Tas
Ini
hanyalah cerita sisuak ketika masih banyak koin lima perak. Pandia dan
kawan-kawannya sering menyebutnya limper. Si Pandia berbagi kisahnya sebagai
ungkapan terima kasih nan terhingga pada Ibu dan Ayahnya, sebagai tanda hormat pada
guru-gurunya, dan sebagai kenangan indah ketika bermain bersama-sama
kawan-kawannya.
Dulu
dia bersekolah berjalan kaki ketika masih belajar di sekolah dasar. Celananya
sering batamba. Sepatunya pun acap kali menganga. Maklumlah, pada masa itu ibu
dan ayahnya bekerja sebagai guru. Ketika itu guru-guru hanya kaya dengan amal
yang diperoleh mereka dari berbagi ilmu dengan murid-muridnya. Gaji mereka pun
tidak mencukupi untuk membayar hutang belanja kebutuhan sehari-hari. Jatah
beras dari negara pun hanya beras berkutu dan berbatu. Mujurlah ada koperasi
simpan-pinjam yang dikelola oleh guru-guru.
Biasanya
ibunya berjalan kaki menuju sekolah, dan ayahnya mengendarai kereta angin.
Mungkin negara juga lagi susah pada saat itu. Kalau negara lagi susah, rakyat
juga ikut susah. Mana ada rakyat yang mau negaranya susah.
Pandia sering diberi jajan oleh ibu guru nan baik hati
ketika masih di kelas satu dan kelas dua. Kalau sudah tiba waktu keluar main,
dia biasanya membaca buku di perpustakaan sekolah. Ibu gurunya nan baik itu
gemar memberinya duit logam seratus rupiah yang bergambar rumah gadang. Duit
yang diterima dari ibu gurunya, dia belikan sepiring lontong gulai.
Seperti halnya kebanyakan anak-anak sekolah, dia juga
menggunakan tas untuk membawa buku-buku, pensil, dan penghapus. Ketika masuk
kelas satu, dia dibelikan ayahnya sebuah ransel. Menjelang naik ke kelas dua,
ranselnya pun sudah cabik-cabik. Kemudian ketika dia naik kelas dua, Pandia pun
dibelikan ayahnya tas kain. Tas kain itu juga kian usang menjelang naik kelas
tiga.
Suatu hari, sepulang sekolah, Pandia diajak
kawan-kawannya bermain-main dan berenang di daerah mereka nan sedang banjir.
Kalau musim hujan, biasanya sungai meluap dan airnya nan kemerah-merahan
membanjiri pemukiman penduduk. Kadang-kadang banjirnya hingga sepinggang orang
dewasa. Pandia belum begitu pandai berenang. Kawan-kawannya mengajak dia
menyeberangi sungai melewati sebuah jembatan. Dua orang kawannya
berbisik-bisik.
“Pandai kau
berenang?” tanya kawannya.
Pandia hanya
menggeleng-gelengkan kepala.
Tiba-tiba ketika
mereka sedang berjalan di atas jembatan, kawannya mendorong Pandia ke arah
sungai. Dia pun jatuh masuk sungai. Ketika itu sungai sangat dalam dan deras
arusnya. Dia ingin menghilir agar bisa ke tepi, namun arus sungai begitu deras.
Di atas jembatan, kawan-kawannya pucat pasi. Beberapa orang dari mereka
bergegas mencari tali, atau mungkin kayu. Ada yang coba mengulurkan tangannya.
Pandia mulai berenang melawan arus, mencoba meraih tiang
jembatan kayu di depannya. Apa daya tangannya tak sampai. Tiba-tiba datang
hidayahNya, kaki lebih panjang dari tangan. Dia pun menerjang arus sungai nan
mengalir deras. Kakinya berhasil menyentuh tiang kayu jembatan. Pandia pun
segera memeluk erat tiang kayu jembatan. Kawannya yang mendorongnya jatuh masuk
sungai mengulurkan tangannya. Dia pun berhasil naik ke atas jembatan.
Mereka pun tertawa-tawa. Gembira sebab Pandia tidak jadi
hanyut. Kalau dia hanyut, tenggelam, dan mati. Kawan-kawannya pasti kena
masalah besar. Sejak saat itu, Pandia pun kian berani kalau berenang. Dia juga
pernah belajar diajarkan berenang di telaga biru dalam hutan oleh teman-teman
abangnya. Mereka melepasnya di tengah telaga, dan membiarkan Pandia hampir
lemas terminum air payau. Saat kepala Pandia agak mulai tenggelam, mereka pun
membawanya ke tepi sambil berenang.
Akan tetapi, metode belajar berenang nan tidak biasa itu
tidak boleh dipraktikkan karena bisa mendatangkan maut. Kalau hendak belajar
berenang, belajarlah dibawah bimbingan dan pengawasan pelatih renang
Ketika naik kelas tiga, Pandia dibelikan sebuah tas
anyaman pandan oleh ayahnya. Menjelang naik ke kelas empat. Tas anyaman
pandannya pun mulai rarak.
Pada
masa itu, dia mulai pandai berkelahi. Suatu hari dalam perjalanan pulang
sekolah, dia dicegat oleh anak-anak dari kelas lain di tengah jalan. Dia hanya
berdua dengan kawannya. Tanpa ba-bi-bu, Pandia menumbuk hidung anak yang
mencegatnya. Hidung anak itu pun berdarah. Pandia dan kawannya segera kabur
menghindari penggeroyokan. Sore harinya, sepulang dari bermain. Pandia kena
marah ayahnya. Orang tua dari anak yang hidungnya berdarah ditinju oleh Pandia
mengadukan kenakalan Pandia pada ayahnya. Ayahnya tidak suka kalau Pandia
berkelahi, meski Pandia tidak salah.
Ketika
baru naik ke kelas empat, Pandia dibelikan tas koper berbahan plastik oleh
ayahnya. Pandia jarang membawanya ke sekolah. Ayahnya kadang-kadang marah kalau
dia tidak mau menggunakan tas itu.
Suatu
ketika kawan-kawan Pandia terlibat perkelahian dengan murid-murid kelas lima.
Wajah beberapa kawannya bengkak-bengkak dan memar dihajar murid-murid kelas
lima. Pandia geram, dan berang. Keesokkan harinya, Pandia diam-diam mengambil
pisau pramuka milik abangnya. Pisaunya bergagang kepala burung. Ketika lonceng
tanda boleh pulang sekolah berbunyi, kawan-kawannya mulai berkumpul. Pandia
menyelipkan pisaunya di pinggang, dalam baju. Mujurlah siang itu tidak terjadi
perkelahian lagi, karena guru-guru yang mengetahui bahwa ada terjadi
perkelahian antara murid-murid kelas empat dan murid-murid kelas lima, telah
mendamaikan mereka, dan menasehati agar tidak berkelahi lagi.
Saat
naik ke kelas lima, Pandia pun dibelikan tas koper kulit sintetis oleh ayahnya.
Tas kopernya menggunakan kunci dengan kombinasi angka-angka. Kombinasi angka
yang paling digemarinya adalah 212, kadang-kadang 717, 333, 999, dan 111. Tas
koper itu malah sering disandang oleh Pandia, bukannya ditenteng. Setelah lulus
kuliah, tas koper itu masih ada sampai sekarang. Hanya saja Pandia lupa entah
di mana dia menyimpannya.
Seingat
Pandia nan belakangan sering melihat dan membaca angka-angka yang datang entah
dari mana, dan entah apa maksudnya, dia membawa tas sandang ketika kelas enam.
Tatkala belajar di kelas satu dan kelas dua sekolah menengah pertama, dia
menggunakan tas bergambar Iwan Fals, sedangkan ketika naik ke kelas tiga, dia
pun jarang menggunakan tas. Buku-bukunya hanya dimasukkan ke dalam baju. Ketika
itu jugalah Pandia mulai gemar bolos sekolah dengan kawan-kawannya, belajar
bermain biliar, dan nongkrong di studio musik.
Dulu
sebelum internet menjadi tulang punggung informasi terkini, anak-anak sekolah
biasanya mengisi waktu senggang mereka dengan belajar mengaji, mengikuti
kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, bermain permainan-permainan rakyat bersama
teman-temannya, dan ada juga yang membantu orang tua di rumah. Akan tetapi
sekarang, anak-anak sekolah cenderung lebih suka bermain permainan-permainan
internet. Sebetulnya pengembang aplikasi permainan-permainan itu bisa saja
membuat ketentuan khusus dengan aplikasi khusus agar anak-anak sekolah tidak
bisa memainkan permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan. Pemerintah
juga punya wewenang untuk mengijinkan dan melarang permainan-permainan internet
tersebut untuk beredar.
Tidak
semua permainan-permainan internet dan yang berbasis komputer lainnya itu
berbahaya bagi anak-anak. Setiap permainan punya nilai positif dan negatif.
Main tonggak dingin saja bisa sangat berbahaya kalau berakhir dengan
perkelahian. Pada umumnya, anak-anak yang bermain permainan-permainan internet
sebab mereka tidak diarahkan dan dibimbing untuk melakukan kegiatan-kegiatan
edukatif lainnya.
Ketika
pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif berbasis teknologi
digital, muncul wacana untuk memblokir permainan-permainan internet yang
berbahaya bagi anak-anak. Seumpamanya, permainan-permainan itu diblokir, akan
ada ratusan, bahkan ribuan pengusaha warung internet yang akan kehilangan
pendapatan, dan bisa bangkrut.
Kelalaian
dan tidak inovatifnya orang tua, pendidik, masyarakat, dan pemerintah dalam
mengawasi anak-anak hingga mereka kian gemar bermain permainan-permainan
internet tidak terselesaikan masalahnya dengan jalan memblokir
permainan-permainan internet. Hal itu hanya akan menimbulkan masalah sosial dan
ekonomi yang lain lagi, khususnya bagi pengusaha-pengusaha warung internet dan
pekerjanya.
Mungkin
pemerintah mesti mendorong dan membiayai terciptanya permainan-permainan
internet edukatif, kreatif, inovatif, dan atraktif bagi anak-anak. Buatlah
permainan internet yang ada pelajaran sejarahnya, pelajaran-pelajaran lainnya, sekaligus
ada nilai tantangannya.
Ketika
di sekolah menengah atas, Pandia hanya menggunakan tas ransel bekas milik
abangnya. Abangnya saat itu bersekolah di sebuah sekolah teknik menengah. Oleh
karena abangnya mendemo dan memprotes kepala sekolahnya yang memotong duit
beasiswa untuk murid-murid, dan sudah tidak suka lagi dengan sistem
penyelenggaran pendidikan di sekolahnya, akhirnya abangnya pun pindah sekolah.
Saat
menjadi siswa di sekolah menengah atas, Pandia melihat ada banyak pelajar yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Kebanyakan
pelajar yang menjadi pengguna narkoba hanyalah korban kejahatan
sindikat-sindikat pengedar narkoba yang ingin kaya, dan kelompok-kelompok jahat
nan ingin merusak mental generasi muda.
Biasanya
pelajar-pelajar, atau generasi muda lainnya, yang terjebak penyalahgunaan narkoba
disebabkan rasa penasaran. Ada juga karena pengaruh kawan-kawan yang merusak
mental dan raga. Ada pula karena ingin dianggap gaul dan keren. Padahal
sebetulnya, narkoba itu sangat merusak mental.
Setelah
lulus kuliah, Pandia menduga bahwa kian maraknya peredaran dan penyalahgunaan
narkotika dan obat-obatan terlarang karena ada pihak-pihak yang ingin generasi muda
dan bangsanya jadi rusak raga dan mentalnya. Kalau sudah rusak raga dan mental
generasi muda dan rakyat suatu bangsa karena narkoba, penjajah-penjajah nan
ingin menjajah dan menguasai tanah airnya tidak perlu bersusah payah menghadapi
perang dan perlawanan dari bangsa yang tanah
airnya ingin mereka jajah.
Akan
tetapi, sekarang faktor ekonomi yang membuat banyak generasi muda dan rakyat
yang menjadi pengedar dan pengguna narkoba. Itu juga mungkin karena
penjajah-penjajah sudah menerapkan politik ekonomi memiskinkan bangsanya,
kemudian bangsanya dirusak dengan narkoba. Mujurlah, kini penegak-penegak hukum
kian giat dan tangkas di negaranya mencegah dan memberantas penyalahgunaan
narkoba.
Kalau
ada rakyat yang menjadi pengedar narkoba karena faktor kesulitan ekonomi,
bantulah mereka agar bisa berusaha dengan kerja-kerja halal untuk memperbaiki
perekonomian mereka.
Ketika
kuliah di sebuah perguruan tinggi yang uang semesternya hanya 195 ribu, Pandia
hanya menggunakan ransel bekas untuk membawa buku-buku. Itu pun ransel bekas
yang diperoleh dari abangnya.
Pada
suatu waktu, ketika liburan semester tiba, Pandia yang ingin pulang menikmati
liburan agak kebingungan. Dia ingin membawa pakaiannya, buku-buku, kaset-kaset
dan sebuah pemutar kaset, tetapi tidak ada tas. Dia biasanya meminjam ransel
gunung dari abangnya. Abangnya sedang mendaki gunung. Mau pinjam dengan
kawan-kawan, mereka juga sedang bersiap-siap pulang ke kampung masing-masing.
Pandia
pun meminta sebuah karung bekas beras dari pemilik warung dekat tempat
indekosnya. Dia menyusun barang-barangnya dalam karung beras bekas. Ketika hari
keberangkatan tiba, dia memikul karungnya ke terminal bus kota antar kota antar
provinsi.
Adakalanya
ketika liburan semester tiba, Pandia memilih tidak pulang ke kota kelahirannya.
Dia malah ikut liburan ke kampung kawan-kawannya. Dia ingat ada gurunya nan
berkata bahwa semua kota pada mulanya berasal dari kampung.
Kecek
Pandia, dia punya masih punya pelbagai kisah dari 10.950 hari nan telah dia
lalui dalam angan dan angin. Seumpamanya, setiap kisah dituliskan sebanyak 7
halaman, akan ada 76.650 halaman cerita. Pandia juga berkata bahwa di bumi ini
banyak manusia saling membenci hanya karena tidak memahami dan tidak dapat
mengambil hikmah dari pelbagai kisah nan telah terjadi dalam sejarah peradaban
manusia sejak ribuan tahun sebelum masehi.
Siapa
penemu tas pertama di bumi? Begitu tanya Pandia padaku. Aku hanya tersenyum.
Mungkin guru-gurunya si Pandia lupa memberitahu siapa penemu tas pertama di
bumi hingga Pandia pun kian banyak bertanya. Akan tetapi, jasa-jasa para guru
tidak ternilai. Mereka telah menyalakan pelita dalam kejahilan. Mereka juga
yang mengajarkan Pandia membaca, menulis, berbicara, dan bercerita.
Aku
bertanya pada Pandia tentang cita-citanya. Dia tersenyum sambil mengedipkan
mata kirinya.
Semoga
pemerintah tidak setengah-setengah dalam urusan memuliakan guru-guru karena
mereka yang telah menerangkan cita-cita setiap anak bangsa. Sejatinya,
kemuliaan setiap guru sejati kian bertambah ketika berupaya menyalakan revolusi
di setiap kesempatan, hingga pada akhirnya rakyat merdeka dari segala jenis
belenggu penjajah(an) meski tasnya butut dan kusam.
23/04/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar