13/10/12

Jalan Kreatif Penuh Warna Bukanlah Jalan Baru


Saat ini untuk membaca dan menikmati berbagai kekayaan sastra dari berbagai daerah Indonesia dan belahan dunia dapat dengan menggunakan internet. Kekayaan itu saya baca dan nikmati melalui berbagai portal online Cerita Rakyat Nusantara, Sagang Online, Majalah Sagang versi digital, Fiksiana (Kompasiana), Oase (Kompas.com), Jendela Sastra, Komunitas Pencinta Puisi Indonesia, Puisi Esai, Jurnal Sajak dan berbagai blog sastra Indonesia lainnya. Terdapat ribuan karya sastra berupa cerita pendek, puisi, novel, cerita bersambung, esai, kritik dan tulisan kreatif lainnya di laman-laman online tersebut.

Disamping itu ada pula portal online yang bernama Project Gutenberg yang menyediakan sekitar 30.000 karya sastra berbahasa asing (Bahasa Inggris) dari berbagai belahan dunia. Belum cukup juga? Masih ada banyak surat kabar online Indonesia lainnya yang memuat masih peduli untuk memuat karya-karya sastra dan tulisan kreatif lainnya. Radio dan televisi online yang membahas karya sastra juga ada. Tak suka online? Kunjungilah Perpustakaan dan Taman-Taman Bacaan terdekat untuk membaca buku-buku yang berisikan karya sastra karangan penulis-penulis Indonesia.

Bagaimana kita menyikapi keberadaan sumber-sumber kekayaan sastra Indonesia dan dunia tersebut? Tentu saja kita dapat menggunakan (dalam maksud non komersil) sumber bacaan tersebut untuk membuka cakrawala wawasan dan horison harapan mengenai berbagai hal dalam kehidupan khususnya terkait bahasa dan sastra. Di samping itu kita juga dapat menggunakan bacaan-bacaan tersebut sebagai sumber telaah sastra (jika ada diantara pembaca yang sedang melakukan penelitian sastra sebagai tugas dalam dunia akademik jurusan sastra berbahasa asing khususnya Bahasa Inggris).

Namun tidak mesti selalu menjadikan karya-karya sastra berbahasa asing sebagai objek telaah sastra jika ada diantara kawan-kawan pembaca yang sedang kuliah di Jurusan sastra bahasa asing. Alangkah mantapnya jika kawan-kawan yang sedang melakukan penelitian sastra sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhirnya dapat menggunakan karya-karya sastra berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah sebagai objek penelitiannya.

Dulu ketika saya melakukan pengkajian sastra memang ada semacam ketentuan yang telah ditentukan dari otoritas akademik untuk mengutamakan karya-karya sastra berbahasa asing (Bahasa Inggris) sebagai bahan utama pengkajian dan penelitian. Entahlah kalau sekarang sudah berubah.

Siapakah lagi yang akan memperkenalkan, mengkaji dan meneliti serta menuliskan esai, kritik dan pendapat-pendapat dari karya-karya sastra dari Indonesia kalau bukan kawan-kawan yang memiliki ilmu dalam Kebahasaan dan Kesastraan? Jika kerja-kerja itu diserahkan kepada orang-orang yang memanfaatkan kekayaan sastra Indonesia untuk tujuan-tujuan selain Kebahasaan dan Kesastraan (tujuan politis misalnya) maka kerja-kerja itu cenderung mengarah kepada politisasi sastra (menunggangi sastra untuk tujuan politik). Meskipun didalam dunia sastra sendiri sudah ada pendekatan sastra yang berdasarkan pandangan-pandangan politik namun alangkah semakin indahnya jika sastra dikembalikan untuk sastra. Sastra yang penuh nilai, makna dan keindahan.

Sekarang untuk memperkenalkan karya-karya sastra Indonesia ke berbagai penikmat sastra di luar negeri tidak mesti bersusah payah. Sejak teknologi informasi dan komunikasi sekalian dengan perangkat-perangkatnya semakin canggih maka kita dapat memperkenalkan kekayaan sastra Indonesia hanya dengan menggunakan blog, web, media sosial, surat elektronik, televisi dengan siaran online, radio online yang kesemuanya itu menggunkan akses internet. Bayangkan saya tidak pernah ketemu dengan Saut Situmorang saja (salah seorang sastrawan Indonesia yang mengkritik dan ‘mencarutmarutkan” GM dan kawan-kawannya melalui Djoernal Boemi Putra itu) dapat saya dengar apresiasi dan kritik sastranya melalui arsip audio di internet dan radio online. Bagaimana? Dapat bayangannya? Kalau tidak dapat, tidak apa-apa kawan. Entah bagaimana pula nanti Saut Situmorang menanggapi tulisan ini jika dia membacanya. Kritiklah siapa saja dengan bahasa yang sopan dan santun dengan menggunakan bidal dan kiasan. Jika kritiknya tidak digubris maka doakan agar yang dikritik dapat berubah ke arah yang lebih baik.

Kerja-kerja untuk membuat kekayaan sastra Indonesia dapat dinikmati oleh banyak orang di luar negeri telah dilakukan oleh banyak pihak. Contohnya seperti Badan Bahasa, Majelis Sastra Asia Tenggara, Yayasan Lontar dan yang lain-lain. Terlepas dari pro kontra apakah kerja-kerja sastra di Indonesia mesti ‘bersih’ dari maksud-maksud tersembunyi negara asing untuk meluluhlantakkan ketahanan kebudayaan Indonesia (khususnya melalui sastra dan unsur budaya lainnya) maka yang paling penting itu adalah bagaimana membuat anak bangsa lebih mencintai dan menikmati karya-karya sastra asli milik bangsa Indonesia. Tak terlalu paham pula saya hendak berpolemik mengenai bagaimana caranya menunjukkan rasa kebangsaan ‘nasionalisme’ Indonesia melalui karya sastra. Saya hanya sempat memberikan pendapat kepada beberapa kawan bahwa agak abu-abu nasionalisme kita jika kerja-kerja kreatif dalam dunia sastra dan kebudayaan dibiayai oleh negara asing. Mestinya yang lebih dahulu memiliki kepedulian dalam masalah pembiayaan adalah penyelenggara pembangunan. Apakah tidak mungkin ketika kerja-kerja kreatif dalam dunia sastra Indonesia mendapat bantuan dari negara asing lalu mereka memberikan persyaratan agar jangan lupa untuk mempromosikan nilai-nilai budaya yang mereka inginkan? Besar kemungkinannya kawan. Padahal belum tentu nilai-nilai itu cocok dan sesuai untuk bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika ini. Tidak dapat pula saya membahas yang satu ini lebih jauh sebab tak pernah punya pengalaman dalam kerja kreatif yang didanai oleh negara asing. Dalam konteks wawasan nusantara maka utamakanlah untuk mempertahankan nilai-nilai kebudayaan Indonesia sebelum ingin mempromosikan nilai-nilai asing yang ada dalam konsep globalisme itu. Kalau mau cerita membahas kerterkaitan satu sama lain dalam kebudayaan satu bumi maka sama-sama satu bumi kita ini. Tak ada lagi perdebatan dan perbedaan berdasarkan batas negara dan kebangsaan. Namun tersebab saya dan kawan-kawan masih bangga dan tidak malu menjadi bagian dari bangsa Indonesia maka marilah kita perkuat barisan untuk menjaga, mencintai dan menikmati kekayaan sastra Indonesia.

Agak bagaimana rasanya ya. Hanya sebab pernah tinggal beberapa tahun di negara asing, mendapat beasiswa dari pihak luar negeri atau ada sedikit bantuan asing untuk kerja-kerja kreatif maka dengan semangat menggebu-gebu dipromosikanlah nilai-nilai pesanan asing yang membonceng dan dipesankan oleh ‘mereka’. Pulang ke Indonesia lalu dicari berbagai cara terkini untuk meruntuhkan nilai-nilai kebudayaan Indonesia. Ironis hanya sebab saling mempromosikan nilai-nilai yang diinginkan oleh sponsor-sponsor asing tersebut maka sesama anak bangsa saling berperang dalam kata dan tindakan. Berbagai dalih mulai dari ajaran agama, ideologi, interkultural, persamaan, ekonomi dan segudang isu lainnya dijadikan kedok untuk mengganti nilai-nilai kebudayaan Indonesia. Nilai-nilai kebudayaan Indonesia sudah jelas tertuang dan terpadu dalam Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan Wawasan Nusantara. Tak perlu lagi antara yang merasa minoritas dan mayoritas saling bertengkar dan bermusuhan. Siapa yang mengambil keuntungan dari perpecahan bangsa Indonesia? Pastilah pihak-pihak asing yang kembali ingin menjajah bangsa Indonesia di setiap sektor kehidupan. Apa kita bangsa Indonesia tidak ingat bagaimana Indonesia pernah dijajah 350 tahun ditambah 3,5 tahun? Lalu apa kaitannya dengan kekayaan sastra Indonesia? Contoh sederhana saja jika kekayaan sastra Indonesia yang ada sekarang tidak segera diarsipkan dan dipublikasikan secara utuh dan menyeluruh maka ada peluang anak bangsa bakal harus jauh-jauh ke luar negeri untuk mengetahui tentang karya-karya sastra Indonesia (atau setidaknya mesti membaca dari Portal Sastra yang dikelola oleh pihak asing).

Ah…kamu bisanya cuma berbicara tanpa aksi.
 
Tidak kawan. Saya sudah berupaya untuk beraksi dengan cara mengunjungi perpustakaan yang ada di daerah saya ini untuk membaca dan menikmati berbagai karya sastra anak bangsa. Kalau ada dana cukup maka dapat pula saya membeli satu, dua atau sepuluh karya sastra yang ditulis oleh penulis-penulis kreatif Indonesia dan diterbitkan oleh berbagai penerbit di Indonesia. Jika tidak maka meluncurlah saya singgah ke portal-portal, website dan blog berisikan karya sastra Indonesia (termasuk didalamnya sastra daerah) yang online itu sebab Banyak Membaca Halus Budi Bahasa dan Luas Cakrawala. Membaca Itu Membuka Jendela Informasi.

Ada lagi?

Ada kawan.

Hampir setiap dekat dan menjelang waktu kampanye dan pemilihan calon kepala daerah serta calon legislatif di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/ kota maka berlomba-lomba semakin banyak kegiatan terkait sastra di Indonesia ini. Bagaimana hendak mengatakan karya yang ‘bebas nilai’ itu (apolitis maksudnya) jika kerja-kerja sastra ‘ditunggangi’ oleh politisi-politisi yang sedang melakukan penggalangan massa untuk diarahkan sebagai konstituen mereka? Kembali lagi terjebak dalam tempurung tengkurap. Nanti kalau ‘mereka’ sudah terpilih lalu menjadi penguasa lalu apa bentuk kepedulian mereka yang nyata terhadap masyarakat sastra Indonesia? Membaca karya-karya sastra saja ada yang alergi mereka. Apalagi mau berupaya untuk menjaga kekayaan sastra Indonesia.

Terkait kata-kata “menunggangi dan ditunggangi” maka teringat pula saya dengan salah seorang kawan yang menyatakan itu tidak salah, hal biasa dan lumrah. Yang menyalah itu kalau “menunggangi” bini milik orang. Ini hanya kelakar saja jangan marah pula kawan. Marah kau kawan? Kenapa sebab kau gemar selingkuh? Maaflah kawan. Ingatlah anak dan istrimu di rumah ya.

Sebenarnya bekerja sama dalam rangka menggiatkan kerja-kerja sastra juga merupakan salah satu jalan kreatif juga dalam konteks simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Penggiat kerja-kerja kreatif dalam dunia sastra Indonesia membutuhkan dukungan pembiayaan sedangkan ‘mereka’ membutuhkan pencitraan, dukungan massa dan calon konstituen. Bagaimana caranya untuk bersinergi dalam jalan kreatif itu? Mungkin dengan membentuk organisasi-organisasi bertajuk DPP dan DPD dengan berbagai nama sesuai kepentingan pengurus dan pihak yang mendanai pengurusnya dalam berkegiatan. Salahkah itu kawan? Tidak salah. Selama tidak melanggar peraturan dan hukum yang berlaku.

Banyak kali kau pakai kata ‘kawan’. Kau aktivis politik ya?

Ada-ada saja kawan ini. Aktivis politik apanya? Ikut unjuk rasa saja tidak pernah. Kalau ikut kegiatan seni serta budaya, pernahlah beberapa kali jika ada waktu, peluang, kesempatan dan biaya. Kata ‘kawan’ sinonim artinya dengan kata ‘sahabat’, ‘saudara’, ‘teman’ dan ‘sobat’. Masa harus pakai kata “Dude” atau “Mate” disini? Ha..ha..ha…Narablog ini merupakan penikmat sastra dan humaniora lainnya yang sedang belajar menulis.

Kenapa tidak pakai kata ‘pembaca’ saja?

Biarlah semakin akrab. Meskipun belum kenal. Jauh dimata. Untuk lebih dekat dihati maka yang sudah mau berkunjung ke blog ini dan membacanya isinya maka dijadikan kawan saja. Makin banyak kawan semakin baik. Semakin indah hidup ini.

Apa saja karya sastra yang kau senangi?

Macam-macam kawan. Semuanya aku suka apalagi kalau yang menulisnya sesama bangsa Indonesia. Di samping itu karya sastra dari luar negeri juga disukai. Sebagaimana maksud yang ada dalam beberapa slogan Bulan Bahasa dan Sastra 2012 yang dirilis oleh Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maka seperti itu pula pandangan terhadap karya sastra,
  • Sastra menumbuhkan solidaritas kemanusiaan
  • Sastra membuka wawasan tentang Indonesia
  • Apresiasi Sastra Indonesia Membina Budi Pekerti Bangsa
  • Ayo kita membaca karya sastra sebanyak-banyaknya
  • Lebih baik membaca daripada mencela.
  • Membaca Itu Membuka Jendela Informasi.
  • Tiada hari tanpa baca buku.
  • Banyak membaca halus budi bahasa dan luas cakrawala
  • Mari kita baca buku kapan dan di mana saja kita berada
Semoga bermanfaat kawan. Nanti tanggal 28 Oktober 2012 dapat pula dijadikan slogan-slogan tersebut sebagai topik yang berpengaruh di media sosial dan pesan singkat berantai dengan bunyi “Sebarkan Slogan Ini ke Sepuluh Orang Teman Untuk Menunjukkan Bahwa Anak Bangsa Juga Cinta Sastra Indonesia”.

Tambah banyak cerita kau ini. Apa pula arti kata “slogan” itu?

Maklumlah kawan. Sedang belajar menulis sebagai narablog.

Kata ‘slogan’ dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti 1) perkataan atau kalimat pendek yg menarik atau mencolok dan mudah diingat untuk memberitahukan atau mengiklankan sesuatu, seperti Solo Berseri (bersih, sehat, indah, rapi) sesuatu; 2) perkalian atau kalimat pendek yang menarik, mencolok, dan mudah diingat untuk menjelaskan tujuan suatu ideologi golongan, organisasi, partai politik, dan sebagainya (Pusat Bahasa, Depdiknas 2008). Hmmm…Dumai Kota Pengantin Berseri, agaknya kata ‘Berseri’ ini terinspirasi dari Solo Berseri.

Fungsi dari slogan adalah untuk menarik, memberitahukan atau mengiklankan sesuatu agar mudah diingat. Jika diingat dan dikenal maka semakin dirindu dan disayang. Tak ingat maka tak rindu. Tak kenal maka tak sayang. Kalau sudah ingat, rindu lalu kenal dan sayang maka akhirnya lahirlah rasa cinta. Jika sudah cinta 100 % pastilah akan menjaganya sepenuh hati. Kalau cintanya belum 100 % maka ada peluang tidak terjaga 100 % pula dan terjadi perselingkuhan akibat ketidaksetiaan. Rindu, sayang, cinta dan kesetiaan untuk Bahasa dan Sastra Indonesia. Begitu maksudnya kawan.

Karena dalam bulan Oktober ini tepatnya pada tanggal 28 merupakan tanggal yang bersejarah dimana Sumpah Pemuda dicetuskan pada 28 Oktober 1928 maka slogan-slogan tersebut berfungsi untuk mengingatkan, memberitahu dan meningkatkan kesadaran berbahasa Indonesia dan mencintai sastra Indonesia melalui momentum Bulan Bahasa dan Sastra dan Peringatan Hari Sumpah Pemuda 2012.

Macam Pujangga pula kau ini. Kabarnya ada yang mau menyelenggarakan Sumpah Pemuda Jilid II? Bagaimana pendapat kau tentang hal itu?

Bagaimana ya…
Hidup tanpa cinta bagaikan taman tak berbunga.
Hai…begitulah kata para pujangga…
Tapi jangan cinta buta
(Dalam lirik lagu dangdut karya Rhoma Irama).

Sesuatu sekali hal tersebut. Sumpah Pemuda Jilid II? Semoga positif tujuan dan manfaat Sumpah Pemuda Jilid II tersebut. Namun jangan sampai dicetuskan pula sumpah baru bahwa akan ada Bahasa Nasional baru selain Bahasa Indonesia apalagi Bahasa Alay (?) dijadikan Bahasa Nasional. Nanti jadi bangsa Alay kita ini bukan lagi bangsa Indonesia. Bangsa Alay yang semakin jarang dibelai oleh nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan Indonesia.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia (versi digital) kata “Alai” merupakan nama pohon, buahnya seperti petai besar; kedaung, Parkia roxburfhii. Sedangkan ungkapan “Alai-belai” berarti bujukan (Pusat Bahasa, Depdiknas 2008). Lalu dimana kaitan antara Bahasa Alay dengan kosa kata tersebut? Bisa jadi Bahasa Alay tumbuh di Indonesia sebab anak bangsa banyak yang lebih senang dibujuk, dirayu dan dibelai oleh nilai-nilai kebudayaan asing. Mungkin juga Bahasa Alay semakin berkembang sebab bangsa Indonesia ‘lalai’ mengupayakan anak bangsa untuk mengingat, merindukan, mengenal, menyayangi dan mencintai Bahasa Indonesia. Entahlah. Wallahualam bisawab. Globalisasi telah melibas segalanya.

Untuk mengetahui bagaimana pandangan anak bangsa mengenai Bahasa Alay mungkin dapat disaksikan pada kegiatan Debat Bahasa Antarmahasiswa se-Jadebotabek dan Banten Tahun 2012 yang bertema “Bahasa Indonesia sebagai Perekat Kerukunan Hidup Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara”. Terdapat sembilan topik debatnya termasuk topik Bahasa Alay merusak seni berbahasa Indonesia. Informasi lebih lengkap tentang Debat Bahasa ini cek di tautan ini Lomba Bulan Bahasa dan Sastra 2012. Adu debat saja biar semakin terbuka cakrawala wawasan dan bertambah horison harapannya kawan-kawan mahasiswa. Tidak perlu tawuran. Stop Tawuran! Mahasiswa Indonesia Cinta Damai!

Suka mendengar lagu dangdut juga kau ya?

Ya. Dangdut adalah salah satu khazanah kekayaan budaya Indonesia yang lirik-lirik lagunya juga memiliki nilai sastra. Kawan-kawan yang sedang kuliah di jurusan Sastra Inggris, Jerman, Jepang dan Perancis jika berminat dan diperbolehkan dapat menjadikan lirik-lirik lagu dangdut Indonesia sebagai objek penelitian sastranya. Sudah ada yang menelaahnya? Kalau tidak tertarik lirik-lirik lagu dari band-band Indonesia seperti Forgotten, Jeruji, Seringai dan yang lainnya juga bagus untuk ditelaah nilai-nilai sastranya. Kalau tidak tertarik juga masih banyak lirik lagu-lagu dari dunia musik Indonesia.

Kau bisa berbahasa Inggris? Dari tadi kau sebut-sebut Jurusan Sastra Inggris. Kalau bisa berbahasa asing itu mengapa kau tidak keliling dunia di luar negeri sana?

Bisa sedikit Kawan. Ingin keliling dunia seperti Rayhan Kelana juga tapi keliling Indonesia saja belum. Mau keliling Indonesia dulu kalau ada langkahnya. Sekarang keliling Indonesia dan dunia melalui internet saja Kawan. Dunia ada pada jari telunjuk dan jari tengahmu. Terserah nanti setelah itu kamu mau acungkan Jempol, Telunjuk atau Jari Tengah.

Ada-ada saja kau ini. Jalan Kreatif Penuh Warna Bukanlah Jalan Baru. Apa maksudmu? Dimana kau sekarang?

Maksudku sudah dari dulu bangsa Indonesia ini kreatif dalam warna-warni mencintai Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai salah satu esensi kebudayaan nasional Indonesia disamping unsur-unsur kebudayaan lainnya. Tak mesti hilang kedamaian bangsa Indonesia sebab anak bangsa saling berlomba mempromosikan jalan-jalan baru sesuai pesanan ‘sponsor-sponsor’. Bukankah jalan-jalan lama masih banyak yang perlu diperbaiki dan dibangun agar semakin kuat dan tahan menjadi tempat berjalannya anak bangsa ditengah-tengah libasan globalisasi yang semakin ganas ini.

Terlalu mengambang pemaparanku Kawan atau ambigu? Bebas ditafsirkan sesukamu sebab engkaulah kawan yang mau meluangkan waktunya membaca tulisan ini dan yang lainnya dalam blog ini. Agar supaya....(Repetisi ini kawan. Kata ‘agar’ = ‘supaya’ ), Dalam Kamus Bahasa Indonesia, “supaya” adalah kata penghubung untuk menandai tujuan atau harapan; mudah-mudahan sampai pada maksudnya; hendaknya; agar (Pusat Bahasa, Depdiknas 2008).

Renungkanlah kata-kata ini agar kamu dapat memahaminya maknanya,
“Cinta Bahasa Indonesia Berarti Cinta Tanah Air, Bangsa & Negara.”

Tertiblah kamu dalam berbahasa Indonesia supaya kamu semakin memahami bahwa Ketertiban berbahasa mencerminkan keteraturan berpikir dan bertindak

Agar supaya…agar supaya…agar supaya…lama jadi Agar-Agar Pepaya…Kelakar saja kawan.”

Aku ada didalam hatimu.
Ha..ha..ha…Aku di Dumai, salah satu kota di Provinsi Riau bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kerja dimana kau Kawan?

Aku kerja di tengah dan di tepi.

Mengapa pula kau ikut Lomba Blog Bahasa dan Sastra dalam Bulan Bahasa dan Sastra 2012? Apa motifnya?

Karena Lomba Blog ini merupakan salah satu kerja yang positif untuk mengairahkan dan meningkatkan minat anak bangsa untuk mencintai Bahasa dan Sastra Indonesia ditengah-tengah pesat dan kompleksnya persaingan global di segala bidang. Saat ini saya prihatin terhadap kepedulian penyelenggara pembangunan baik di tingkat pusat dan daerah terhadap pembangunan dan pengembangan potensi bahasa dan sastra di Indonesia. Seringkali saya membaca informasi bahwa kawan-kawan penggiat kerja-kerja positif terkait Bahasa dan Sastra Indonesia tidak mendapat dukungan yang nyata oleh penyelenggara pembangunan namun syukurlah mereka masih tetap melanjutkan kerja itu sehingga tercapai tujuannya. Masalah Kebahasaan dan Kesastraan di Indonesia perlu segera dipetakan dan ditemukan solusinya oleh berbagai komponen bangsa Indonesia sebab jika tidak hal ini akan mempengaruhi banyak hal. Ketidakpedulian anak bangsa terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia akan berimbas kepada eksistensi kebudayaan Indonesia baik pada ruang lingkup daerah, nasional dan internasional. Selain itu rasa nasionalisme akan mudah luntur jika semangat cinta Bahasa dan Sastra Indonesia telah perlahan-lahan hilang dimakan gelombang dan arus globalisasi. Saya mengusulkan agar Badan Bahasa memiliki Portal Bahasa & Sastra yang berisikan tentang kekayaan Bahasa & Sastra Indonesia seperti Portal Sastra seperti di Wikipedia dan Project Gutenberg. Selain versi digital dalam bentuk portal, kekayaan tersebut dapat juga dirangkum dalam sebuah Ensiklopedia Bahasa dan Sastra Indonesia yang lengkap.

Sedangkan motifnya untuk menambah gairah dan semangat menulis dalam blog ini.

Ah, Kau ikut Lomba Blog biar menang dan dapat hadiah. Lain kali kita sambung ceritanya…

Ya Kawan….Agaknya ada juga motif itu. Ha…ha…ha.
Terima kasih. Sampai jumpa di tulisan berikutnya.

Dari Dumai Cinta Damai, 03.38 WIB, 13 Oktober 2012

Daftar Lagu:
Rotor – Nadya
Jeruji – Semua Pasti Mati
Jasad - Kujang Rompang
Forgotten – Pusara Beku
Banana Split – Ratata Boom
Seringai - Mengadili Persepsi

Jika ada kata-kata baik dalam tulisan dan blog ini tidak tepat dan benar maka dikoreksi saja. Maklum sedang belajar menulis. Undang-Undang saja boleh direvisi apalagi tulisan ini. Ini kata-kataku yang sedang belajar menulis bukan katanya, katanya, katanya yang semakin abu-abu itu. Dalam 3 x 24 jam masih terdapat gejala-gejala ketidaksukaan terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia maka segeralah konsultasi ke Badan Bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar