Biasanya aku merayakan agustusan dengan ikut memanjat batang
pinang. Pernah kulihat ada batang pinangnya diganti dengan tiang besi dan di
atasnya ada hadiah seekor kambing dalam kerangkeng. Tiap tahun diriku selalu
menikmati agustusan dengan riang bersama teman-temanku.
Beraneka macam
lomba khusus kanak-kanak, anak-anak, remaja, dan pemuda. Ada panjat pinang,
balap karung, makan kerupuk, mencabut koin dari betik berlumur gomok, tarik
tambang, pacu lari, panco, domino, bola voli, catur, dan bola kasti.
Semuanya
bergembira. Gembira karena sudah merdeka. Merdeka dari belenggu penjajahan
kolonialis dan imperialis.
Hanya ada
agustusan nan selalu membekas dalam ingatanku. Ketika itu teman-temanku
mengajak merayakan malam agustusan dengan menonton pentas musik dangdut. Kami
pun berangkat menuju lokasi dengan menumpang bus antar kota dalam provinsi.
Aku terkejut saat
tiba di lokasi. Lokasi pentas dangdutnya di sebuah kompleks tentara. Di sebelah kiri ada banyak rumah,
asrama tentara, tempat latihan, dan di
sebelah kanan ada markasnya.
Musik dangdut dan
biduannya sedang mengalun di atas pentas. Ratusan orang sedang berjoged.
Bersuka ria. Kursi-kursi di bawah tenda hijau hanya berisi di bagian depannya
saja.
“Kau ikutlah
berjoged. Kami mau ke sana,” kata temanku sambil menunjuk kea rah kerumunan
penonton.
Aku pun
mengangguk. Aku langsung masuk dalam kerumunan prajurit-prajurit berbadan tegap
dan gagah. Aku berjoged menikmati alunan suara biduan dan musik dangdut.
Beberapa prajurit nan berambut cepak menatapku agak heran. Mungkin mereka
tengah berpikir mengapa ada remaja berambut gondrong yang ikut berjoged di
tengah kerumunan prajurit. Aku adem saja asyik berjoged. Nanti kalau ada
prajurit nan bertanya. Aku jawab saja aku ini anak rakyat Indonesia. Tidaklah
mungkin aku berbohong bahwa aku ini anak perwira tinggi bintang empat. Biasanya
perwira tinggi itu markasnya di komando daerah militer atau di markas besar.
Aku terkejut. Dua orang provos yang sedang
piket menarik diriku dari tengah kerumunan penonton. Mereka menyandang senjata
di depan dadanya. Dadaku bergemuruh. Prajurit-prajurit yang tengah berjoged
melihatku keheranan. Apa tidak boleh rakyat turut serta menikmati agustusan di
kompleks tentara.
Mereka membawaku
ke pinggir lapangan. Seorang anak menatapku dengan marah.
“Ini dia
orangnya, Bang. Bawa saja ke pos!” kata anak itu dengan nada marah.
Seorang provos menatapku.
“Ada apa Bang?” tanyaku kepada provos.
“Tadi ada anak ini dikompas. Katanya yang
mengompas rambutnya gondrong,” jawab provos.
“Salah orang,
Bang. Bukan aku. Aku tadi sedang berjoged,” jawabku.
“Bawa ke pos
saja!” kata anak itu.
Kurasa dia anak
kolong. Mungkin anak tentara yang lebih tinggi pangkatnya dari provos.
Kedua provos
menatapku dengan teliti.
Tiba-tiba temanku
yang juga bapaknya juga tentara datang.
“Bukan dia orangnya, Bang.”
Provos pun menganggukkan kepala.
“Tadi kulihat
yang mengompasku berjalan bersama dengannya,” kata anak kolong yang kena kompas
menunjukku.
“Mana
teman-temanmu?” tanya provos kepadaku.
“Ini bang,” kataku menunjuk temanku yang juga
anak kolong.
Kedua
provos pun mengangguk-anggukan kepala.
Mereka mengajak anak yang kena kompas mencari
pengompas di kerumunan penonton.
Belum juga dua
lagu dangdut, malam agustusanku jadi terganggu.
“Ayo
nonton dangdut lagi,” ajak temanku.
“Terima kasih. Aku mau pulang saja. Nanti
salah-salah duga, bengkak juga kepalaku kena popor senapan,” jawabku.
Temanku tersenyum.
“Sampai jumpa besok di sekolah,” katanya.
Aku
bergegas berjalan keluar dari area. Aku menyusuri jalan nan gelap. Sebelah
kirinya banyak pohon sawit berjejer. Teman-temanku tidak kelihatan. Aku terus
berjalan. Tiba-tiba kulihat empat orang temanku sedang berdiri di pinggir
jalan.
“Siapa yang ngompas anak tentara?” tanyaku.
Mereka
diam saja.
“Ayo
kita pulang. Kalian cari-cari perkara saja. Ini kompleks tentara,” kataku
dengan kesal.
Kami pun bergegas
berjalan hingga tiba di persimpangan. Sebuah bus antar kota dalam provinsi yang
sedang lewat berhenti ketika kami stop. Kami pulang dengan menggunakan bus. Aku
menggeleng-gelengkan kepala ketika di dalam bus. Hampir saja diriku dipopor senapan
karena teman-temanku nan nakal tengah belajar iseng menguji nyali.
Dua orang temanku
itu kini sudah tiada. Mereka tewas ketika dikeroyok dalam sebuah tawuran antar
remaja yang menggunakan senjata tajam. Seorang lagi menjadi tentara, dan
seorang lagi menjadi polisi. Temanku yang anak kolong itu juga menjadi
tentara. Aku? Aku masih setia menjadi rakyat nan gemar belajar membaca dan
menulis.
Dulu pernah
emakku memintaku mendaftar masuk akademi polisi atau akademi militer, tetapi
kubilang kepada beliau bahwa tidak mesti menjadi polisi dan tentara untuk
membela tanah air. Kelak pemuda-pemudi dan seluruh rakyat akan menjadi pembela
tanah air ketika dibutuhkan oleh bangsa dan tanah air.
29/9/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar