23/10/16

Agustusan 1997


       Biasanya aku merayakan agustusan dengan ikut memanjat batang pinang. Pernah kulihat ada batang pinangnya diganti dengan tiang besi dan di atasnya ada hadiah seekor kambing dalam kerangkeng. Tiap tahun diriku selalu menikmati agustusan dengan riang bersama teman-temanku.
       Beraneka macam lomba khusus kanak-kanak, anak-anak, remaja, dan pemuda. Ada panjat pinang, balap karung, makan kerupuk, mencabut koin dari betik berlumur gomok, tarik tambang, pacu lari, panco, domino, bola voli, catur, dan bola kasti.
       Semuanya bergembira. Gembira karena sudah merdeka. Merdeka dari belenggu penjajahan kolonialis dan imperialis.
       Hanya ada agustusan nan selalu membekas dalam ingatanku. Ketika itu teman-temanku mengajak merayakan malam agustusan dengan menonton pentas musik dangdut. Kami pun berangkat menuju lokasi dengan menumpang bus antar kota dalam provinsi.
      Aku terkejut saat tiba di lokasi. Lokasi pentas dangdutnya di sebuah kompleks tentara. Di sebelah kiri ada banyak rumah,  asrama tentara, tempat latihan, dan di sebelah kanan ada markasnya. 

      Musik dangdut dan biduannya sedang mengalun di atas pentas. Ratusan orang sedang berjoged. Bersuka ria. Kursi-kursi di bawah tenda hijau hanya berisi di bagian depannya saja.
     “Kau ikutlah berjoged. Kami mau ke sana,” kata temanku sambil menunjuk kea rah kerumunan penonton.
     Aku pun mengangguk. Aku langsung masuk dalam kerumunan prajurit-prajurit berbadan tegap dan gagah. Aku berjoged menikmati alunan suara biduan dan musik dangdut. Beberapa prajurit nan berambut cepak menatapku agak heran. Mungkin mereka tengah berpikir mengapa ada remaja berambut gondrong yang ikut berjoged di tengah kerumunan prajurit. Aku adem saja asyik berjoged. Nanti kalau ada prajurit nan bertanya. Aku jawab saja aku ini anak rakyat Indonesia. Tidaklah mungkin aku berbohong bahwa aku ini anak perwira tinggi bintang empat. Biasanya perwira tinggi itu markasnya di komando daerah militer atau di markas besar.
       Aku terkejut. Dua orang provos yang sedang piket menarik diriku dari tengah kerumunan penonton. Mereka menyandang senjata di depan dadanya. Dadaku bergemuruh. Prajurit-prajurit yang tengah berjoged melihatku keheranan. Apa tidak boleh rakyat turut serta menikmati agustusan di kompleks tentara.
       Mereka membawaku ke pinggir lapangan. Seorang anak menatapku dengan marah.
      “Ini dia orangnya, Bang. Bawa saja ke pos!” kata anak itu dengan nada marah.
      Seorang provos menatapku.
      “Ada apa Bang?” tanyaku kepada provos.
      “Tadi ada anak ini dikompas. Katanya yang mengompas rambutnya gondrong,” jawab provos.
      “Salah orang, Bang. Bukan aku. Aku tadi sedang berjoged,” jawabku.
      “Bawa ke pos saja!” kata anak itu.
       Kurasa dia anak kolong. Mungkin anak tentara yang lebih tinggi pangkatnya dari provos.
       Kedua provos menatapku dengan teliti.
      Tiba-tiba temanku yang juga bapaknya juga tentara datang.
      “Bukan dia orangnya, Bang.”
      Provos pun menganggukkan kepala.
       “Tadi kulihat yang mengompasku berjalan bersama dengannya,” kata anak kolong yang kena kompas menunjukku.
        “Mana teman-temanmu?” tanya provos kepadaku.
       “Ini bang,” kataku menunjuk temanku yang juga anak kolong.
        Kedua provos pun mengangguk-anggukan kepala.
       Mereka mengajak anak yang kena kompas mencari pengompas di kerumunan penonton.
       Belum juga dua lagu dangdut, malam agustusanku jadi terganggu.
        “Ayo nonton dangdut lagi,” ajak temanku.
       “Terima kasih. Aku mau pulang saja. Nanti salah-salah duga, bengkak juga kepalaku kena popor senapan,” jawabku.
       Temanku tersenyum.
       “Sampai jumpa besok di sekolah,” katanya.
        Aku bergegas berjalan keluar dari area. Aku menyusuri jalan nan gelap. Sebelah kirinya banyak pohon sawit berjejer. Teman-temanku tidak kelihatan. Aku terus berjalan. Tiba-tiba kulihat empat orang temanku sedang berdiri di pinggir jalan.
        “Siapa yang ngompas anak tentara?” tanyaku.
        Mereka diam saja.
        “Ayo kita pulang. Kalian cari-cari perkara saja. Ini kompleks tentara,” kataku dengan kesal.
       Kami pun bergegas berjalan hingga tiba di persimpangan. Sebuah bus antar kota dalam provinsi yang sedang lewat berhenti ketika kami stop. Kami pulang dengan menggunakan bus. Aku menggeleng-gelengkan kepala ketika di dalam bus. Hampir saja diriku dipopor senapan karena teman-temanku nan nakal tengah belajar iseng menguji nyali. 
       Dua orang temanku itu kini sudah tiada. Mereka tewas ketika dikeroyok dalam sebuah tawuran antar remaja yang menggunakan senjata tajam. Seorang lagi menjadi tentara, dan seorang lagi menjadi polisi. Temanku yang anak kolong itu juga menjadi tentara. Aku? Aku masih setia menjadi rakyat nan gemar belajar membaca dan menulis.
       Dulu pernah emakku memintaku mendaftar masuk akademi polisi atau akademi militer, tetapi kubilang kepada beliau bahwa tidak mesti menjadi polisi dan tentara untuk membela tanah air. Kelak pemuda-pemudi dan seluruh rakyat akan menjadi pembela tanah air ketika dibutuhkan oleh bangsa dan tanah air.

29/9/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar