Saat ini untuk membaca
dan menikmati berbagai kekayaan sastra dari berbagai daerah Indonesia
dan belahan dunia dapat dengan menggunakan internet. Kekayaan itu
saya baca dan nikmati melalui berbagai portal online Cerita Rakyat
Nusantara, Sagang Online, Majalah Sagang versi digital, Fiksiana
(Kompasiana), Oase (Kompas.com), Jendela Sastra, Komunitas Pencinta
Puisi Indonesia, Puisi Esai, Jurnal Sajak dan berbagai blog sastra
Indonesia lainnya. Terdapat ribuan karya sastra berupa cerita pendek,
puisi, novel, cerita bersambung, esai, kritik dan tulisan kreatif
lainnya di laman-laman online tersebut.
Disamping itu ada pula portal online yang bernama Project Gutenberg yang menyediakan sekitar 30.000 karya sastra berbahasa asing (Bahasa Inggris) dari berbagai belahan dunia. Belum cukup juga? Masih ada banyak surat kabar online Indonesia lainnya yang memuat masih peduli untuk memuat karya-karya sastra dan tulisan kreatif lainnya. Radio dan televisi online yang membahas karya sastra juga ada. Tak suka online? Kunjungilah Perpustakaan dan Taman-Taman Bacaan terdekat untuk membaca buku-buku yang berisikan karya sastra karangan penulis-penulis Indonesia.
Bagaimana kita menyikapi
keberadaan sumber-sumber kekayaan sastra Indonesia dan dunia
tersebut? Tentu saja kita dapat menggunakan (dalam maksud non
komersil) sumber bacaan tersebut untuk membuka cakrawala wawasan dan
horison harapan mengenai berbagai hal dalam kehidupan khususnya
terkait bahasa dan sastra. Di samping itu kita juga dapat menggunakan
bacaan-bacaan tersebut sebagai sumber telaah sastra (jika ada
diantara pembaca yang sedang melakukan penelitian sastra sebagai
tugas dalam dunia akademik jurusan sastra berbahasa asing khususnya
Bahasa Inggris).
Namun tidak mesti selalu
menjadikan karya-karya sastra berbahasa asing sebagai objek telaah
sastra jika ada diantara kawan-kawan pembaca yang sedang kuliah di
Jurusan sastra bahasa asing. Alangkah mantapnya jika kawan-kawan yang
sedang melakukan penelitian sastra sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan tugas akhirnya dapat menggunakan karya-karya sastra
berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah sebagai objek penelitiannya.
Dulu ketika saya
melakukan pengkajian sastra memang ada semacam ketentuan yang telah
ditentukan dari otoritas akademik untuk mengutamakan karya-karya
sastra berbahasa asing (Bahasa Inggris) sebagai bahan utama
pengkajian dan penelitian. Entahlah kalau sekarang sudah berubah.
Siapakah lagi yang akan
memperkenalkan, mengkaji dan meneliti serta menuliskan esai, kritik
dan pendapat-pendapat dari karya-karya sastra dari Indonesia kalau
bukan kawan-kawan yang memiliki ilmu dalam Kebahasaan dan Kesastraan?
Jika kerja-kerja itu diserahkan kepada orang-orang yang memanfaatkan
kekayaan sastra Indonesia untuk tujuan-tujuan selain Kebahasaan dan
Kesastraan (tujuan politis misalnya) maka kerja-kerja itu cenderung
mengarah kepada politisasi sastra (menunggangi sastra untuk tujuan
politik). Meskipun didalam dunia sastra sendiri sudah ada pendekatan
sastra yang berdasarkan pandangan-pandangan politik namun alangkah
semakin indahnya jika sastra dikembalikan untuk sastra. Sastra yang
penuh nilai, makna dan keindahan.
Sekarang untuk
memperkenalkan karya-karya sastra Indonesia ke berbagai penikmat
sastra di luar negeri tidak mesti bersusah payah. Sejak teknologi
informasi dan komunikasi sekalian dengan perangkat-perangkatnya
semakin canggih maka kita dapat memperkenalkan kekayaan sastra
Indonesia hanya dengan menggunakan blog, web, media sosial, surat
elektronik, televisi dengan siaran online, radio online yang
kesemuanya itu menggunkan akses internet. Bayangkan saya tidak pernah
ketemu dengan Saut Situmorang saja (salah seorang sastrawan Indonesia yang mengkritik dan ‘mencarutmarutkan” GM dan kawan-kawannya
melalui Djoernal Boemi Putra itu) dapat saya dengar apresiasi dan
kritik sastranya melalui arsip audio di internet dan radio online.
Bagaimana? Dapat bayangannya? Kalau tidak dapat, tidak apa-apa kawan.
Entah bagaimana pula nanti Saut Situmorang menanggapi tulisan ini
jika dia membacanya. Kritiklah siapa saja dengan bahasa yang sopan
dan santun dengan menggunakan bidal dan kiasan. Jika kritiknya tidak
digubris maka doakan agar yang dikritik dapat berubah ke arah yang
lebih baik.
Kerja-kerja untuk membuat
kekayaan sastra Indonesia dapat dinikmati oleh banyak orang di luar
negeri telah dilakukan oleh banyak pihak. Contohnya seperti Badan
Bahasa, Majelis Sastra Asia Tenggara, Yayasan Lontar dan yang
lain-lain. Terlepas dari pro kontra apakah kerja-kerja sastra di
Indonesia mesti ‘bersih’ dari maksud-maksud tersembunyi negara
asing untuk meluluhlantakkan ketahanan kebudayaan Indonesia
(khususnya melalui sastra dan unsur budaya lainnya) maka yang paling
penting itu adalah bagaimana membuat anak bangsa lebih mencintai dan
menikmati karya-karya sastra asli milik bangsa Indonesia. Tak terlalu
paham pula saya hendak berpolemik mengenai bagaimana caranya
menunjukkan rasa kebangsaan ‘nasionalisme’ Indonesia melalui
karya sastra. Saya hanya sempat memberikan pendapat kepada beberapa
kawan bahwa agak abu-abu nasionalisme kita jika kerja-kerja kreatif
dalam dunia sastra dan kebudayaan dibiayai oleh negara asing.
Mestinya yang lebih dahulu memiliki kepedulian dalam masalah
pembiayaan adalah penyelenggara pembangunan. Apakah tidak mungkin
ketika kerja-kerja kreatif dalam dunia sastra Indonesia mendapat
bantuan dari negara asing lalu mereka memberikan persyaratan agar
jangan lupa untuk mempromosikan nilai-nilai budaya yang mereka
inginkan? Besar kemungkinannya kawan. Padahal belum tentu nilai-nilai
itu cocok dan sesuai untuk bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika
ini. Tidak dapat pula saya membahas yang satu ini lebih jauh sebab
tak pernah punya pengalaman dalam kerja kreatif yang didanai oleh
negara asing. Dalam konteks wawasan nusantara maka utamakanlah untuk
mempertahankan nilai-nilai kebudayaan Indonesia sebelum ingin
mempromosikan nilai-nilai asing yang ada dalam konsep globalisme itu.
Kalau mau cerita membahas kerterkaitan satu sama lain dalam
kebudayaan satu bumi maka sama-sama satu bumi kita ini. Tak ada lagi
perdebatan dan perbedaan berdasarkan batas negara dan kebangsaan.
Namun tersebab saya dan kawan-kawan masih bangga dan tidak malu
menjadi bagian dari bangsa Indonesia maka marilah kita perkuat
barisan untuk menjaga, mencintai dan menikmati kekayaan sastra
Indonesia.
Agak bagaimana rasanya
ya. Hanya sebab pernah tinggal beberapa tahun di negara asing,
mendapat beasiswa dari pihak luar negeri atau ada sedikit bantuan
asing untuk kerja-kerja kreatif maka dengan semangat menggebu-gebu
dipromosikanlah nilai-nilai pesanan asing yang membonceng dan
dipesankan oleh ‘mereka’. Pulang ke Indonesia lalu dicari
berbagai cara terkini untuk meruntuhkan nilai-nilai kebudayaan
Indonesia. Ironis hanya sebab saling mempromosikan nilai-nilai yang
diinginkan oleh sponsor-sponsor asing tersebut maka sesama anak
bangsa saling berperang dalam kata dan tindakan. Berbagai dalih mulai
dari ajaran agama, ideologi, interkultural, persamaan, ekonomi dan
segudang isu lainnya dijadikan kedok untuk mengganti nilai-nilai
kebudayaan Indonesia. Nilai-nilai kebudayaan Indonesia sudah jelas
tertuang dan terpadu dalam Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan
Wawasan Nusantara. Tak perlu lagi antara yang merasa minoritas dan
mayoritas saling bertengkar dan bermusuhan. Siapa yang mengambil
keuntungan dari perpecahan bangsa Indonesia? Pastilah pihak-pihak
asing yang kembali ingin menjajah bangsa Indonesia di setiap sektor
kehidupan. Apa kita bangsa Indonesia tidak ingat bagaimana Indonesia
pernah dijajah 350 tahun ditambah 3,5 tahun? Lalu apa kaitannya
dengan kekayaan sastra Indonesia? Contoh sederhana saja jika kekayaan
sastra Indonesia yang ada sekarang tidak segera diarsipkan dan
dipublikasikan secara utuh dan menyeluruh maka ada peluang anak
bangsa bakal harus jauh-jauh ke luar negeri untuk mengetahui tentang
karya-karya sastra Indonesia (atau setidaknya mesti membaca dari
Portal Sastra yang dikelola oleh pihak asing).
Ah…kamu bisanya cuma
berbicara tanpa aksi.
Tidak kawan. Saya sudah
berupaya untuk beraksi dengan cara mengunjungi perpustakaan yang ada
di daerah saya ini untuk membaca dan menikmati berbagai karya sastra
anak bangsa. Kalau ada dana cukup maka dapat pula saya membeli satu,
dua atau sepuluh karya sastra yang ditulis oleh penulis-penulis
kreatif Indonesia dan diterbitkan oleh berbagai penerbit di
Indonesia. Jika tidak maka meluncurlah saya singgah ke portal-portal,
website dan blog berisikan karya sastra Indonesia (termasuk
didalamnya sastra daerah) yang online itu sebab Banyak
Membaca Halus Budi Bahasa dan Luas Cakrawala. Membaca Itu Membuka
Jendela Informasi.
Ada lagi?
Ada kawan.
Hampir setiap dekat dan
menjelang waktu kampanye dan pemilihan calon kepala daerah serta
calon legislatif di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/ kota maka
berlomba-lomba semakin banyak kegiatan terkait sastra di Indonesia
ini. Bagaimana hendak mengatakan karya yang ‘bebas nilai’ itu
(apolitis maksudnya) jika kerja-kerja sastra ‘ditunggangi’ oleh
politisi-politisi yang sedang melakukan penggalangan massa untuk
diarahkan sebagai konstituen mereka? Kembali lagi terjebak dalam
tempurung tengkurap. Nanti kalau ‘mereka’ sudah terpilih lalu
menjadi penguasa lalu apa bentuk kepedulian mereka yang nyata
terhadap masyarakat sastra Indonesia? Membaca karya-karya sastra saja
ada yang alergi mereka. Apalagi mau berupaya untuk menjaga kekayaan
sastra Indonesia.
Terkait kata-kata
“menunggangi dan ditunggangi” maka teringat pula saya dengan
salah seorang kawan yang menyatakan itu tidak salah, hal biasa dan
lumrah. Yang menyalah itu kalau “menunggangi” bini milik orang.
Ini hanya kelakar saja jangan marah pula kawan. Marah kau kawan?
Kenapa sebab kau gemar selingkuh? Maaflah kawan. Ingatlah anak dan
istrimu di rumah ya.
Sebenarnya bekerja sama
dalam rangka menggiatkan kerja-kerja sastra juga merupakan salah satu
jalan kreatif juga dalam konteks simbiosis mutualisme (saling
menguntungkan). Penggiat kerja-kerja kreatif dalam dunia sastra
Indonesia membutuhkan dukungan pembiayaan sedangkan ‘mereka’
membutuhkan pencitraan, dukungan massa dan calon konstituen.
Bagaimana caranya untuk bersinergi dalam jalan kreatif itu? Mungkin
dengan membentuk organisasi-organisasi bertajuk DPP dan DPD dengan
berbagai nama sesuai kepentingan pengurus dan pihak yang mendanai
pengurusnya dalam berkegiatan. Salahkah itu kawan? Tidak salah.
Selama tidak melanggar peraturan dan hukum yang berlaku.
Banyak kali kau pakai
kata ‘kawan’. Kau aktivis politik ya?
Ada-ada saja kawan ini.
Aktivis politik apanya? Ikut unjuk rasa saja tidak pernah. Kalau ikut
kegiatan seni serta budaya, pernahlah beberapa kali jika ada waktu,
peluang, kesempatan dan biaya. Kata ‘kawan’ sinonim artinya
dengan kata ‘sahabat’, ‘saudara’, ‘teman’ dan ‘sobat’.
Masa harus pakai kata “Dude” atau “Mate”
disini? Ha..ha..ha…Narablog ini merupakan penikmat sastra dan
humaniora lainnya yang sedang belajar menulis.
Kenapa tidak pakai
kata ‘pembaca’ saja?
Biarlah semakin akrab.
Meskipun belum kenal. Jauh dimata. Untuk lebih dekat dihati maka yang
sudah mau berkunjung ke blog ini dan membacanya isinya maka dijadikan
kawan saja. Makin banyak kawan semakin baik. Semakin indah hidup ini.
Apa saja karya sastra
yang kau senangi?
Macam-macam kawan.
Semuanya aku suka apalagi kalau yang menulisnya sesama bangsa
Indonesia. Di samping itu karya sastra dari luar negeri juga disukai.
Sebagaimana maksud yang ada dalam beberapa slogan Bulan Bahasa dan Sastra 2012
yang dirilis oleh Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
maka seperti itu pula pandangan terhadap karya sastra,
- Sastra menumbuhkan solidaritas kemanusiaan
- Sastra membuka wawasan tentang Indonesia
- Apresiasi Sastra Indonesia Membina Budi Pekerti Bangsa
- Ayo kita membaca karya sastra sebanyak-banyaknya
- Lebih baik membaca daripada mencela.
- Membaca Itu Membuka Jendela Informasi.
- Tiada hari tanpa baca buku.
- Banyak membaca halus budi bahasa dan luas cakrawala
- Mari kita baca buku kapan dan di mana saja kita berada
Semoga bermanfaat kawan.
Nanti tanggal 28 Oktober 2012 dapat pula dijadikan slogan-slogan
tersebut sebagai topik yang berpengaruh di media sosial dan pesan
singkat berantai dengan bunyi “Sebarkan Slogan Ini ke Sepuluh Orang
Teman Untuk Menunjukkan Bahwa Anak Bangsa Juga Cinta Sastra
Indonesia”.
Tambah banyak cerita
kau ini. Apa pula arti kata “slogan” itu?
Maklumlah kawan. Sedang
belajar menulis sebagai narablog.
Kata ‘slogan’ dalam
Kamus Bahasa Indonesia berarti 1) perkataan atau kalimat pendek yg
menarik atau mencolok dan mudah diingat untuk memberitahukan atau
mengiklankan sesuatu, seperti Solo Berseri (bersih, sehat,
indah, rapi) sesuatu; 2) perkalian atau kalimat pendek yang
menarik, mencolok, dan mudah diingat untuk menjelaskan tujuan suatu
ideologi golongan, organisasi, partai politik, dan sebagainya (Pusat
Bahasa, Depdiknas 2008). Hmmm…Dumai Kota Pengantin Berseri,
agaknya kata ‘Berseri’ ini terinspirasi dari Solo Berseri.
Fungsi dari slogan adalah
untuk menarik, memberitahukan atau mengiklankan sesuatu agar mudah
diingat. Jika diingat dan dikenal maka semakin dirindu dan disayang. Tak ingat maka tak rindu. Tak
kenal maka tak sayang. Kalau sudah ingat, rindu lalu kenal dan sayang
maka akhirnya lahirlah rasa cinta. Jika sudah cinta 100 % pastilah
akan menjaganya sepenuh hati. Kalau cintanya belum 100 % maka ada
peluang tidak terjaga 100 % pula dan terjadi perselingkuhan akibat
ketidaksetiaan. Rindu, sayang, cinta dan kesetiaan untuk Bahasa dan
Sastra Indonesia. Begitu maksudnya kawan.
Karena dalam bulan
Oktober ini tepatnya pada tanggal 28 merupakan tanggal yang
bersejarah dimana Sumpah Pemuda dicetuskan pada 28 Oktober 1928 maka
slogan-slogan tersebut berfungsi untuk mengingatkan, memberitahu dan
meningkatkan kesadaran berbahasa Indonesia dan mencintai sastra
Indonesia melalui momentum Bulan Bahasa dan Sastra dan Peringatan
Hari Sumpah Pemuda 2012.
Macam Pujangga pula
kau ini. Kabarnya ada yang mau menyelenggarakan Sumpah Pemuda Jilid
II? Bagaimana pendapat kau tentang hal itu?
Bagaimana ya…
Hidup tanpa cinta
bagaikan taman tak berbunga.
Hai…begitulah kata
para pujangga…
Tapi jangan cinta buta
(Dalam lirik lagu dangdut
karya Rhoma Irama).
Sesuatu sekali hal
tersebut. Sumpah Pemuda Jilid II? Semoga positif tujuan dan manfaat
Sumpah Pemuda Jilid II tersebut. Namun jangan sampai dicetuskan pula
sumpah baru bahwa akan ada Bahasa Nasional baru selain Bahasa
Indonesia apalagi Bahasa Alay (?) dijadikan Bahasa Nasional.
Nanti jadi bangsa Alay kita ini bukan lagi bangsa Indonesia.
Bangsa Alay yang semakin jarang dibelai oleh nilai-nilai kemanusiaan
dan kebudayaan Indonesia.
Dalam Kamus Bahasa
Indonesia (versi digital) kata “Alai” merupakan nama pohon,
buahnya seperti petai besar; kedaung, Parkia roxburfhii.
Sedangkan ungkapan “Alai-belai” berarti bujukan (Pusat
Bahasa, Depdiknas 2008). Lalu dimana kaitan antara Bahasa Alay dengan
kosa kata tersebut? Bisa jadi Bahasa Alay tumbuh di Indonesia sebab
anak bangsa banyak yang lebih senang dibujuk, dirayu dan dibelai oleh
nilai-nilai kebudayaan asing. Mungkin juga Bahasa Alay semakin
berkembang sebab bangsa Indonesia ‘lalai’ mengupayakan anak
bangsa untuk mengingat, merindukan, mengenal, menyayangi dan
mencintai Bahasa Indonesia. Entahlah. Wallahualam bisawab.
Globalisasi telah melibas segalanya.
Untuk mengetahui
bagaimana pandangan anak bangsa mengenai Bahasa Alay mungkin dapat
disaksikan pada kegiatan
Debat Bahasa Antarmahasiswa
se-Jadebotabek dan Banten Tahun
2012 yang bertema “Bahasa Indonesia sebagai Perekat Kerukunan Hidup
Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara”. Terdapat sembilan topik
debatnya termasuk topik Bahasa Alay
merusak seni berbahasa Indonesia. Informasi lebih lengkap tentang
Debat Bahasa ini cek di tautan ini Lomba Bulan Bahasa dan Sastra 2012. Adu debat saja biar semakin terbuka cakrawala wawasan dan
bertambah horison harapannya kawan-kawan mahasiswa. Tidak perlu
tawuran. Stop Tawuran! Mahasiswa Indonesia Cinta Damai!
Suka mendengar lagu
dangdut juga kau ya?
Ya. Dangdut adalah salah
satu khazanah kekayaan budaya Indonesia yang lirik-lirik lagunya juga
memiliki nilai sastra. Kawan-kawan yang sedang kuliah di jurusan
Sastra Inggris, Jerman, Jepang dan Perancis jika berminat dan
diperbolehkan dapat menjadikan lirik-lirik lagu dangdut Indonesia
sebagai objek penelitian sastranya. Sudah ada yang menelaahnya? Kalau
tidak tertarik lirik-lirik lagu dari band-band Indonesia seperti
Forgotten, Jeruji, Seringai dan yang lainnya juga bagus untuk
ditelaah nilai-nilai sastranya. Kalau tidak tertarik juga masih
banyak lirik lagu-lagu dari dunia musik Indonesia.
Kau bisa berbahasa
Inggris? Dari tadi kau sebut-sebut Jurusan Sastra Inggris. Kalau bisa
berbahasa asing itu mengapa kau tidak keliling dunia di luar negeri
sana?
Bisa sedikit Kawan. Ingin
keliling dunia seperti Rayhan Kelana juga tapi keliling Indonesia
saja belum. Mau keliling Indonesia dulu kalau ada langkahnya.
Sekarang keliling Indonesia dan dunia melalui internet saja Kawan.
Dunia ada pada jari telunjuk dan jari tengahmu. Terserah nanti
setelah itu kamu mau acungkan Jempol, Telunjuk atau Jari Tengah.
Ada-ada saja kau ini.
Jalan Kreatif Penuh Warna Bukanlah Jalan Baru. Apa maksudmu? Dimana
kau sekarang?
Maksudku sudah dari dulu
bangsa Indonesia ini kreatif dalam warna-warni mencintai Bahasa dan
Sastra Indonesia sebagai salah satu esensi kebudayaan nasional
Indonesia disamping unsur-unsur kebudayaan lainnya. Tak mesti hilang
kedamaian bangsa Indonesia sebab anak bangsa saling berlomba
mempromosikan jalan-jalan baru sesuai pesanan ‘sponsor-sponsor’.
Bukankah jalan-jalan lama masih banyak yang perlu diperbaiki dan
dibangun agar semakin kuat dan tahan menjadi tempat berjalannya anak
bangsa ditengah-tengah libasan globalisasi yang semakin ganas ini.
Terlalu mengambang
pemaparanku Kawan atau ambigu? Bebas ditafsirkan sesukamu sebab
engkaulah kawan yang mau meluangkan waktunya membaca tulisan ini dan
yang lainnya dalam blog ini. Agar supaya....(Repetisi
ini kawan. Kata ‘agar’ = ‘supaya’ ), Dalam Kamus Bahasa
Indonesia, “supaya” adalah kata penghubung untuk menandai tujuan
atau harapan; mudah-mudahan sampai pada maksudnya; hendaknya; agar
(Pusat Bahasa, Depdiknas 2008).
Renungkanlah kata-kata
ini agar kamu dapat memahaminya maknanya,
“Cinta Bahasa Indonesia
Berarti Cinta Tanah Air, Bangsa & Negara.”
Tertiblah kamu dalam
berbahasa Indonesia supaya kamu semakin memahami bahwa
Ketertiban berbahasa mencerminkan keteraturan berpikir dan bertindak
“Agar supaya…agar
supaya…agar supaya…lama jadi Agar-Agar Pepaya…Kelakar saja
kawan.”
Aku ada didalam
hatimu.
Ha..ha..ha…Aku di
Dumai, salah satu kota di Provinsi Riau bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kerja dimana kau
Kawan?
Aku kerja di tengah dan
di tepi.
Mengapa pula kau ikut
Lomba Blog Bahasa dan Sastra dalam Bulan Bahasa dan Sastra 2012? Apa
motifnya?
Karena Lomba Blog ini
merupakan salah satu kerja yang positif untuk mengairahkan dan
meningkatkan minat anak bangsa untuk mencintai Bahasa dan Sastra
Indonesia ditengah-tengah pesat dan kompleksnya persaingan global di
segala bidang. Saat ini saya prihatin terhadap kepedulian
penyelenggara pembangunan baik di tingkat pusat dan daerah terhadap
pembangunan dan pengembangan potensi bahasa dan sastra di Indonesia.
Seringkali saya membaca informasi bahwa kawan-kawan penggiat
kerja-kerja positif terkait Bahasa dan Sastra Indonesia tidak
mendapat dukungan yang nyata oleh penyelenggara pembangunan namun
syukurlah mereka masih tetap melanjutkan kerja itu sehingga tercapai
tujuannya. Masalah Kebahasaan dan Kesastraan di Indonesia perlu
segera dipetakan dan ditemukan solusinya oleh berbagai komponen
bangsa Indonesia sebab jika tidak hal ini akan mempengaruhi banyak
hal. Ketidakpedulian anak bangsa terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia
akan berimbas kepada eksistensi kebudayaan Indonesia baik pada ruang
lingkup daerah, nasional dan internasional. Selain itu rasa
nasionalisme akan mudah luntur jika semangat cinta Bahasa dan Sastra
Indonesia telah perlahan-lahan hilang dimakan gelombang dan arus
globalisasi. Saya mengusulkan agar Badan Bahasa memiliki Portal
Bahasa & Sastra yang berisikan tentang kekayaan Bahasa &
Sastra Indonesia seperti Portal Sastra seperti di Wikipedia
dan Project Gutenberg. Selain versi digital dalam bentuk
portal, kekayaan tersebut dapat juga dirangkum dalam sebuah
Ensiklopedia Bahasa dan Sastra Indonesia yang lengkap.
Sedangkan motifnya untuk
menambah gairah dan semangat menulis dalam blog ini.
Ah, Kau ikut Lomba
Blog biar menang dan dapat hadiah. Lain kali kita sambung ceritanya…
Ya Kawan….Agaknya ada
juga motif itu. Ha…ha…ha.
Terima kasih. Sampai
jumpa di tulisan berikutnya.
Dari Dumai Cinta
Damai, 03.38 WIB, 13 Oktober 2012
Daftar Lagu:
Rotor – Nadya
Jeruji – Semua Pasti
Mati
Jasad - Kujang Rompang
Forgotten – Pusara Beku
Banana Split – Ratata
Boom
Seringai - Mengadili
Persepsi
Jika ada kata-kata baik
dalam tulisan dan blog ini tidak tepat dan benar maka dikoreksi saja.
Maklum sedang belajar menulis. Undang-Undang saja boleh direvisi
apalagi tulisan ini. Ini kata-kataku yang sedang belajar menulis
bukan katanya, katanya, katanya yang semakin abu-abu itu. Dalam 3 x
24 jam masih terdapat gejala-gejala ketidaksukaan terhadap Bahasa dan
Sastra Indonesia maka segeralah konsultasi ke Badan Bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar