Aku membaca sebuah tulisan dari seorang sastrawan yang
telah banyak menuliskan novel. Tulisannya berkisah ihwal pengalamannya dalam dunia literasi. Dia berkacamata dan gemar mengenakan topi. Orangnya tegap dan gagah. Dia juga sering berbagi kisah dan ilmu melalui bengkel-bengkel sastra. Kisahnya itu, meski hanya sekelumit, namun inspiratif. Oleh karena itu, aku pun jadi
ingin berkisah ihwal pengalamanku hingga aku gemar menulis.
Pada tahun 1998, kakak-kakak kelas di
sekolah menengah atas tempat aku belajar, sedang menyelenggarakan Lomba Menulis
Surat untuk Ibu sempena Hari Ibu. Aku pun tertarik ingin menuliskan suratku.
Pada saat itu ada kegemaran pelajar-pelajar SMA menulis di lembaran-lembaran
permintaan (request) lagu-lagu di
pelbagai radio.
Aku menulis surat untuk Emak yang
didalamnya ada puisi. Biasanya pelajar-pelajar yang masuk siang, juga mesti
hadir Upacara Pengibaran Bendera tiap hari Senin pagi. Entah mengapa, ketika
itu, aku tidak hadir. Siangnya aku diberi hadiah sepasang pena oleh teman
sekelasku yang dititipkan oleh kakak-kakak kelasku. Temanku itu bilang kalau
tulisanku dipilih sebagai pemenang pertama. Surat dan puisinya pun dibacakan
ketika pengumuman pemenang setelah selesai Upacara Pengibaran Bendera.
Tujuh tahun sebelumnya, aku pernah diberi
hadiah berupa tabungan sebesar Rp 15.000 oleh Pengurus Taman Pendidikan Al Quran
karena aku membacakan puisi pada kegiatan Pendidikan Subuh.
Dua tahun setelah mendapat sepasang
pena, aku mengirimkan beberapa judul puisi ke Surat Kabar Kampus tempat aku
kuliah. Aku pun diberi honor sebesar Rp 7.500. Uang itu kugunakan
untuk traktir teman-teman makan nasi sup cendawan di dekat gedung
paska-sarjana.
Dua tahun sesudahnya, aku mulai sibuk
bekerja sebagai tenaga lepas penerjemah. Alhamdulillah, honor dari penerjemahan
dalam sebulan yang kuterima jumlahnya empat kali lipat dari uang semester.
Satu semester menjelang semester kedelapan,
aku pun mulai mengundurkan diri dari keluyuran, hiruk pikuk, nongkrong, dan
hura-hura. Aku mulai rajin ke perpustakaan fakultas dan universitas. Aku
menemukan ada banyak buku sastra asing yang sangat antik di lantai empat
perpustakaan universitasku. Hanya sayangnya, aku sedang fokus belajar menulis
tugas akhir agar bisa lulus kuliah.
Setelah sempat mengikuti aksi unjuk rasa
mahasiswa dan dosen-dosen karena adanya perseteruan antara Rektor terpilih dan
Pembantu Rektor yang dipilih, aku pun diwisuda. Aku sangat ingat ketika
adik-adik kelas satu fakultasku menghantam dan menabrak kaca depan gedung
rektorat dengan kepala tangan dan kepalanya.
“Kalau sampai pukul 12.00 siang, Rektor
tidak muncul dan mendengarkan aspirasi kami. Kami akan….”
“Prrraaakk…Brraakk…”.
Hancurlah kaca depan rektorat dihantam
dengan kepala. Ternyata kepala-kepala teman-teman seangkatanku dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia itu memang keras
seperti batu. Kaca pecah, dan kepalanya pun berdarah.
Aparat pun sibuk menelusuri dan menangkap
mahasiswa-mahasiswa yang dianggap sebagai aktor intelektual, koordinator aksi,
dan pelaksana aksi. Beberapa orang ditangkap karena merusak properti.
Beberapa temanku dan aku sendiri hampir
saja masuk dalam lingkaran pelaksana aksi, mujurlah seorang temanku dari
Fakultas Teknik memberi kode. Kode itu pun membuat kami menahan diri. Lagi pula
demontrasi itu hanya masalah internal rektorat yang sengaja melibatkan
mahasiswa-mahasiswi dan dosen-dosen agar pembagian kursi di rektorat proporsional.
Mahasiswa-mahasiswa dibenturkan dengan
mahasiswa-mahasiswa karena kepentingan politik kekuasaan di rektorat. Ada pula
mahasiswa-mahasiwa pro Rektor yang membawa senjata tajam bagaikan centeng.
Akan tetapi, energi massa tidak dapat dibendung dan dihentikan meski dengan
senjata tajam, peluru, kawat berduri, semburan air, dan tank-tank. Energi massa
hanya bisa diredakan dengan menyalurkan energinya sesuai jalannya
masing-masing. Itu baru pada kalangan mahasiswa. Entahlah kalau pada kalangan
politik kekuasaan. Mungkin lebih runyam lagi eskalasi aksinya.
Mungkin pada setiap aksi-aksi unjuk rasa,
demontrasi, dan mogok-mogok massal itu terdiri dari 18 elemen. Elemen-elemen
tersebut adalah Inisiator (Pencetus), Konseptor (Perumus), Penulis (Penyusun)
Skenario, Penilai Skenario, Penyunting Skenario, Pengarah, Perekrut Pemeran, Pemeran
Utama, Pemeran Pembantu, Pemeran Figuran, Penghubung (Kurir), Penyokong Dana
(Sponsor), Divisi Logistik, Divisi Transportasi, Divisi Desas-Desus & Penggerak,
Divisi Barikade & Pengamanan, Divisi Psikis, dan Martir.
Biasanya setelah aksi-aksi berhasil
menggulingkan kekuasaan yang akan direbut, setiap elemen, kecuali martir, akan
mendapat posisi masing-masing dalam menikmati kekuasaan. Martir hanya dikenang
sebagai korban, kalau mujur dianggap sebagai pahlawan.
Bagaimana cara mencegah hal itu tidak
terjadi? Apa setiap oposisi diajak koalisi dan diberi kursi-kursi kekuasaan akan
dapat mencegah terjadinya hal tersebut. Seumpamanya hal tersebut adalah takdir
dalam perjalanan sejarah bangsa nan penuh rajah-rajah perebutan kekuasaan.
Siapa pun tak akan bisa mencegah takdir.
Hal tersebut dapat diminimalisir, dan dicegah
dengan jalan mengarahkan, memfasilitasi, dan mendorong kedelapanbelas elemen agar
berperan aktif dalam roda-roda kehidupan sesuai dengan minat dan bakatnya
masing-masing.
Kerap kali hal tersebut terjadi di suatu
negara bukan dipicu oleh warga negaranya sendiri, tetapi dicetuskan oleh
kalangan yang tidak mendapat kursi, oleh penjajah dan koalisinya yang ingin
menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia di negara itu.
Seumpamanya hal tersebut diumpamakan
pertempuran di papan catur, setiap warga negara dan elemen-elemen lainnya yang
dilibatkan, terlibat, dan direkayasa seolah-olah terlibat adalah bidak-bidak
yang digerakkan oleh pemain catur.
Pada papan catur yang diisi oleh Raja,
Benteng, Menteri/Gajah, Ratu/Perdana menteri, Kuda/Ksatria, dan Bidak-Bidak,
semuanya diatur oleh pemain catur. Pergerakan di papan catur, baik menangkap
musuh, mengambil posisi musuh, mengeluarkan musuh posisinya diatur oleh pemain
catur. Akan tetapi, hanya bidak-bidak saja yang dapat menggantikan posisi
setiap pemain yang ditangkap oleh musuh. Bidak-bidak bisa menjadi siapa saja.
Dulu tidak hanya belajar menulis saja, aku
juga sering diajak teman-teman bermain catur, domino, koa, biliar, remi, qiu qiu, igo, dan sepak bola.
Setelah wisuda, aku pun masih mendapatkan
pesanan-pesanan untuk menerjemahkan pelbagai teks. Delapan tahun kemudian, aku
mulai belajar mengirimkan tulisan-tulisan ke surat kabar dan mengikuti
lomba-lomba menulis.
Alhamdulillah,
perlahan honor dari menulis yang kuperoleh naik mulai dari lima ratus ribu,
satu juta, dua juta, tiga juta, lima juta, hingga sepuluh juta.
Aku juga sering ditanya orang tentang apa
yang kudapat dari menulis? Aku mendapat tulisan.
Begitu jawabku.
Sekarang aku masih menulis. Moga-moga proses
penerbitan buku cetak perdana yang berisikan puisi-puisiku lancar hingga aku
pun kian semangat menulis.
15
Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar