14/10/15

Selisik Sastra Tutur Tampieh & Tempias


Naskah cerita rakyat berjudul Tempias dituliskan setelah mendengarkan penuturan cerita rakyat oleh Muslim Arofat, salah seorang aktivis kepemudaan di Dumai. Muslim Arofat berusia 29 tahun, warga Dumai, mendengarkan cerita rakyat ini dari penuturan dari generasi sebelumnya.

Jauh sebelumnya penulis juga sudah pernah mendengarkan cerita rakyat ini dalam 2 bahasa yaitu bahasa Minang dan bahasa Melayu. 

Apakah karya sastra tutur berjudul Tampieh dan karya sastra tutur berjudul Tempias bersumber dari sebuah karya sastra tutur yang sama, dan kemudian tumbuh berkembang di pelbagai kelompok masyarakat dengan bahasa nan berbeda, hanya dapat dibuktikan dengan melakukan penelitian sastra tutur yang komprehensif.

Adanya kemungkinan bahwa penulis pertama sekali mendengarkan cerita rakyat berjudul Tampieh ini dalam bahasa Minang, kemudian menuturkannya kembali dalam bahasa Indonesia kepada sahabat-sahabat sepermainan penulis ketika masih kanak-kanak, dan kemungkinan mereka juga menuturkan lagi cerita tersebut dalam bahasa Melayu, tentu saja akan dapat dibuktikan dengan cara menelitinya dengan disiplin ilmu sastra lisan, tradisi lisan dan kajian budaya. Beberapa penutur cerita rakyat Tampieh dan penutur cerita rakyat Tempias masih hidup dan mungkin dapat diminta informasinya untuk kepentingan penelitian sastra tutur.
Penulis mendengar cerita rakyat ini dituturkan pada tahun 1990, lalu mendengar kembali cerita rakyat ini dituturkan pada tahun 2004, tahun 2008 dan pada tahun 2015 ketika penulis berupaya mengumpulkan khazanah cerita rakyat yang ada di Dumai. Dari hasil penelusuran penulis dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi mesin pencari arsip tertulis internet milik Google, penulis mengetahui bahwa ada buku cerita rakyat yang berjudul Tempias: Sumpah Harimau di Selat Panjang karya Afrizal Cik, diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Riau tahun 2002. Penulis belum pernah membaca cerita rakyat Tempias yang ditulis oleh Afrizal Cik. Mungkin saja masih ada teks-teks lain tentang Tempias yang belum pernah dipublikasikan.

Penulis berpendapat bahwa ketika sebuah cerita rakyat dari sastra tutur tumbuh berkembang, diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan, di pelbagai kelompok masyarakat dengan beraneka jenis bahasa ibu, cerita rakyat tersebut akan tumbuh dengan pelbagai versi pula. 

Siapa pun yang tergerak hatinya untuk menggali cerita rakyat tersebut, menuturkan kembali, atau menuliskannya dengan atau tanpa pengembangan, akan menuturkan atau menuliskannya kembali sesuai kemampuan mendengar, kemampuan memahami, kemampuan mengambil amanat dan makna ketika mendengar cerita rakyat tersebut dituturkan oleh penuturnya.

Perbedaan menuliskan sebuah naskah cerita dari mendengar cerita rakyat yang bersumber dari sastra tutur tentu sangat jauh berbeda dengan menuliskan kembali cerita rakyat yang disadur dari sastra tutur yang sudah dituliskan, dibukukan dan diterbitkan.

Penulisan kembali sebuah naskah cerita rakyat yang berasal dari penuturan sebuah sastra tutur tidak sama seperti mengerjakan sebuah transkripsi atau mengalihkan tuturan ke dalam bentuk tulisan. Kalau transkripsi, cerita rakyat yang dituturkan direkam audionya, lalu dituliskan kembali sesuai dengan tuturan atau bunyinya, tidak lebih dan tidak kurang.

Kerja budaya penulisan kembali cerita rakyat ini juga tidak sama seperti mengalihbahasakan sebuah karya sastra dari satu bahasa ke bahasa lain, yang seringkali kehilangan keindahan gaya bahasanya ketika diterjemahkan. Bukan juga seperti menyadur cerita rakyat yang sudah dituliskan dan dibukukan oleh penulis-penulis, lantas dituliskan kembali dengan pengubahan pilihan kata-kata, tokoh cerita dan latar belakang di sana sini.

Penulis berpendapat bahwa setiap sastra tutur yang dituturkan dan diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi di satu atau lebih dari satu kelompok masyarakat, akan melahirkan pelbagai variasi sastra tutur dan teks tertulis jika ditulis dan dibukukan. Hal ini penulis simpulkan dari beberapa keterangan yang telah dirangkum oleh penulis dalam diskusi melalui media sosial di internet tentang cerita rakyat berjudul Putri Tujuh (dari hasil diskusi diperoleh keterangan bahwa ada 6 versi cerita rakyat Putri Tujuh dalam bentuk teks). Ini menandakan bahwa cerita rakyat seperti cerita Putri Tujuh sangat berharga dan dalam makna amanatnya hingga ada 6 teks cerita. Konon asal nama kota Dumai berasal dari salah satu versi cerita rakyat ini, tetapi belum tentu kata “Dumai” bersumber dari cerita rakyat Putri Tujuh karena belum ada pembuktian ilmiahnya.

Apakah memang etimologi kata “Dumai” bersumber dari cerita rakyat Putri Tujuh atau mungkin malah kata “doemei” itu berasal dari kosa kata bahasa asing, tentu saja hal ini menjadi ranah bagi pakar-pakar bahasa dan sastra untuk mengkajinya. 

Mengarah lagi pada Tempias. Penulisan cerita rakyat oleh penulis dari cerita rakyat yang dituturkan oleh Muslim Arofat kepada penulis, sudah mendapatkan pengembangan alur, amanat, tokoh dan latar belakang cerita tanpa menghilangkan fokus utama pada cerita rakyat Tempias yang dituturkan secara lisan.

Penulis berpendapat bahwa salah satu alasan mengapa sastra lisan sebagai salah satu bagian dari tradisi lisan bisa bertahan selama puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, adalah ciri khas gaya bahasa pada sastra tutur yang istimewa dan tidak dapat diwakilkan dengan kata-kata tertulis. 

Ketika seseorang menuturkan sebuah cerita rakyat yang bersumber dari sastra tutur, akan sangat terlihat perbedaannya dengan membacakan cerita rakyat atau mungkin mempertunjukkan cerita rakyat yang berasal dari teks tertulis dari buku cerita rakyat. Pada karya sastra tutur berjudul Tempias yang telah dituturkan oleh Muslim Arofat, memiliki kekuatan dan ciri khas yang istimewa pada gaya bahasa tutur yang jenaka dan membuat pendengarnya dapat tertawa gembira. Sebuah karya cerita rakyat juga akan kehilangan keindahan dan mungkin tidak sampai amanatnya kepada pendengar kalau penutur tidak menuturkannya dengan gaya bahasa nan istimewa. Semoga saja Muslim Arofat, sebagai salah satu penutur cerita rakyat, masih memiliki beberapa cerita rakyat lagi yang akan dituturkannya kepada penulis. 

Para penutur cerita rakyat yang tidak bersumber dari cerita rakyat yang sudah tertulis patut mendapat perhatian oleh para peneliti tradisi lisan, negara dan pihak-pihak yang tertarik untuk membangun kebudayaan. Biasanya penutur cerita rakyat adalah orang-orang tua dengan usia lebih dari 45 tahun, tetapi yang istimewanya ada seorang pemuda berusia 29 tahun memiliki gaya bahasa yang istimewa dan mampu menuturkan kembali cerita rakyat sampai membuat penulis merasa gembira.

Dari konsep rumus menghitung usia cerita rakyat yang belum ditulis dan masih diwariskan dengan penuturan dari satu generasi ke generasi lainnya, penulis berpendapat bahwa usia karya sastra tutur Tempias sudah berumur 59 tahun. Ini berdasarkan asumsi bahwa penutur yang pertama kali menuturkan cerita rakyat tersebut kepada penulis pada saat penulis berusia 9 tahun, mendengar cerita rakyat ini dituturkan oleh orang lain ketika dia berusia 9 tahun. Bisa jadi usianya bertambah, kalau masih ada penutur-penutur sebelum penutur yang pertama menuturkan cerita rakyat ini kepada penulis. Hanya sayangnya, dalam proses pewarisan sastra tutur tidak pernah dituturkan siapa pengarang cerita dan darimana cerita mula-mula berasal. Kalau desas-desus atau kabar angin saja bisa diteliti sumbernya, begitu pula dengan sastra tutur. Nalarnya adalah segala sesuatu ada sumbernya. Cerita-cerita rakyat yang berasal dari sastra tutur itu ada sumbernya dan ada yang mengarangnya. Cerita-cerita tersebut tidak muncul tiba-tiba begitu saja dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Penjabaran rumus menghitung karya sastra tutur belum bisa penulis paparkan di sini karena akan digunakan untuk kepentingan penelitian sastra tutur pada disiplin ilmu tradisi lisan dan kajian budaya.

Sampai hari ini, penulis belum mengetahui kapan mula-mula sastra tutur Tampieh dan Tempias dituturkan dan siapa penutur pertamanya, sampai kemudian berkembang di masyarakat nan Bhinneka Tunggal Ika ini.

Semoga di masa yang akan datang, setiap teks cerita rakyat yang bersumber dari sastra tutur mesti mencantumkan keterangan siapa penutur dan dimana dituturkannya.

Semoga tulisan ini bermanfaat. 

Ahlul Hukmi, 14 Oktober 2015

Sekadar tambahan:

Beberapa sastra tutur yang pernah didengar oleh penulis adalah tentang Rantai Raja Babi, Nasi Menangis, Kampung Bunian, Tempua dan Jarum Emas, Kolam Gabus Gaib, Kunang-Kunang, Ada Air Ada Ikan, Bukit Datuk, Empat Datuk dan Cindaku. Selain itu ada juga beberapa cerita rakyat di Dumai yang patut diteliti dan diwujudkan dalam bentuk naskah tulisan seperti Bukit Datuk, Bukit Jin, Bukit Kapur, Bukit Timah, Bukit Batrem, Bukit Nenas, Bukit Kerikil, dan Bukit Gelanggang (yang sama sekali tidak ada bukitnya). Mungkin dapat diterbitkan menjadi sebuah buku kumpulan cerita rakyat berjudul “Delapan Bukit”. Belum lagi cerita rakyat tentang asal nama Bagan Besar dan Bagan Keladi, Pangkalan Sesai, Bangsal Aceh, Teluk Binjai dan nama-nama kelurahan lainnya.

Menceritakan kembali cerita rakyat yang belum pernah ditulis dan yang sudah ditulis itu dalam bentuk tertulis, sangat jauh berbeda dengan menuturkan kembali sastra tutur yang belum pernah dituliskan.

Macam mana pula manusia bisa bebas dari menanggapi, menggunakan, mengutip, menukil, menyalin, meniru, mengubah, menerjemahkan, menafsirkan, memungut, mendaur ulang, menyadur, dan menyontek kata-kata dan pelbagai buah pikir/pendapat/ide/gagasan, kalau mereka juga lahir dari proses yang sama, yaitu memperoleh kata-kata yang bersumber dari kitab bahasa atau kamus bahasa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar