17/01/16

Mempertanyakan Keaslian & Kebenaran Sejarah Nama Kota Dumai


 Saya sebagai warga Dumai tidak percaya dan tidak yakin bahwa asal nama Kota Dumai berasal dari kata “di lubuk” dan “umai” yang bersumber dari salah satu versi cerita rakyat Putri Tujuh. Ketidakpercayaan itu muncul karena tidak adanya publikasi resmi Pemerintah Kota Dumai tentang kajian sejarah dan kajian bahasa yang meneliti tentang asal nama Kota Dumai, dan digunakan menjadi dasar hukum untuk menetapkan informasi sejarah asal mula nama Kota Dumai.
Pada halaman informasi di internet milik Pemerintah Kota Dumai dengan alamat atau Uniform Resource Locator (URL) http://www.dumaikota.go.id, dalam halaman berjudul Sejarah disebutkan bahwa “nama Dumai menurut cerita rakyat tentang Putri Tujuh, berasal dari kata “di lubuk” dan “umai” (sejenis binatang landak) yang mendiami lubuk tersebut. Karena sering diucapkan cepat, lama kelamaan kata-kata tersebut bertaut menjadi d’umai dan selanjutnya menjadi dumai(Dikutip sesuai dengan teks yang ada website tersebut).
Dari hasil diskusi terbuka tentang cerita Putri Tujuh melalui sarana media sosial internet dengan beberapa sastrawan, budayawan, ahli bahasa, dan warga dari Dumai dan luar Dumai ditambah dengan studi kepustakaan, saya mendapat beberapa informasi bahwa ada beberapa versi teks cerita  rakyat yang mengisahkan tentang cerita Putri Tujuh. Teks-teks cerita rakyat Putri Tujuh adalah: 1) Cerita Putri Tujuh oleh H. Lebai Gedang (seperti disebutkan oleh sastrawan, A. Yani AB. , cerita ini pernah diterbitkan dalam bentuk stensilan sekitar tahun 1980, dan pernah dimuat dalam Surat Kabar Genta), 2) Cerita rakyat Putri Tujuh oleh Bachtiar Achmad Tatoe yang ditulis pada tahun 1997, 3) Cerita rakyat Putri Tujuh (Kerajaan Sri Bunga Tanjung) dalam buku cerita rakyat Dumai yang diterbitkan oleh Kantor Parbudpora Kota Dumai pada tahun 2004,  4) Cerita Putri Tujuh: Asal Mula Kota Dumai oleh Wahyuningrum yang diterbitkan oleh Balai Kajian & Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit Adicita Karya Nusa pada tahun 2005, 5) Cerita rakyat Putri Tujuh dalam Buku Seri Cerita Rakyat Kota Dumai yang diterbitkan oleh Kantor Parbudpora Kota Dumai pada tahun 2007.
Dari informasi-informasi tersebut dapat diketahui bahwa ada lima teks cerita tentang kisah Putri Tujuh dalam bentuk prosa yang telah ditulis. Pertanyaan lain yang juga muncul, siapakah penutur pertama, atau setidaknya bila cerita rakyat Putri Tujuh mulai dituturkan, didengar, dan diketahui oleh masyarakat Dumai hingga kemudian berkembang dan dituliskan dalam beberapa teks cerita yang berbeda. Apa cerita rakyat Putri Tujuh dituturkan dahulu, baru kemudian ditulis, atau mungkin ditulis dahulu, lalu berkembang menjadi cerita tutur. Itu adalah adalah pertanyaan lainnya yang mesti diteliti agar mendapatkan jawaban yang sahih sesuai ilmu pengetahuan.
Asumsi yang menyatakan bahwa kata “di lubuk” dan “umai” bersumber dari buku cerita rakyat berjudul “Putri Tujuh: Asal Mula Kota Dumai” yang ditulis oleh Wahyuningrum dan diterbitkan oleh Balai Kajian & Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit Adicita Karya Nusa pada tahun 2005. Akibatnya sampai hari ini dikatakan bahwa masyarakat Dumai percaya bahwa asal mula nama Kota Dumai berasal dari kata “di lubuk” dan “umai”.
Apa ada penulis ceritanya menyertakan informasi tentang referensi yang digunakannya ketika menuliskan cerita  rakyat Kota Dumai. Berasal dari penuturan penutur cerita rakyat atau membaca teks-teks sastra yang juga mengisahkan tentang cerita rakyat berjudul Putri Tujuh.
Dari judul bukunya saja yaitu Putri Tujuh: Asal Mula Kota Dumai sudah menimbulkan kesan seolah-olah ada fakta-fakta sejarah dalam bukunya. Frasa asal mula, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti mula-mula sekali atau keadaan (sebab-sebab dan sebagainya) yang semula. Ini berarti bahwa kalau ingin memberikan informasi dan mengisahkan asal mula atau sejarah sahih, asli, dan benar tentang asal mula nama Kota Dumai harus dengan pengkajian sejarah yang komprehensif dan meneliti pelbagai sumber-sumber sejarah lisan juga tulisan yang mungkin ada tersimpan di tempat-tempat penyimpanan arsip lokal, nasional, dan internasional.
Pemberian informasi dan pengisahan sejarah asal mula nama kota maupun kabupaten yang hanya berdasarkan asumsi-asumsi dan khayalan-khayalan adalah tindakan yang tidak sesuai menurut ilmu sejarah dan dasar hukum penulisan sejarah lokal.
Cerita rakyat yang ditulis kembali, atau disadur dari cerita-cerita tutur dari suatu kelompok masyarakat, yang kemudian disepakati dan disetujui sebagai cerita rakyat, adalah cerita fiksi, cerita yang lebih banyak unsur khayalannya. Cerita rakyat yang juga bagian dari tradisi lisan tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber untuk mengkaji sejarah tentang sesuatu.
Apa satu-satunya sumber informasi sejarah tertulis tentang asal nama Kota Dumai hanya berasal dari cerita rakyat Putri Tujuh yang ditulis oleh Wahyuningrum, atau jangan-jangan masih ada sumber-sumber informasi lainnya. Padahal untuk menulis sejarah lokal, yang sudah ada pedoman penulisan sejarahnya, harus melewati serangkaian tata cara, dan dengan mengkaji informasi-informasi dari lima bentuk sumber sejarah yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang Pedoman Penulisan Sejarah Lokal.
Sebelum mengiyakan dan menyetujui bahwa kata “Dumai” berasal dari kata “di lubuk” dan “umai”, sebaiknya Pemerintah Kota Dumai melaksanakan pengkajian tentang siapa pengarang, dan berapa usia cerita rakyat Putri Tujuh yang asli, dan membedakannya dari cerita rakyat Putri Tujuh versi saduran, dan versi pengembangan.
Pengkajian sejarah asal mula nama Kota Dumai dan pengkajian cerita rakyat Putri Tujuh yang dinyatakan sebagai legenda adalah dua hal yang berbeda, kecuali kalau sahih bahwa kata-kata “di lubuk” dan “umai” adalah asal mula nama Kota Dumai. Siapa yang pertama sekali menyatakan pendapat bahwa asal mula nama Kota Dumai berasal dari kata “di lubuk” dan “umai”? Bukankah itu bersumber dari sebuah cerita yang bisa saja, mungkin, disadur dari cerita rakyat Putri Tujuh yang asli. Bagaimana pula dengan adanya sumber-sumber sejarah tertulis dan lisan lainnya yang mempunyai informasi tentang kata “Doemei”.
Apa memang sahih bahwa cerita rakyat Putri Tujuh yang asli memuat kisah tentang asal mula nama Kota Dumai, atau mungkin amanat utama yang lain dalam kisahnya. 
Saya pernah membaca bahwa ada kata “Doemei” dari sebuah sumber tertulis dalam berbahasa Belanda. Sumber informasi tertulis itu berjudul Lijst van Plaatsnamen in NEDERLANDSCH-INDIE oleh B.WIERINGA yang dibuat GEDRUKT BIJ, MERCURIUS, BATAVIA pada tahun 1911 ).  Pada halaman 64 tertulis informasi yaitu Doemei W.v. Bengkalis (Tandjongpinang) res. S.O.K. str Roepat 
(http://www.zwp-lbstudie.nl/ned-indie/history/1911-wieringa/Wieringa-1911-em-2e.pdf)
Apa sumber informasi tersebut asli dan benar,dan kata “Doemei” tersebut adalah kata keterangan tempat untuk wilayah yang sekarang disebut sebagai Kota Dumai? Itu adalah wewenang pakar-pakar sejarah dan ahli-ahli arsip untuk menyatakan keaslian dan kebenarannya.
Dari aspek ejaan saja, antara kata “doemei” dan “umai” sudah jauh berbeda, tetapi sangat cocok ketika ejaan “doemei” berubah menjadi “dumai”. Pertanyaan baru yang muncul adalah perihal etimologi kata “doemei”. Pertanyaan lainnya adalah darimana dan siapakah kelompok  masyarakat yang pertama sekali menuturkan kata “doemei”.  Hal ini tentu adalah ranahnya pakar-pakar bahasa yang khatam dan berkualifikasi dalam etimologi.
Apa mungkin kata “Doemei” yang ada dalam sumber tertulis tersebut adalah asal mula namanya, kemudian sekarang menjadi “Dumai”?  Ini patut dikaji.  Saya berpendapat bahwa masih ada kecenderungan menerima begitu saja informasi tentang sejarah tanpa melaksanakan pengkajian.
Hal tersebut yang menjadi alasan lainnya mengapa saya menolak mempercayai dan meyakini bahwa asal mula nama Kota Dumai bersumber dari cerita rakyat berjudul Puteri Tujuh: Asal Mula Kota Dumai yang ditulis oleh Wahyuningrum.
Tidak perlu pula malu, gengsi, dan seolah-olah terkena amnesia sejarah, kalau berdasarkan fakta-fakta dalam sejarah bahwa sebelum mendirikan Republik Indonesia, ada banyak Kerajaan dan Kesultanan yang saling menaklukkan, dikalahkan dan dijajah oleh penjajah. Sejarah bangsa ini tidak boleh digelapkan karena salah satu tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Asal mula dan asal usul sebuah kata, seperti nama dan kata “Dumai”, harus diteliti dari pelbagai sumber, bukan hanya mengiyakan dari sebuah atau beberapa asumsi yang belum dibuktikan kebenarannya secara ilmiah.
Kalau memang asal nama kota Dumai memang bersumber dari cerita rakyat Putri Tujuh yang ditulis oleh Wahyuningrum, mengapa tidak ada publikasi resmi dari Pemerintah Kota Dumai tentang kajian sejarah dan kajian bahasa asal mula nama Kota Dumai. Sejarah ditulis dengan mengkaji sumber-sumber sejarah tertulis dan sumber-sumber sejarah lisan dari pelbagai lokasi tempat penyimpanan sumber sejarah, bukan semata-mata bersumber dari asumsi-asumsi dan khayalan-khayalan.
Cerita rakyat sebagi tradisi lisan tentu lahir dan dituturkan ketika ada rakyat yang hidup dan bermukim di suatu tempat. Apa artinya? Ini berarti sejarah cerita rakyat yang cerita  rakyat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi sejarah dapat diteliti dengan kaidah-kaidah ilmiah antropologi, demografi, ilmu sejarah, ilmu arsip, ilmu bahasa, dan imu sastra.
Aspek yang mungkin dapat digunakan untuk membedakan antara penulisan teks sejarah dan penulisan teks prosa “cerita rakyat” yang mungkin lebih banyak unsur fiksinya adalah kata keterangan waktu. Kata keterangan waktu dalam penulisan sejarah tidak sama halnya dengan menulis kata keterangan waktu dan kata keterangan tempat dalam dongeng, atau cerita rakyat yang mungkin lebih banyak khayalnya saja.
Contoh penulisan keterangan waktu dan kata keterangan tempat dalam penulisan kalimat sejarah, menurut saya, misalnya seperti: Soekarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Penggunaan kata keterangan waktu dan kata keterangan tempatnya sangat berbeda dengan penulisan cerita rakyat, contohnya seperti: Dahulu kala ada seorang rakyat jelata yang tutur dan tulisannya mengandung tanda-tanda tentang kejadian-kejadian nan akan terjadi di Negeri Antah-Berantah.
Kata-kata benda, keterangan tempat dan keterangan waktu yang sengaja ditebalkan pada paragraf sebelumnya adalah untuk memperlihatkan bahwa contoh kalimat pertama lebih kuat untuk dijadikan sumber informasi sejarah dibandingkan dengan contoh kalimat kedua yang keterangan benda, keterangan waktu, dan keterangan tempatnya berdasarkan khayalan.
Apa gunanya pembelajaran kaidah-kaidah ilmiah, kalau sekarang saja masih ada yang memberikan informasi tentang sejarah asal mula nama kota tanpa diuji kesahihan, keaslian, dan kebenarannya?
Cobalah baca halaman informasi di internet milik Pemerintah DKI Jakarta yang secara terbuka mempublikasikan sejarah dan kronologi asal mula nama Kota Jakarta.
Penulisan sejarah itu ada dasar hukumnya dan metodenya.  Silakan baca, pelajari, dan pahami Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.46/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Penulisan Sejarah Lokal. Entahlah kalau sekarang Undang-Undang, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan dasar hukum terbaru yang  mengatur tata cara penulisan sejarah lokal.
Sekiranya ada pihak yang menuliskan sejarah lokal, namun belum diuji kesahihan, keaslian, dan kebenarannya menurut peraturan yang telah ditetapkan, dan kemudian mempublikasikan sebagai sejarah hingga membuat masyarakat menjadi percaya bahwa hal tersebut adalah sejarah, itu berarti pihak tersebut sudah membohongi masyarakat.
Akan tetapi, karena saya bukan pakar sejarah, sebaiknya Pemerintah Kota Dumai meminta bantuan dari pakar-pakar sejarah dan pakar-pakar bahasa untuk membuat pengkajian sejarah dan bahasa tentang asal mula nama Kota Dumai. Kalau pengkajian sejarah dan bahasanya sudah dilaksanakan, dan kemudian disahkan kesahihan, keaslian, dan kebenarannya, barulah dipublikasikan tentang sejarah asal nama Kota Dumai. Sejarah asal mula nama Kota Dumai juga harus punya dasar hukum.
Warga negara saja kalau anak-anaknya lahir diwajibkan untuk mengurus akte kelahiran sesuai dengan dasar hukumnya agar ada data kependudukan dan dapat ditelusuri sejarah kelahirannya. Lantas, apa yang akan Pemerintah Kota Dumai kerjakan untuk dapat memberikan informasi sejarah asal mula nama Kota Dumai yang asli dan benar bagi masyarakat Dumai?
Atau mungkin kata “Dumai” bukan berasal dari kata “di lubuk” dan “Umai”, tetapi mungkin dari kata “Amai”, “Kumai”, atau “Lumai” ? Itu juga mesti dikaji kalau memang berniat memberikan informasi sejarah nan asli dan benar.
Saya tidak mempertanyakan tentang ketersediaan buku-buku sejarah Kota Dumai yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk membuatnya, namun baru sebatas sejarah asal mula nama Kota Dumai. Akan tetapi, alangkah sangat baik dikaji dan dipublikasikan, kalau sekiranya Pemerintah Kota Dumai mengetahui dan memiliki sumber-sumber informasi tertulis berupa bundelan surat kabar, arsip-arsip informasi, naskah-naskah, manuskrip-manuskrip, dan buku-buku tentang sejarah Kota Dumai dan juga sejarah asal mula nama Kota Dumai.
Kata Nugroho Notosusanto, sastrawan Indonesia,  dalam sebuah surat kabar lama (yang saya lupa nama surat kabar, edisi, dan tahun terbitnya) bahwa sejarah berisikan kisah, peristiwa, dan pelajaran. Itu berarti setiap kisah tentang peristiwa yang sudah terjadi di masa lampau selalu mengandung hikmah yang bermanfaat untuk sebagai pelajaran.
Saya berpendapat bahwa fungsi sastra adalah untuk menghibur dan mendidik, bukan sebagai alat pembodohan dan pembohongan, juga tidak sebagai  pemaksaan dominasi dan hegemoni kebudayaan tertentu. Betapa jahilnya kita kalau menjadikan karya-karya sastra sebagai alat pembodohan.
Mengapa saya tertarik menyampaikan pernyataan dan pertanyaan perihal sejarah asal mula nama Kota Dumai? Karena saya adalah warga Dumai yang gemar membaca karya-karya sastra dan buku-buku yang berisikan informasi-informasi sejarah. Itu saja, tidak lebih dan tidak kurang.
Alangkah malunya kita kalau kelak ada anak cucu cicit, wisatawan-wisatawan domestik dan mancanegara, kalangan investor di sektor pariwisata dan kebudayaan, dan pencinta-pencinta sejarah bertanya perihal sejarah asal mula nama dan sejarah kota kita, tetapi kita tidak dapat menjawab dan memberikan informasi nan sahih, asli, dan benar sesuai menurut kaidah-kaidah ilmiah.
Semoga ahli-ahli sejarah, pakar-pakar bahasa, dan kalangan jurnalis juga dapat membantu Pemerintah Kota Dumai untuk memberikan informasi yang sahih, asli, dan benar tentang asal mula nama Kota Dumai bagi masyarakat Dumai.
Apa yang saya tanyakan dan nyatakan dalam tulisan ini mudah-mudahan juga bermanfaat bagi kalangan pemerintah daerah di Provinsi Riau agar cermat perihal publikasi informasi dan penulisan sejarah, khususnya asal mula nama Kota dan Kabupaten, yang mestinya dikaji berdasarkan ilmu sejarah dan etimologi.
Terima kasih.
Alaika salam.


* Semoga pihak-pihak yang melaksanakan Penulisan Peristiwa Sejarah, Pengumpulan Sumber Sejarah, Penulisan Tokoh Sejarah, dan Penerbitan Buku-Buku Sejarah JUJUR, ADIL, dan ILMIAH demi TUJUAN MENCERDASKAN ANAK BANGSA, bukan hanya semata-mata untuk mendapatkan laba proyek atau semata-mata untuk kepentingan politik tertentu. Bangsa kita sudah 74 tahun merdeka, berilah sejarah yang JUJUR tanpa REKAYASA. Pihak yang paling berkualifikasi dalam semua itu adalah pakar-pakar sejarah, bukan ahli berpikir dengan AKAL-AKALAN. 

Beberapa PERATURAN terbaru yang menggantikan PERATURAN-PERATURAN sebelumnya adalah 1)   Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia  Nomor 69 Tahun 2016 tentang Pedoman Penulisan Peristiwa Sejarah., 2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengumpulan Sumber Sejarah., 3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia  Nomor 72 Tahun 2016 tentang Pedoman Penulisan Tokoh Sejarah.
Ketiganya bisa diunduh pada tautan: JDIH Kemdikbud

*(Ditambah pada tanggal 24 Maret 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar