27/11/15

puisi


Ayam Bangkok

ayam Bangkok berkokok
menjelang fajar
itu tandanya sudah pagi

ayam Bangkok berkokok
menjelang tengah malam
itu tandanya  dia begadang

ayam Bangkok mematuk taji
menjelang laga
itu tandanya pemanasan raga

ayam Bangkok mengepakkan sayap
menjelang gelanggang
itu tandanya beregang-regang

ayam Bangkok sendiri
bagai anggota pasukan berani mati
ada musuh pantang lari

ayam Bangkok menang sabung
masuk sangkar berselubung
kalah keluar ubung

ayam Bangkok itu
memang jago
bukan jago kandang,
tetapi jago di gelanggang.

Dumai, November 2015

Lanjutkan Membaca >>

Kritik Sastra atau Telaah Sastra



Tulisan ini bukan untuk menambah kerlap-kerlip bintang-bintang di semesta sastra yang ketika satu bintang gemilang, pancaran cahaya bintang-bintang nan lain menjadi terhalang. Masing-masing bintang sudah punya waktu dan tempat untuk gemilang sesuai dengan konstelasinya, berdasarkan orbit, rotasi dan gravitasinya. Bintang-bintang nan mulai tidak terlihat kilaunya, tidak mesti merusak keseimbangan alam agar dapat lebih dekat dengan matahari dan menjauh dari dari kegelapan. Terlalu dekat dan makin dekat dengan matahari hanya akan membuat bintang-bintang menjadi musnah. Terlalu lama dalam kegelapan dan sengaja ditutupi agar tidak mendapat cahaya matahari juga akan menjadikan bintang-bintang akan menjadi beku dan kemudian musnah dalam kedinginan.


    Kecaman-kecaman yang menyatakan ada puisi-puisi di Indonesia sebagai puisi gelap, puisi sampah, puisi yang tidak dapat dimengerti artinya dan tidak dapat diketahui tujuannya dan puisi gagal, tidak dapat disebut sebagai suatu hasil telaah atau kajian sastra maupun sebagai kritik sastra,  kalau tidak dibuktikan dengan alasan-alasan dan penemuan kesalahan-kesalahan melalui telaah yang menggunakan perangkat penilaian sastra.

    Kalau ditilik dari jenis pengkajian sastra menurut M.H Abrams dalam kamus istilah sastra A Glossary of Literary Terms (1999), kecaman-kecaman di atas dapat dikategorikan sebagai kecaman impresionis, bukan kecaman dari penelaah/kritik(us) sastra profesional. Kecaman yang lebih mengutamakan perasaan daripada alasan, fakta dan telaah.
Lanjutkan Membaca >>

Kritikologi


     Seorang kritik(us) sejati dan profesional tidak akan pernah menyatakan kecaman-kecaman terhadap puisi-puisi dengan menyebutnya sebagai puisi gelap, puisi sampah, puisi yang tidak dapat dimengerti dan diketahui tujuannya, puisi gagal, puisi basi, puisi saduran, puisi jiplakan, puisi igau, puisi tidak laku, dan puisi cengeng, tanpa memberikan contoh, melakukan penelahaan dan menggunakan perangkat penilaian yang sahih dalam ilmu sastra.
Lanjutkan Membaca >>

Kritik(us) Sastra atau Penyangak Sastra

        Kalau dulu memang puisi-puisi, dan pada umumnya karya-karya sastra lainnya dapat disensor secara halus dan terang-terangan melalui pengawasan dan pemeriksaan di meja-meja redaksi surat kabar dan majalah, penyensoran itu juga terjadi di penerbit-penerbit yang memiliki standar masing-masing dalam menerbitkan karya sastra.
      Sekarang ada banyak orang yang menulis puisi, kemudian mempublikasikan sendiri puisi-puisinya di internet melalui jejaring sosial Facebook, Twitter dan blog. Apa lantas puisi-puisi tersebut dapat dinyatakan dan dikecam sebagai puisi-puisi “sampah” atau puisi-puisi “hina” yang tidak lolos dan tidak sesuai kriteria redaksi surat kabar dan majalah cetak maupun digital?
      Kalau memang sungguh ingin mengecam seperti itu, silakan kemukakan alasan ilmiah dan perangkat pengukuran yang dapat menyatakan puisi-puisi dipublikasikan melalui internet, khususnya di dinding facebook adalah “tidak terpakai” dan “hina”. Lantas, bagaimana kiatnya agar penulis-penulis pemula yang sedang belajar menulis puisi dapat mengubah “sampah-sampah” dan “kehinaan” itu menjadi “emas” dan “kemuliaan”? Bukankah di negeri ini ada banyak pemulung dan pendaur ulang sampah yang berhasil mengolah dan menjual sampah menjadi “emas”.
    Pernyataan bahwa puisi-puisi di Facebook adalah puisi-puisi “sampah” tentu melahirkan pertanyaan dan pernyataan. Saya berasumsi pernyataan itu memang sengaja dinyatakan agar lahir ketertarikan dari penulis-penulis pemula untuk mengetahui sejauh mana wawasan ilmu sastra dan ilmu kritik sastra yang mengeluarkan pernyataan. Salah satu caranya, mungkin, ya mungkin dengan membeli buku kritik sastra yang sudah ditulis oleh yang memberikan pernyataan tersebut. Kalau asumsi ini betul, pernyataan tersebut adalah semata-mata sebagai politik pemasaran agar tulisannnya laku. Semoga saja asumsi ini hanya khayalan penulis belaka dan semoga pernyataan tersebut adalah sebuah cambuk untuk membuat penulis-penulis pemula makin terlecut dan makin giat belajar menulis puisi-puisi “emas” dan “mulia”.
Lanjutkan Membaca >>