-kesalahan dan memberikan penilaian terhadap sebuah karya sastra? Kalau ada, penelaah sastra tersebut belum dapat dinyatakan sebagai kritik(us) sastra. Apa ada juga sosok-sosok yang sok-sok atau berlagak menjadi kritik(us) sastra, tanpa terlebih dahulu menelaah dan menemukan kesalahan-kesalahan dari sebuah karya sastra? Jika ada, itu bukan penelaah/kritik(us) sastra, mungkin sedang belajar untuk menelaah/mengritik karya sastra.
    Seorang penelaah/kritik(us) sastra adalah seorang pembaca ahli dan sekaligus dapat berperan sebagai penyunting. Redaktur dan penyunting tulisan kategori sastra pada sebuah perusahaan surat kabar, belum tentu seorang penelaah sastra. Ini karena redaktur dan penyunting hanya bertugas untuk meninjau dan mempersiapkan sebuah tulisan untuk diterbitkan dari segi tata bahasa, tipografi, dan kriteria standar penenerbitan sebuah tulisan dari perusahaan penerbitan.
     Penelaah/kritik(us) sastra bekerja berdasarkan kuartis tika sastra yakni menelaah dan menilai karya sastra berdasarkan sistematika, stilistika, estetika dan etika sastra yang sudah sahih dan disepakati oleh masyarakat sastra, otoritas sastra atau  pemerintah di suatu negara. Kalau misalnya ada sistematika, stilistika, estetika, dan etika nan baru, hal itu mesti diuji kesahihannya dan mendapat kesepakatan bersama.
     Seorang penelaah/kritik(us) dan teoris sastra sebaiknya juga jujur menyatakan sumber gagasan/ide/hasil pemikiran, konsep, dan wacana tentang sastra ketika menulis dan menyampaikannya. Bukankan dunia keilmuan lebih mengutamakan kebenaran dan kejujuran? Kalau memang ada teori-teori, ide, konsep dan wacana berasal dari tulisan dan ujaran dalam bahasa asing, jangan sekali-sekali mengelabui orang lain, terkhusus pembelajar seperti murid dan mahasiswa, bahwa ianya bersumber dari dari pemikiran sendiri.
    Lebih sangat profesional kalau dinyatakan bahwa dalam buku-buku teori sastra yang ditulis memang banyak alih bahasa teori daripada menciptakan teori-teori sastra sendiri dari hasil membaca dan mengalihbahasakan teori-teori dalam bahasa asing itu. Semoga saja teoris-teoris sastra Indonesia tidak pernah mengelabui dirinya dan orang lain hingga sastra Indonesia dapat mencapai kemurniannya dan masyarakat sastra Indonesianya tidak hanya menjadi konsumen hedonis dari teori-teori yang dialihbahasakan dari bahasa asing, tetapi menjadi penikmat dan penemu konsep dan pemikiran nan kritis.
    Dalam konsep perangkat penilaian puisi yang dirancang oleh penulis, ada 40 (empat puluh) aspek dari puisi yang dapat ditelaah, ditemukan kekurangan dan kesalahannya, dan kemudian diberi nilai. Kesalahan-kesalahan yang mungkin ditemukan dalam sebuah puisi berdasarkan kuartis tika sastra beserta perbaikannya dapat dituliskan dalam kolom saran, atau dibuat pada kolom-kolom terpisah. Konsep, yang belum sahih ini, dirumuskan dan bersumber dari beberapa pemikiran sastrawan dan teoritis sastra. Konsep perangkat penilaian puisi dari 40 aspek akan penulis coba paparkan pada tulisan nan terpisah.
     Oleh karena penulis pernah punya sedikit pengalaman menjadi guru di pelbagai tingkatan pendidikan formal di sekolah dan luar sekolah, satu hal yang juga sangat penting dalam proses pencapaian tujuan pendidikan nasional adalah perangkat penilaian belajar siswa dan mahasiswa. Hal itu juga berlaku untuk kemajuan dan proses pencapaian tujuan perpuisian Indonesia. Apa tujuan perpuisian Indonesia? Bukankah untuk menghasilkan karya-karya sastra yang berkualitas tinggi. Tentu saja untuk menentukan karya-karya sastra yang berkualitas tinggi itu dengan menelaah dan memberikan penilaian.
     Beberapa contoh nan baik dalam penilaian puisi dan penemuan kesalahan-kesalahan puisi berdasarkan perangkat penilaian, sistematika dan aturan menulis puisi dapat dipelajari dari grup puisi Puisi 2koma7 dan grup puisi PADMA-pola tuang 4444 di jejaring media sosial Facebook. Grup Puisi 2koma7 dikelola oleh Imron Tohari, Dimas Arika Mihardja, Haris Fadhillah, dan kawan-kawan, sedangkan grup puisi PADMA-pola tuang 444 dikelola oleh Imron Tohari dan kawan-kawan. Mereka yang mengasuh kedua grup puisi tersebut, tidak hanya mengasah, tetapi juga mengasuh dan mengasih(i) penulis-penulis puisi pemula yang tertarik belajar menulis puisi 2koma7 dan puisi PADMA. Kritik-kritik mereka memang ada nan pedas, namun disertai dengan alasan dan saran perbaikan kalau ada puisi-puisi dari penulis puisi pemula yang tidak sesuai dengan standar yang sudah disepakati. Begitulah hendaknya penelaah/kritik(us) sastra Indonesia yang lainnya.
  Sebaiknya, sebelum memulai proses menelaah untuk menemukan kesalahan-kesalahan dalam sebuah puisi, seorang calon penelaah/kritik(us) atau penelaah/kritik(us) sastra mesti belajar memahami dan menyadari bahwa kebebasan puitis dalam mencipta karya sastra tidak boleh dipaksakan seragam. Masing-masing orang yang menulis dan mengujarkan karya sastra memiliki keunikan masing-masing.
     Kalau menemukan kesalahan-kesalahan dalam pedoman ejaan bahasa, tata bahasa atau yang mungkin tidak sesuai dengan kaidah-kaidah linguistik, atau ada diksi (bahkan transposisi kata) yang dianggap tidak jelas maknanya itu bisa jadi adalah ciri khas yang menciptakan karya sastranya. Bahan utama sastra adalah bahasa. Dalam bahasa, tidak adanya namanya jenis bahasa sampah. Ini artinya tidak ada yang namanya puisi-puisi gelap, sampah, tidak dimengerti arti dan tidak diketahui tujuannya, dan gagal. Mungkin puisi-puisi itu belum sampai pada kontemplasi bahwa sastra berkualitas tinggi mesti lengkap kuartis tika sastranya.
     Semoga calon-calon penelaah/kritik(us) sastra Indonesia selalu bersemangat belajar dan tabah menjalani proses agar kelak dapat dinyatakan dan disetujui sebagai penelaah/kritik(us) sastra Indonesia yang profesional, setelah belajar berenang dan menyelam di candradimuka, menapakkan kaki-kaki pemikirannya pada jenjang tangga kriteria penelaah/kritik(us) sastra mulai dari dasar, pemula, menengah, tinggi, master, dan profesional.
  Penulis, sebagai salah satu yang diberi amanah untuk menyandang gelar Sarjana Sastra, menyarankan agar mahasiswa-mahasiswi program studi sastra (Indonesia, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Arab, Belanda, Sanskerta, Minangkabau, Melayu, Jawa, dan yang lainnya) membekali diri mereka dengan kamus-kamus bahasa, kamus-kamus etimologi, kamus-kamus istilah, dan kamus-kamus sastra ketika belajar tentang sastra. Kalau harganya mahal, pinjamlah dari perpustakaan atau dari dosen-dosen sastra yang sudah pernah belajar dan bekerja di luar negeri.
    Guru-guru dan dosen-dosen sastra di Indonesia itu sudah sangat berjasa karena lebih memilih bertahan hidup di Indonesia dan berjuang untuk menciptakan insan-insan yang memiliki wawasan sastra. Mereka mengritik dan menilai murid-murid dan mahasiswa-mahasiswinya setiap hari, bahkan masih terjaga untuk membuat penilaian ketika mungkin ada murid-murid dan mahasiswa-mahasiswinya menikmati dunia gemerlap nan penuh cahaya lampu disko dan musik yang berdentum-dentum.
    Mereka adalah sosok-sosok yang mengajarkan kita tentang cara membuat, menyalakan dan menggunakan suluh agar peradaban manusia tidak kembali dalam kegelapan. Sekarang tinggal bagaimana kita menjaga dan mencegah agar suluh tidak padam dan berganti dengan pijar api bom klaster, desingan peluru dan ledakan nan berdentum-dentum.
      Terima kasih.
      Alaika salam.
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar