05/03/16

Tokoh versus Tokeh


Si Pandia membaca dan mengikuti kabar mengenai perdebatan dan pertengkaran antara Si Rancak dan Si Rambut Gimbal di Negara Kaya Batu. Akar masalahnya bukanlah sesuatu yang dapat dianggap sepele. Si Rancak dan kawan-kawannya berupaya membuat sejarah sastra menurut keinginan mereka tanpa memperhatikan fakta-fakta.  
 Si Rambut Gimbal yang sudah makan asam garam, malang melintang, dan mumpuni dalam ihwal sastra dan sejarahnya, tidak setuju dan marah kalau sejarah sastra digelapkan. Penggelapan sejarah sastra nan bertujuan untuk tidak mencerdaskan memang patut dilawan. Si Rambut Gimbal mulai menyuarakan perlawanannya untuk melawan pembodohan. Pembodohan karena penggelapan sejarah sastra. 


Kalau kecek kawan Si Pandia yang lainnya, sekarang ini tokeh bisa menjadi tokoh karena duitnya banyak. Tokoh juga bisa menjadi tokeh (tauke) kalau uangnya juga banyak. Celakanya, ada tokeh yang memanfaatkan tokoh-tokoh yang tidak berpunya dan sedang kekurangan uang untuk memuluskan akal bulusnya agar bisa dilegitimasi sebagai tokoh dalam dunia sastra. Belakangan tokoh-tokoh sastra yang sadar telah ditunggangi itu, berbalik menentang nafsu si tokeh dan kawan-kawannya. Tidak sedikit juga kabar terdengar kalau tokeh-tokeh gemar tokok tokoh-tokoh dan tokek-tokek.
            Si Rambut Gimbal, memang bawaannya begitu. Kalau menyatakan pendapat, sering dianggap kasar dan tidak santun. Satu hal yang harus dipahami oleh semua orang, berbeda peradaban dan kebudayaan, berbeda pula standar kesantunan dan keramahannya. Si Rambut Gimbal mendamprat Si Pandia karena dianggap telah dibayar untuk membela kepentingan-kepentingan tertentu. Padahal Si Pandia hanyalah penikmat, bukan komprador, tidak juga antek-antek pembodohan.
Sebetulnya Si Pandia salut dengan kegigihan Si Rambut Gimbal yang berjuang dan blak-blakan melawan penggelapan sejarah sastra. Bukan satu dua orang orang yang pernah dikenal oleh Si Pandia yang juga sangat blak-blakan kalau berbicara. Bahkan Si Pandia pun pernah dikatakan oleh temannya sendiri sebagai psikopat. Itu mungkin karena temannya kesal karena sampai hari ini Si Pandia masih jugul tidak mau mengikuti keinginan-keinginan temannya dan juga kelompok temannya.
            Pada suatu ketika Si Rancak dan Si Rambut Gimbal terlibat dalam perdebatan. Tentu saja tutur Si Rancak sangat berbeda dengan tuturnya Si Rambut Gimbal. Mereka berasal dari dua peradaban dan kebudayaan nan berbeda. Si Rancak merasa terhina karena menganggap tuturnya Si Rambut Gimbal sebagai penghinaan. Padahal memang begitulah Si Rambut Gimbal kalau menyampaikan pendapatnya. Lantas bagaimana dengan penghinaan yang sudah dilakukan oleh Si Rancak, Si Tokeh, dan kelompoknya karena melakukan upaya-upaya untuk menggelapkan sejarah sastra atas pesanan Si Tokeh.
            Si Rancak pun melaporkan Si Rambut Gimbal kepada penegak hukum atas tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik. Dalam konteks perbedaan standar nilai kesantunan dan keramahan, keragaman bahasa, budaya, dan peradaban, Si Rambut Gimbal tidak bersalah meski sudah dianggap menuturkan dan menuliskan kata-kata yang dianggap menghina. Itu semua terjadi karena Si Rambut Gimbal marah karena ada orang-orang yang ingin menciptakan penggelapan sejarah sastra. Itu semua berakar dari konflik kepentingan antara kelompok yang ingin menggelapkan sejarah sastra dan kelompok yang melawan pembodohan penggelapan sejarah sastra.
            Si Rambut Gimbal adalah seorang kritik(us) sastra yang sangat bertanggung jawab dalam menyampaikan kritik-kritiknya. Si Rancak sebetulnya mesti berdada lapang, dan berkepala dingin ketika menerima kritik-kritik atas upayanya menciptakan sejarah sastra.
             Bukankah ada yang mengatakan bahwa binatang tahan palu, manusia tahan kias. Semoga demi keadilan, Si Rambut Gimbal dibebaskan dari segala tuntutan dan dakwaan.
Perjuangan menyuarakan kebenaran tidak boleh dibungkam. Bukankah dulu pendiri-pendiri Negara Kaya Batu juga berjuang menyuarakan kebenaran agar tiada lagi pembodohan dan penjajahan.
Si Rambut Gimbal harus dibebaskan demi keadilan. Tutur dan tulisan manusia dari kebudayaan, dan peradaban yang berbeda itu tidak sama. Standar nilai kesantunan dan keramahan masing-masing kebudayaan berbeda. Berbeda itu tidak sama. Sama itu tidak berbeda.
            Si Rambut Gimbal sudah berkali-kali membuktikan perjuangan dan kesungguhannya dalam kata dan tindakan untuk melawan pembodohan, khususnya pembodohan dalam dunia sastra. Si Pandia pun bersulang segelas bir, dari jauh, untuk perjuangan Si Rambut Gimbal melawan pembodohan, dan mendapatkan keadilan.
Tulisan ini hanya fiksi. Jangan dimasukkan dalam hati, atau ke dalam peti.

Negara Kaya Batu, Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar