Naskah
cerita rakyat berjudul Tempias dituliskan
setelah mendengarkan penuturan cerita rakyat oleh Muslim Arofat, salah seorang
aktivis kepemudaan di Dumai. Muslim Arofat berusia 29 tahun, warga Dumai,
mendengarkan cerita rakyat ini dari penuturan dari generasi sebelumnya.
Jauh
sebelumnya penulis juga sudah pernah mendengarkan cerita rakyat ini dalam 2 bahasa
yaitu bahasa Minang dan bahasa Melayu.
Apakah
karya sastra tutur berjudul Tampieh
dan karya sastra tutur berjudul Tempias
bersumber dari sebuah karya sastra tutur yang sama, dan kemudian tumbuh
berkembang di pelbagai kelompok masyarakat dengan bahasa nan berbeda, hanya
dapat dibuktikan dengan melakukan penelitian sastra tutur yang komprehensif.
Adanya
kemungkinan bahwa penulis pertama sekali mendengarkan cerita rakyat berjudul Tampieh ini dalam bahasa Minang,
kemudian menuturkannya kembali dalam bahasa Indonesia kepada sahabat-sahabat
sepermainan penulis ketika masih kanak-kanak, dan kemungkinan mereka juga
menuturkan lagi cerita tersebut dalam bahasa Melayu, tentu saja akan dapat
dibuktikan dengan cara menelitinya dengan disiplin ilmu sastra lisan, tradisi
lisan dan kajian budaya. Beberapa penutur cerita rakyat Tampieh dan penutur cerita rakyat Tempias masih hidup dan mungkin dapat diminta informasinya untuk
kepentingan penelitian sastra tutur.
Penulis
mendengar cerita rakyat ini dituturkan pada tahun 1990, lalu mendengar kembali
cerita rakyat ini dituturkan pada tahun 2004, tahun 2008 dan pada tahun 2015 ketika
penulis berupaya mengumpulkan khazanah cerita rakyat yang ada di Dumai. Dari
hasil penelusuran penulis dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi mesin
pencari arsip tertulis internet milik Google,
penulis mengetahui bahwa ada buku cerita rakyat yang berjudul Tempias: Sumpah Harimau di Selat Panjang karya
Afrizal Cik, diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Riau tahun 2002. Penulis belum
pernah membaca cerita rakyat Tempias yang
ditulis oleh Afrizal Cik. Mungkin saja masih ada teks-teks lain tentang Tempias yang belum pernah
dipublikasikan.
Penulis
berpendapat bahwa ketika sebuah cerita rakyat dari sastra tutur tumbuh
berkembang, diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan, di pelbagai
kelompok masyarakat dengan beraneka jenis bahasa ibu, cerita rakyat tersebut
akan tumbuh dengan pelbagai versi pula.
Siapa
pun yang tergerak hatinya untuk menggali cerita rakyat tersebut, menuturkan
kembali, atau menuliskannya dengan atau tanpa pengembangan, akan menuturkan
atau menuliskannya kembali sesuai kemampuan mendengar, kemampuan memahami,
kemampuan mengambil amanat dan makna ketika mendengar cerita rakyat tersebut
dituturkan oleh penuturnya.
Perbedaan
menuliskan sebuah naskah cerita dari mendengar cerita rakyat yang bersumber
dari sastra tutur tentu sangat jauh berbeda dengan menuliskan kembali cerita
rakyat yang disadur dari sastra tutur yang sudah dituliskan, dibukukan dan
diterbitkan.
Penulisan
kembali sebuah naskah cerita rakyat yang berasal dari penuturan sebuah sastra
tutur tidak sama seperti mengerjakan sebuah transkripsi atau mengalihkan tuturan
ke dalam bentuk tulisan. Kalau transkripsi, cerita rakyat yang dituturkan
direkam audionya, lalu dituliskan kembali sesuai dengan tuturan atau bunyinya,
tidak lebih dan tidak kurang.
Kerja
budaya penulisan kembali cerita rakyat ini juga tidak sama seperti
mengalihbahasakan sebuah karya sastra dari satu bahasa ke bahasa lain, yang
seringkali kehilangan keindahan gaya bahasanya ketika diterjemahkan. Bukan juga
seperti menyadur cerita rakyat yang sudah dituliskan dan dibukukan oleh
penulis-penulis, lantas dituliskan kembali dengan pengubahan pilihan kata-kata,
tokoh cerita dan latar belakang di sana sini.
Penulis
berpendapat bahwa setiap sastra tutur yang dituturkan dan diwariskan secara
lisan dari generasi ke generasi di satu atau lebih dari satu kelompok
masyarakat, akan melahirkan pelbagai variasi sastra tutur dan teks tertulis
jika ditulis dan dibukukan. Hal ini penulis simpulkan dari beberapa keterangan
yang telah dirangkum oleh penulis dalam diskusi melalui media sosial di
internet tentang cerita rakyat berjudul Putri
Tujuh (dari hasil diskusi diperoleh keterangan bahwa ada 6 versi cerita
rakyat Putri Tujuh dalam bentuk teks).
Ini menandakan bahwa cerita rakyat seperti cerita Putri Tujuh sangat berharga dan dalam makna amanatnya hingga ada 6 teks cerita. Konon asal nama kota Dumai berasal dari salah satu versi cerita
rakyat ini, tetapi belum tentu kata “Dumai” bersumber dari cerita rakyat Putri Tujuh karena belum ada pembuktian
ilmiahnya.
Apakah
memang etimologi kata “Dumai”
bersumber dari cerita rakyat Putri Tujuh atau mungkin malah kata “doemei” itu berasal dari kosa kata
bahasa asing, tentu saja hal ini menjadi ranah bagi pakar-pakar bahasa dan
sastra untuk mengkajinya.
Mengarah
lagi pada Tempias. Penulisan cerita
rakyat oleh penulis dari cerita rakyat yang dituturkan oleh Muslim Arofat
kepada penulis, sudah mendapatkan pengembangan alur, amanat, tokoh dan latar
belakang cerita tanpa menghilangkan fokus utama pada cerita rakyat Tempias yang dituturkan secara lisan.
Penulis
berpendapat bahwa salah satu alasan mengapa sastra lisan sebagai salah satu
bagian dari tradisi lisan bisa bertahan selama puluhan tahun, bahkan ratusan
tahun, adalah ciri khas gaya bahasa pada sastra tutur yang istimewa dan tidak
dapat diwakilkan dengan kata-kata tertulis.
Ketika
seseorang menuturkan sebuah cerita rakyat yang bersumber dari sastra tutur,
akan sangat terlihat perbedaannya dengan membacakan cerita rakyat atau mungkin
mempertunjukkan cerita rakyat yang berasal dari teks tertulis dari buku cerita
rakyat. Pada karya sastra tutur berjudul Tempias
yang telah dituturkan oleh Muslim Arofat, memiliki kekuatan dan ciri khas yang
istimewa pada gaya bahasa tutur yang jenaka dan membuat pendengarnya dapat tertawa
gembira. Sebuah karya cerita rakyat juga akan kehilangan keindahan dan mungkin
tidak sampai amanatnya kepada pendengar kalau penutur tidak menuturkannya
dengan gaya bahasa nan istimewa. Semoga saja Muslim Arofat, sebagai salah satu
penutur cerita rakyat, masih memiliki beberapa cerita rakyat lagi yang akan
dituturkannya kepada penulis.
Para
penutur cerita rakyat yang tidak bersumber dari cerita rakyat yang sudah
tertulis patut mendapat perhatian oleh para peneliti tradisi lisan, negara dan
pihak-pihak yang tertarik untuk membangun kebudayaan. Biasanya penutur cerita
rakyat adalah orang-orang tua dengan usia lebih dari 45 tahun, tetapi yang
istimewanya ada seorang pemuda berusia 29 tahun memiliki gaya bahasa yang
istimewa dan mampu menuturkan kembali cerita rakyat sampai membuat penulis
merasa gembira.
Dari
konsep rumus menghitung usia cerita rakyat yang belum ditulis dan masih
diwariskan dengan penuturan dari satu generasi ke generasi lainnya, penulis
berpendapat bahwa usia karya sastra tutur Tempias sudah berumur 59 tahun. Ini
berdasarkan asumsi bahwa penutur yang pertama kali menuturkan cerita rakyat
tersebut kepada penulis pada saat penulis berusia 9 tahun, mendengar cerita
rakyat ini dituturkan oleh orang lain ketika dia berusia 9 tahun. Bisa jadi
usianya bertambah, kalau masih ada penutur-penutur sebelum penutur yang pertama
menuturkan cerita rakyat ini kepada penulis. Hanya sayangnya, dalam proses
pewarisan sastra tutur tidak pernah dituturkan siapa pengarang cerita dan
darimana cerita mula-mula berasal. Kalau desas-desus atau
kabar angin saja bisa diteliti sumbernya, begitu pula dengan sastra tutur.
Nalarnya adalah segala sesuatu ada sumbernya. Cerita-cerita rakyat yang berasal
dari sastra tutur itu ada sumbernya dan ada yang mengarangnya. Cerita-cerita
tersebut tidak muncul tiba-tiba begitu saja dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat.
Penjabaran
rumus menghitung karya sastra tutur belum bisa penulis paparkan di sini karena
akan digunakan untuk kepentingan penelitian sastra tutur pada disiplin ilmu
tradisi lisan dan kajian budaya.
Sampai
hari ini, penulis belum mengetahui kapan mula-mula sastra tutur Tampieh dan Tempias dituturkan dan siapa penutur pertamanya, sampai kemudian
berkembang di masyarakat nan Bhinneka Tunggal Ika ini.
Semoga
di masa yang akan datang, setiap teks cerita rakyat yang bersumber dari sastra
tutur mesti mencantumkan keterangan siapa penutur dan dimana dituturkannya.
Semoga
tulisan ini bermanfaat.
Ahlul Hukmi, 14 Oktober 2015
Beberapa
sastra tutur yang pernah didengar oleh penulis adalah tentang Rantai Raja Babi, Nasi Menangis, Kampung Bunian,
Tempua dan Jarum Emas, Kolam Gabus Gaib, Kunang-Kunang, Ada Air Ada
Ikan, Bukit Datuk, Empat Datuk dan Cindaku. Selain itu ada juga beberapa cerita rakyat di Dumai yang
patut diteliti dan diwujudkan dalam bentuk naskah tulisan seperti Bukit Datuk, Bukit Jin, Bukit Kapur, Bukit Timah, Bukit Batrem, Bukit Nenas, Bukit Kerikil,
dan Bukit Gelanggang (yang sama
sekali tidak ada bukitnya). Mungkin dapat diterbitkan menjadi sebuah buku
kumpulan cerita rakyat berjudul “Delapan Bukit”. Belum lagi cerita rakyat tentang asal nama Bagan Besar dan Bagan Keladi,
Pangkalan Sesai, Bangsal Aceh, Teluk Binjai
dan nama-nama kelurahan lainnya.
Menceritakan kembali cerita rakyat yang belum pernah
ditulis dan yang sudah ditulis itu dalam bentuk tertulis, sangat jauh berbeda
dengan menuturkan kembali sastra tutur yang belum pernah dituliskan.
Macam
mana pula manusia bisa bebas dari menanggapi, menggunakan, mengutip, menukil,
menyalin, meniru, mengubah, menerjemahkan, menafsirkan, memungut, mendaur ulang,
menyadur, dan menyontek kata-kata dan pelbagai buah pikir/pendapat/ide/gagasan,
kalau mereka juga lahir dari proses yang sama, yaitu memperoleh kata-kata yang
bersumber dari kitab bahasa atau kamus bahasa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar