Subuh baru saja selesai. Meriam betung
terdengar berdentum-dentum di luar pondok. Pecah. Kesunyian pecah. Agaknya
seperti itu pula ketika perang terjadi. Di mana-mana terdengar bunyi
dentuman.
Aku teringat teman-temanku sedang berlomba-lomba membuat meriam betung
dengan bunyi nan paling menggelegar. Mereka mengisi air dan karbid dalam
sebatang betung sepanjang 100 sentimeter.
Tahun
berikutnya, teman-temanku dan diriku mulai belajar membuat meriam kaleng.
Kaleng-kaleng bekas minuman ringan yang diimpor dari luar negeri dijadikan
meriam. Tujuh buah kaleng disambungkan menjadi laras meriam. Terkadang ada
meriam nan meledak pecah ketika disulut api. Orang-orang tua mulai menggerutu
karena anak-anaknya makin gemar gaduh, riuh, dan memekakkan telinga dengan
bertanding adu keras bunyi meriam kaleng.
Teman-temanku
dan diriku masih tidak puas. Mesti ada inovasi. Kaleng-kaleng bekas susu 800
gram yang diimpor dari negeri jiran pun diubah menjadi laras meriam. Tiga
keleng susu disambungkan tanpa perekat. Segenggam garam, tiga tukah karbid, dan
air secukupnya dimasukkan ke dalam dasar laras. Laras meriam ditanam dalam
tanah. Hanya moncong dan lubang penyulutnya tampak.
Dulu
negeri-negeri jiran itu masih satu dengan negeri ini. Akan tetapi, oleh karena
traktat antar kolonialis, rakyat negeri-negeri itu pun seolah-olah saling
bermusuhan. Bermusuhan karena tidak memahami sejarah.
“Bunyikan?” Tanya temanku.
“Hajar! Apalagi. Biar pecah!” jawabku sambil melihat ke kanan dan kiri.
Dia
menyulut meriam.
Blaaarrrrrrrrr
Tanah bergetar. Bunyi menggelegar.
Warga satu Rukun Tetangga berhamburan keluar rumahnya masing-masing.
“Setan!”
“Edan!”
“Kalera!”
“Bodat!”
“Astaghfirullah al-azhiim!”
Banyak nan mengumpat-ngumpat. Hanya beberapa saja nan istighfar.
Temanku berlari kencang. Aku pun mengikutinya. Setia kawan. Padahal
sepakat tidak akan bubar meski pecah perang dan kena berang orang-orang. Meriam
buatan kami pun kena timbun.
Akan
tetapi, teman-temanku dan diriku masih belum puas. Meriam karbid memang sengaja
dibuat keras berbunyi meski tidak diberi isi. Kalau diberi isi, meriam kami pun
bisa sampai memorak-porandakan 47 benteng yang ada di negeri seberang.
Temanku, yang bapaknya punya perusahaan transportasi penyaluran minyak,
meminjam knalpot bekas mobil tangki minyak dari sopir tangki. Meriam knalpot.
Begitulah namanya. Tentu saja dibutuhkan lebih banyak garam, karbid, dan air
untuk membuatnya menjadi meriam karbid nan dahsyat.
Tiga
laras meriam diarahkan ke tangki-tangki minyak. Entah tangki minyak, entah
tangki air, entah tangki apa. Entahlah. Gara-gara berebut minyak itulah banyak
negeri nan saling berperang dan menjahanamkan kemanusiaan.
Ketiganya disulut.
bllaaarrrr bllaaarrrr bllaaaarrrr
Teman-temanku bersorak-sorai.
Meriam karbid tanpa isi berhasil berbunyi.
Tanpa
disadari, teman-temanku dan diriku telah belajar membuat dan menggunakan
artileri. Lain hari, teman-temanku dan diriku juga belajar membuat
pistol-pistolan korek api, granat-granatan, dan ranjau-ranjauan kaleng.
Entahlah siapa nan mengajari. Semuanya datang begitu saja. Mungkin tradisi
lisan.
Sekarang, aku merenung.
Apakah
ketenangan akan pecah karena ulah setan memperalat manusia-manusia memicu
perang bom Atom dan bom Hidrogen. Semoga tidak. Apa mungkin hanya dengan
menyalakan sebatang lilin bisa mencegah terjadinya hal tersebut. Entahlah.
Jagalah
psikik dan fisik supaya bumi tidak berubah menjadi neraka.
28/9/2016
Kalau
nan dibawah ini bukan meriam karbid, tetapi artileri asli.
Meriam di Pelalawan |
Artileri |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar