16/06/16

Cerita Pendek


Tas

Ini hanyalah cerita sisuak ketika masih banyak koin lima perak. Pandia dan kawan-kawannya sering menyebutnya limper. Si Pandia berbagi kisahnya sebagai ungkapan terima kasih nan terhingga pada Ibu dan Ayahnya, sebagai tanda hormat pada guru-gurunya, dan sebagai kenangan indah ketika bermain bersama-sama kawan-kawannya.
Dulu dia bersekolah berjalan kaki ketika masih belajar di sekolah dasar. Celananya sering batamba. Sepatunya pun acap kali menganga. Maklumlah, pada masa itu ibu dan ayahnya bekerja sebagai guru. Ketika itu guru-guru hanya kaya dengan amal yang diperoleh mereka dari berbagi ilmu dengan murid-muridnya. Gaji mereka pun tidak mencukupi untuk membayar hutang belanja kebutuhan sehari-hari. Jatah beras dari negara pun hanya beras berkutu dan berbatu. Mujurlah ada koperasi simpan-pinjam yang dikelola oleh guru-guru.
Biasanya ibunya berjalan kaki menuju sekolah, dan ayahnya mengendarai kereta angin. Mungkin negara juga lagi susah pada saat itu. Kalau negara lagi susah, rakyat juga ikut susah. Mana ada rakyat yang mau negaranya susah.

            Pandia sering diberi jajan oleh ibu guru nan baik hati ketika masih di kelas satu dan kelas dua. Kalau sudah tiba waktu keluar main, dia biasanya membaca buku di perpustakaan sekolah. Ibu gurunya nan baik itu gemar memberinya duit logam seratus rupiah yang bergambar rumah gadang. Duit yang diterima dari ibu gurunya, dia belikan sepiring lontong gulai.
            Seperti halnya kebanyakan anak-anak sekolah, dia juga menggunakan tas untuk membawa buku-buku, pensil, dan penghapus. Ketika masuk kelas satu, dia dibelikan ayahnya sebuah ransel. Menjelang naik ke kelas dua, ranselnya pun sudah cabik-cabik. Kemudian ketika dia naik kelas dua, Pandia pun dibelikan ayahnya tas kain. Tas kain itu juga kian usang menjelang naik kelas tiga.
            Suatu hari, sepulang sekolah, Pandia diajak kawan-kawannya bermain-main dan berenang di daerah mereka nan sedang banjir. Kalau musim hujan, biasanya sungai meluap dan airnya nan kemerah-merahan membanjiri pemukiman penduduk. Kadang-kadang banjirnya hingga sepinggang orang dewasa. Pandia belum begitu pandai berenang. Kawan-kawannya mengajak dia menyeberangi sungai melewati sebuah jembatan. Dua orang kawannya berbisik-bisik.
             “Pandai kau berenang?” tanya kawannya.
              Pandia hanya menggeleng-gelengkan kepala.
              Tiba-tiba ketika mereka sedang berjalan di atas jembatan, kawannya mendorong Pandia ke arah sungai. Dia pun jatuh masuk sungai. Ketika itu sungai sangat dalam dan deras arusnya. Dia ingin menghilir agar bisa ke tepi, namun arus sungai begitu deras. Di atas jembatan, kawan-kawannya pucat pasi. Beberapa orang dari mereka bergegas mencari tali, atau mungkin kayu. Ada yang coba mengulurkan tangannya.
            Pandia mulai berenang melawan arus, mencoba meraih tiang jembatan kayu di depannya. Apa daya tangannya tak sampai. Tiba-tiba datang hidayahNya, kaki lebih panjang dari tangan. Dia pun menerjang arus sungai nan mengalir deras. Kakinya berhasil menyentuh tiang kayu jembatan. Pandia pun segera memeluk erat tiang kayu jembatan. Kawannya yang mendorongnya jatuh masuk sungai mengulurkan tangannya. Dia pun berhasil naik ke atas jembatan.
            Mereka pun tertawa-tawa. Gembira sebab Pandia tidak jadi hanyut. Kalau dia hanyut, tenggelam, dan mati. Kawan-kawannya pasti kena masalah besar. Sejak saat itu, Pandia pun kian berani kalau berenang. Dia juga pernah belajar diajarkan berenang di telaga biru dalam hutan oleh teman-teman abangnya. Mereka melepasnya di tengah telaga, dan membiarkan Pandia hampir lemas terminum air payau. Saat kepala Pandia agak mulai tenggelam, mereka pun membawanya ke tepi sambil berenang.
            Akan tetapi, metode belajar berenang nan tidak biasa itu tidak boleh dipraktikkan karena bisa mendatangkan maut. Kalau hendak belajar berenang, belajarlah dibawah bimbingan dan pengawasan pelatih renang
            Ketika naik kelas tiga, Pandia dibelikan sebuah tas anyaman pandan oleh ayahnya. Menjelang naik ke kelas empat. Tas anyaman pandannya pun mulai rarak.
Pada masa itu, dia mulai pandai berkelahi. Suatu hari dalam perjalanan pulang sekolah, dia dicegat oleh anak-anak dari kelas lain di tengah jalan. Dia hanya berdua dengan kawannya. Tanpa ba-bi-bu, Pandia menumbuk hidung anak yang mencegatnya. Hidung anak itu pun berdarah. Pandia dan kawannya segera kabur menghindari penggeroyokan. Sore harinya, sepulang dari bermain. Pandia kena marah ayahnya. Orang tua dari anak yang hidungnya berdarah ditinju oleh Pandia mengadukan kenakalan Pandia pada ayahnya. Ayahnya tidak suka kalau Pandia berkelahi, meski Pandia tidak salah.
Ketika baru naik ke kelas empat, Pandia dibelikan tas koper berbahan plastik oleh ayahnya. Pandia jarang membawanya ke sekolah. Ayahnya kadang-kadang marah kalau dia tidak mau menggunakan tas itu.
Suatu ketika kawan-kawan Pandia terlibat perkelahian dengan murid-murid kelas lima. Wajah beberapa kawannya bengkak-bengkak dan memar dihajar murid-murid kelas lima. Pandia geram, dan berang. Keesokkan harinya, Pandia diam-diam mengambil pisau pramuka milik abangnya. Pisaunya bergagang kepala burung. Ketika lonceng tanda boleh pulang sekolah berbunyi, kawan-kawannya mulai berkumpul. Pandia menyelipkan pisaunya di pinggang, dalam baju. Mujurlah siang itu tidak terjadi perkelahian lagi, karena guru-guru yang mengetahui bahwa ada terjadi perkelahian antara murid-murid kelas empat dan murid-murid kelas lima, telah mendamaikan mereka, dan menasehati agar tidak berkelahi lagi.
Saat naik ke kelas lima, Pandia pun dibelikan tas koper kulit sintetis oleh ayahnya. Tas kopernya menggunakan kunci dengan kombinasi angka-angka. Kombinasi angka yang paling digemarinya adalah 212, kadang-kadang 717, 333, 999, dan 111. Tas koper itu malah sering disandang oleh Pandia, bukannya ditenteng. Setelah lulus kuliah, tas koper itu masih ada sampai sekarang. Hanya saja Pandia lupa entah di mana dia menyimpannya.
Seingat Pandia nan belakangan sering melihat dan membaca angka-angka yang datang entah dari mana, dan entah apa maksudnya, dia membawa tas sandang ketika kelas enam. Tatkala belajar di kelas satu dan kelas dua sekolah menengah pertama, dia menggunakan tas bergambar Iwan Fals, sedangkan ketika naik ke kelas tiga, dia pun jarang menggunakan tas. Buku-bukunya hanya dimasukkan ke dalam baju. Ketika itu jugalah Pandia mulai gemar bolos sekolah dengan kawan-kawannya, belajar bermain biliar, dan nongkrong di studio musik.
Dulu sebelum internet menjadi tulang punggung informasi terkini, anak-anak sekolah biasanya mengisi waktu senggang mereka dengan belajar mengaji, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, bermain permainan-permainan rakyat bersama teman-temannya, dan ada juga yang membantu orang tua di rumah. Akan tetapi sekarang, anak-anak sekolah cenderung lebih suka bermain permainan-permainan internet. Sebetulnya pengembang aplikasi permainan-permainan itu bisa saja membuat ketentuan khusus dengan aplikasi khusus agar anak-anak sekolah tidak bisa memainkan permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan. Pemerintah juga punya wewenang untuk mengijinkan dan melarang permainan-permainan internet tersebut untuk beredar.
Tidak semua permainan-permainan internet dan yang berbasis komputer lainnya itu berbahaya bagi anak-anak. Setiap permainan punya nilai positif dan negatif. Main tonggak dingin saja bisa sangat berbahaya kalau berakhir dengan perkelahian. Pada umumnya, anak-anak yang bermain permainan-permainan internet sebab mereka tidak diarahkan dan dibimbing untuk melakukan kegiatan-kegiatan edukatif lainnya.
Ketika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif berbasis teknologi digital, muncul wacana untuk memblokir permainan-permainan internet yang berbahaya bagi anak-anak. Seumpamanya, permainan-permainan itu diblokir, akan ada ratusan, bahkan ribuan pengusaha warung internet yang akan kehilangan pendapatan, dan bisa bangkrut.
Kelalaian dan tidak inovatifnya orang tua, pendidik, masyarakat, dan pemerintah dalam mengawasi anak-anak hingga mereka kian gemar bermain permainan-permainan internet tidak terselesaikan masalahnya dengan jalan memblokir permainan-permainan internet. Hal itu hanya akan menimbulkan masalah sosial dan ekonomi yang lain lagi, khususnya bagi pengusaha-pengusaha warung internet dan pekerjanya.
Mungkin pemerintah mesti mendorong dan membiayai terciptanya permainan-permainan internet edukatif, kreatif, inovatif, dan atraktif bagi anak-anak. Buatlah permainan internet yang ada pelajaran sejarahnya, pelajaran-pelajaran lainnya, sekaligus ada nilai tantangannya.
Ketika di sekolah menengah atas, Pandia hanya menggunakan tas ransel bekas milik abangnya. Abangnya saat itu bersekolah di sebuah sekolah teknik menengah. Oleh karena abangnya mendemo dan memprotes kepala sekolahnya yang memotong duit beasiswa untuk murid-murid, dan sudah tidak suka lagi dengan sistem penyelenggaran pendidikan di sekolahnya, akhirnya abangnya pun pindah sekolah.
Saat menjadi siswa di sekolah menengah atas, Pandia melihat ada banyak pelajar yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Kebanyakan pelajar yang menjadi pengguna narkoba hanyalah korban kejahatan sindikat-sindikat pengedar narkoba yang ingin kaya, dan kelompok-kelompok jahat nan ingin merusak mental generasi muda.
Biasanya pelajar-pelajar, atau generasi muda lainnya, yang terjebak penyalahgunaan narkoba disebabkan rasa penasaran. Ada juga karena pengaruh kawan-kawan yang merusak mental dan raga. Ada pula karena ingin dianggap gaul dan keren. Padahal sebetulnya, narkoba itu sangat merusak mental.
Setelah lulus kuliah, Pandia menduga bahwa kian maraknya peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang karena ada pihak-pihak yang ingin generasi muda dan bangsanya jadi rusak raga dan mentalnya. Kalau sudah rusak raga dan mental generasi muda dan rakyat suatu bangsa karena narkoba, penjajah-penjajah nan ingin menjajah dan menguasai tanah airnya tidak perlu bersusah payah menghadapi perang dan perlawanan dari bangsa yang tanah  airnya ingin mereka jajah.
Akan tetapi, sekarang faktor ekonomi yang membuat banyak generasi muda dan rakyat yang menjadi pengedar dan pengguna narkoba. Itu juga mungkin karena penjajah-penjajah sudah menerapkan politik ekonomi memiskinkan bangsanya, kemudian bangsanya dirusak dengan narkoba. Mujurlah, kini penegak-penegak hukum kian giat dan tangkas di negaranya mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkoba.
Kalau ada rakyat yang menjadi pengedar narkoba karena faktor kesulitan ekonomi, bantulah mereka agar bisa berusaha dengan kerja-kerja halal untuk memperbaiki perekonomian mereka.
Ketika kuliah di sebuah perguruan tinggi yang uang semesternya hanya 195 ribu, Pandia hanya menggunakan ransel bekas untuk membawa buku-buku. Itu pun ransel bekas yang diperoleh dari abangnya.
Pada suatu waktu, ketika liburan semester tiba, Pandia yang ingin pulang menikmati liburan agak kebingungan. Dia ingin membawa pakaiannya, buku-buku, kaset-kaset dan sebuah pemutar kaset, tetapi tidak ada tas. Dia biasanya meminjam ransel gunung dari abangnya. Abangnya sedang mendaki gunung. Mau pinjam dengan kawan-kawan, mereka juga sedang bersiap-siap pulang ke kampung masing-masing.
Pandia pun meminta sebuah karung bekas beras dari pemilik warung dekat tempat indekosnya. Dia menyusun barang-barangnya dalam karung beras bekas. Ketika hari keberangkatan tiba, dia memikul karungnya ke terminal bus kota antar kota antar provinsi.
Adakalanya ketika liburan semester tiba, Pandia memilih tidak pulang ke kota kelahirannya. Dia malah ikut liburan ke kampung kawan-kawannya. Dia ingat ada gurunya nan berkata bahwa semua kota pada mulanya berasal dari kampung.
Kecek Pandia, dia punya masih punya pelbagai kisah dari 10.950 hari nan telah dia lalui dalam angan dan angin. Seumpamanya, setiap kisah dituliskan sebanyak 7 halaman, akan ada 76.650 halaman cerita. Pandia juga berkata bahwa di bumi ini banyak manusia saling membenci hanya karena tidak memahami dan tidak dapat mengambil hikmah dari pelbagai kisah nan telah terjadi dalam sejarah peradaban manusia sejak ribuan tahun sebelum masehi.
Siapa penemu tas pertama di bumi? Begitu tanya Pandia padaku. Aku hanya tersenyum. Mungkin guru-gurunya si Pandia lupa memberitahu siapa penemu tas pertama di bumi hingga Pandia pun kian banyak bertanya. Akan tetapi, jasa-jasa para guru tidak ternilai. Mereka telah menyalakan pelita dalam kejahilan. Mereka juga yang mengajarkan Pandia membaca, menulis, berbicara, dan bercerita.
Aku bertanya pada Pandia tentang cita-citanya. Dia tersenyum sambil mengedipkan mata kirinya.
Semoga pemerintah tidak setengah-setengah dalam urusan memuliakan guru-guru karena mereka yang telah menerangkan cita-cita setiap anak bangsa. Sejatinya, kemuliaan setiap guru sejati kian bertambah ketika berupaya menyalakan revolusi di setiap kesempatan, hingga pada akhirnya rakyat merdeka dari segala jenis belenggu penjajah(an) meski tasnya butut dan kusam.

23/04/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar