06/10/16

Meriam Karbid


     Subuh baru saja selesai. Meriam betung terdengar berdentum-dentum di luar pondok. Pecah. Kesunyian pecah. Agaknya seperti itu pula ketika perang terjadi. Di mana-mana terdengar bunyi dentuman.
     Aku teringat teman-temanku sedang berlomba-lomba membuat meriam betung dengan bunyi nan paling menggelegar. Mereka mengisi air dan karbid dalam sebatang betung sepanjang 100 sentimeter.
     Tahun berikutnya, teman-temanku dan diriku mulai belajar membuat meriam kaleng. Kaleng-kaleng bekas minuman ringan yang diimpor dari luar negeri dijadikan meriam. Tujuh buah kaleng disambungkan menjadi laras meriam. Terkadang ada meriam nan meledak pecah ketika disulut api. Orang-orang tua mulai menggerutu karena anak-anaknya makin gemar gaduh, riuh, dan memekakkan telinga dengan bertanding adu keras bunyi meriam kaleng.

    Teman-temanku dan diriku masih tidak puas. Mesti ada inovasi. Kaleng-kaleng bekas susu 800 gram yang diimpor dari negeri jiran pun diubah menjadi laras meriam. Tiga keleng susu disambungkan tanpa perekat. Segenggam garam, tiga tukah karbid, dan air secukupnya dimasukkan ke dalam dasar laras. Laras meriam ditanam dalam tanah. Hanya moncong dan lubang penyulutnya tampak.
   Dulu negeri-negeri jiran itu masih satu dengan negeri ini. Akan tetapi, oleh karena traktat antar kolonialis, rakyat negeri-negeri itu pun seolah-olah saling bermusuhan. Bermusuhan karena tidak memahami sejarah.
    “Bunyikan?” Tanya temanku.
    “Hajar! Apalagi. Biar pecah!” jawabku sambil melihat ke kanan dan kiri.
    Dia menyulut meriam.
    Blaaarrrrrrrrr
    Tanah bergetar. Bunyi menggelegar.
    Warga satu Rukun Tetangga berhamburan keluar rumahnya masing-masing.
   “Setan!”
   “Edan!”
   “Kalera!”
   “Bodat!”
   Astaghfirullah al-azhiim!”
   Banyak nan mengumpat-ngumpat. Hanya beberapa saja nan istighfar.
   Temanku berlari kencang. Aku pun mengikutinya. Setia kawan. Padahal sepakat tidak akan bubar meski pecah perang dan kena berang orang-orang. Meriam buatan kami pun kena timbun.
   Akan tetapi, teman-temanku dan diriku masih belum puas. Meriam karbid memang sengaja dibuat keras berbunyi meski tidak diberi isi. Kalau diberi isi, meriam kami pun bisa sampai memorak-porandakan 47 benteng yang ada di negeri seberang.
   Temanku, yang bapaknya punya perusahaan transportasi penyaluran minyak, meminjam knalpot bekas mobil tangki minyak dari sopir tangki. Meriam knalpot. Begitulah namanya. Tentu saja dibutuhkan lebih banyak garam, karbid, dan air untuk membuatnya menjadi meriam karbid nan dahsyat.
   Tiga laras meriam diarahkan ke tangki-tangki minyak. Entah tangki minyak, entah tangki air, entah tangki apa. Entahlah. Gara-gara berebut minyak itulah banyak negeri nan saling berperang dan menjahanamkan kemanusiaan.
   Ketiganya disulut.
   bllaaarrrr bllaaarrrr bllaaaarrrr
   Teman-temanku bersorak-sorai.
   Meriam karbid tanpa isi berhasil berbunyi.
   Tanpa disadari, teman-temanku dan diriku telah belajar membuat dan menggunakan artileri. Lain hari, teman-temanku dan diriku juga belajar membuat pistol-pistolan korek api, granat-granatan, dan ranjau-ranjauan kaleng. Entahlah siapa nan mengajari. Semuanya datang begitu saja. Mungkin tradisi lisan.
   Sekarang, aku merenung.
   Apakah ketenangan akan pecah karena ulah setan memperalat manusia-manusia memicu perang bom Atom dan bom Hidrogen. Semoga tidak. Apa mungkin hanya dengan menyalakan sebatang lilin bisa mencegah terjadinya hal tersebut. Entahlah.
   Jagalah psikik dan fisik supaya bumi tidak berubah menjadi neraka.

 28/9/2016

 Kalau nan dibawah ini bukan meriam karbid, tetapi artileri asli.

Meriam di Pelalawan

Artileri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar