Tulisan ini bukan kritik sastra dan juga
bukan untuk mengajar orang tua makan dadih. Ini hanya semata-mata untuk menyampaikan
tanya nan nyata saja tentang adanya kesamaan ciri khas penulisan surat-surat
cinta dalam beberapa novel percintaan terkenal yang dikarang oleh sastrawan
Indonesia dan kesamaan judul beberapa puisi karya penyair Indonesia.
Ketika kita pernah mendengar dan membaca
adanya pertanyaan dan pernyataan bahwa ada karya-karya sastra dari sastrawan
Indonesia yang diduga dan dianggap sebagai hasil menjiplak karya-karya sastra
dari luar negeri dan dalam negeri, hal pertama yang mesti kita cermati apakah pertanyaan,
pernyataan dan kritik tersebut muncul karena hendak memberikan pencerahan dalam
dunia sastra. Pencerahan bahwa proses mencipta karya sastra itu juga
dipengaruhi oleh banyak hal.
Kedua, apakah pertanyaan, pernyataan dan
kritik itu muncul hanya semata-mata sebagai salah satu jalan politik sastra
untuk menjatuhkan kredibilitas sebuah karya sastra dan sastrawan yang
menciptakannya.
Ketiga, apakah pertanyaan, pernyataan dan
kritik itu lahir karena keinginan untuk menyampaikan penemuan atas kebenaran
bahwa ada karya-karya sastra di Indonesia yang dicipta dengan cara menjiplak, meniru
dan menyadur unsur dan teknik dalam penciptaan dari karya-karya sastra lain.
Keempat, apakah pertanyaan, pernyataan
dan kritik itu muncul karena adanya perseteruan dan perbedaan ideologi politik dari
kelompok dan pribadi kritikus dengan pribadi dan kelompok yang dikritik.
Dunia kesusastraan dan kesastraan, dunia
literer, dan dunia mendengar-menuturkan-membaca-menulis tidak dapat bebas dari
yang namanya mengurai, meringkas, menukil, menyadur, mengalihbahasakan,
mengalihaksarakan, mengubah posisi, menafsirkan, mengulangi, menanggapi dan
memperbaharui yang sudah ada.
Proses tersebut juga dapat ditemukan
dalam dunia penemuan dan penciptaan teknologi. Banyak pencipta kecanggihan
teknologi yang menemukan teknologi dengan belajar dengan mengamati alam. Alam
terkembang menjadi guru, begitu moto Universitas Negeri Padang di Air Tawar,
tempat dulu penulis pandai pandai belajar memindai dan membedakan antara nan
sejati dengan imitasi.
Di alam semesta ini sudah ada pelbagai
teknologi yang canggih dan super canggih, hanya saja belum semua ditemukan
manusia dan ada yang tidak akan pernah ditemukan oleh manusia.
Apakah adanya benang merah berupa
ungkapan "goreng
pisang"
dalam novel Kalau Tak Untung karya
Selasih (Sariamin Ismail) dan novel Di Bawah
Lindungan Ka’bah karya Hamka dapat dikemukakan sebagi fakta atau bukti
bahwa salah satu diantaranya pernah membaca salah satu novel tersebut sebelum
menulis novelnya sendiri, atau mungkin yang mengetik kedua novel ini sudah
terbiasa menggunakan frasa yang sering terdengar yaitu "goreng
pisang".
Padahal pisang goreng bukan goreng pisang.
Kemudian, apakah ciri khas penulisan
surat-surat cinta dalam novel Kalau Tak
Untung karya Selasih, novel Di Bawah
Lindungan Ka’bah karya Hamka adalah fakta atau bukti lain bahwa sudah
terjadi proses mempengaruhi dari sebuah karya sastra terhadap pembacanya. Apakah
keduanya pernah membaca novel-novel percintaan lain yang didalamnya juga ada
surat-surat cinta? Itu hanya dapat dibuktikan secara ilmiah melalui penelitian
sastra yang komprehensif.
Penulis tidak akan gegabah menyatakan
bahwa salah satu diantara mereka adalah plagiator. Dalam dunia sastra itu ada
yang namanya proses menanggapi dan menikmati. Ketika seorang sastrawan membaca
dan menikmati sebuah karya sastra, ada kecenderungan bahwa yang membaca akan
mendapat pengaruh dari bacaan yang dibacanya. Hal ini juga dapat terlihat dari
karya sastra yang ditulisnya setelah membaca suatu karya sastra.
Ciri khas penulisan surat-surat cinta
dalam novel Indonesia yang dapat dibaca, selain dari kedua novel roman
tersebut, ada juga dalam novel roman Siti
Nurbaya karya Marah Rusli, Sengsara
Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati, novel roman Salah Asuhan karya Abdoel Muis dan novel Ayat Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
Kalau memang novel roman Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka
telah ditetapkan oleh negara sebagai karya sastra adiluhung, begitu pula
hendaknya dengan Siti Nurbaya, Kalau Tak Untung, Sengsara Membawa Nikmat, Salah
Asuhan dan Ayat Ayat Cinta.
Apa saja kriteria dan indikator dalam
penetapan karya sastra adi luhung? Itu adalah tugas yang menetapkan untuk
menjelaskannya.
Proses pengaruh mempengaruhi dan nikmat
menikmati karya sastra tidak hanya penulis temukan dalam novel Indonesia.
Proses tersebut juga penulis temukan ada pada perpuisian Indonesia. Ada 9 puisi
Indonesia yang judulnya sama yaitu Do’a (Doa) dan ada 8 puisi Indonesia lainnya
yang judulnya sama-sama Solitude.
Puisi Do’a dan penyairnya:
1. Do’a
oleh Tengku Amir Hamzah
2. Do’a
karya Chairil Anwar
3. Doa
karya H.B. Jassin
4. Do’a
karya Taufiq Ismail
5. Do’a
karya Irman Syah
6. Doa
karya Windu Mandela
7. Doa
karya Moh. Ghufron Chalid
8. Doa
karya Medy Loekito
9. Doa
karya Jumari HS
Puisi Solitude dan penyairnya:
1. Solitude
karya Umbu Landu Paranggi
2. Solitude
karya Sapardi Djoko Damono
3. Solitude
karya Sutardji Calzoum Bachri
4. Solitude
karya Acep Zamzam Noor
5. Solitude karya
Wan Anwar
6. Solitude
karya Muhammad Ibrahim Ilyas
7. Solitude
karya Medy Loekito
8. Solitude
karya Ogik Pramono
Apakah masing-masing penulis puisi
tersebut sebelum menulis puisinya pernah membaca puisi dengan judul yang sama
pula dan mungkin dengan sadar atau tanpa sadar menulis puisi dengan judul yang
sama, atau bahkan ada diksi-diksi yang sama? Itu adalah hak masing-masing penulisnya
karena semua orang bebas menulis dan mencipta dalam dunia sastra selama
bertanggung jawab. Tanggung jawab itu mungkin dapat dinyatakan ketika ada orang
yang bertanya siapa saja dan apa saja yang mempengaruhinya dalam menulis karya
sastra.
Cobalah tanya dengan musisi-musisi dan
penyanyi-penyanyi terkenal yang memang layak disebut artis atau seniman itu
tentang siapa dan apa saja musik yang mempengaruhi mereka dalam penciptaan
musik dan lagu. Pada umumnya mereka dengan jujur menjawab perihal sumber-sumber
yang mempengaruhi mereka dalam menciptakan musik dan lagu.
Sebaiknya, sekiranya sastrawan-sastrawan
yang dinyatakan bahwa karya-karya sebagai hasil plagiasi dari karya-karya
sastra lain, kalau mereka masih hidup, memberikan pernyataan bahwa tentang
sumber inspirasi dalam menuliskan karya sastranya yang dikatakan hasil plagiasi
itu. Akan lebih baik lagi kalau pihak yang menyatakan sastrawan Indonesia menjiplak
atau menyadur karya sastra lain dipertemukan dengan sastrawannya atau pihak
yang mewakilinya dalam suatu diskusi sastra. Biasanya hanya sastrawan pula yang
berani menyatakan ada sastrawan menjiplak karya-karya sastra orang lain.
Sastrawan Indonesia yang pernah diduga
dan dinyatakan menjiplak dan menyadur karya-karya sastra lain, mesti berani pula
untuk menidakkan atau mengiyakan apa yang telah ditanyakan dan dinyatakan.
Setidaknya menjawab apa yang ditanyakan. Kalau sekiranya mereka sudah tiada,
hal tersebut menjadi tugas pakar-pakar sastra untuk menyelesaikannya agar nan
Raja tetap dirajakan, nan Sultan tetap disultankan dan yang ingin makar diberi
tambahan sumber-sumber penghasilan untuk kesejahteraan bukan malah dikasih
bonbon.
Munculnya kritik-kritik sastra, khususnya
yang menengahkan tentang penjiplakan dan peniruan dalam menciptakan karya
sastra, adalah bukti karya-karya sastra tersebut memang sangat mendapat
perhatian dari banyak orang.
Adanya kemiripan atau bahkan kesamaan
dalam unsur utama penciptaan novel seperti alur cerita, penokohan, konflik,
waktu dan tempat, dan tema di antara sebuah novel dengan novel yang lainnya,
termasuk juga didalamnya kemiripan atau kesamaan dalam penggunaan teknik
seperti pemilihan sudut pandang, gaya bahasa, simbolisme, citraan-citraan, dan
penggunaan bahasa, tidak dapat dinayatakan sebagai kriteria dan indikator untuk
menyatakan bahwa salah satu dari novel-novel yang mirip atau mungkin sama unsur
dan tekniknya adalah karya sastra hasil penjiplakan dan pengarangnya dinyatakan
oleh kritikus sastra sebagai plagiator atau seseorang yang telah mengambil
tanpa izin dan menjiplak karangan milik orang lain.
Kriteria utama dan indikator-indikator
untuk menilai dan menyatakan sebuah karya sastra dan seorang sastrawan telah
menjiplak karya sastra milik orang lain juga harus diuji validitasnya, baik
secara epistemologis, ontologis dan kritikologis sastra.
Sebelum menyatakan ada sastrawan Indonesia sebagai plagiator, sebaiknya
pelajarilah dahulu tentang terminologi dan etimologi plagiat, plagiarisme,
jiplak, tiru, sadur, mimesis, intertekstualisme dan epigonisme.
Kalau kesalahan dicari-cari, semuanya mesti punya kesalahan. Itu kecek
seorang Jenderal dan kecek seorang kawan nan berkacamata. Manusia biasa tidak
ada yang sempurna. Malaikat saja konon katanya bisa jatuh dan melakukan
kesalahan, apalagi manusia. Sekiranya karya-karya sastra mesti selalu diciptakan
dengan mengikuti tata dan konvensi yang sudah pakem, mereka tak ubahnya bagai
gerbong-gerbong kereta api yang harus berjalan di atas relnya dan tidak boleh
melenceng sedikitpun.
Cerita punya cerita, penulis juga pernah menulis sekitar tujuh surat
cinta. Apakah kelak akan penulis tuliskan pula ketujuh surat cinta itu dalam
sebuah novel? Rasa-rasanya penulis tidak akan pernah menuliskannya kembali
dalam novel karena surat-surat cinta penulis adalah karya sastra yang sangat
pribadi dan hanya ditujukan kepada pribadi-pribadi yang mungkin pernah dicintai
oleh penulis. Kalau begitu, bisa pula nanti penulis dinyatakan sebagai
plagiator karena meniru ciri khas penulisan novel yang ada surat-surat
cintanya.
Saran penulis, khususnya kepada siapa saja yang sedang risau, galau dan
mengigau-igau karena mabuk cinta, kalau cintamu tidak kesampaian kepada
seseorang, cari dan pilihlah cinta nan baru. Di muka bumi masih ada 7 miliar
manusia. Kalau sudah ketemu dengan dan bertaut dengan cintamu itu, jaga dan
rawatlah cintamu. Jangan condong ke barat dan condong ke timur. Jangan
selingkuh. Di depan berjabat tangan, di belakang tangan terkepal. Sudah banyak
perang terjadi di muka bumi hanya karena sengketa cinta.
Pengkajian adanya benang merah dalam karya-karya
sastra seperti Siti Nurbaya, Kalau Tak Untung, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Sengsara
Nikmat, Salah Asuhan dan Ayat Ayat Cinta akan bermuara pada
terapungnya pelbagai hipotesis dan penemuan-penemuan nan menarik, khususnya
untuk mahasiswa-mahasiswi S2 dan S3 jurusan Sastra. Benang merah nan menarik
juga ada pada puisi-puisi berjudul Do’a
dan Solitude.
Kalaulah penulis seorang profesor sastra, penulis akan menganjurkan
mahasiswa-mahasiswi jurusan Sastra untuk menjadikan enam novel percintaan,
sembilan puisi berjudul Do’a,
sembilan delapan berjudul Solitude dan
beberapa kritik sastra tentang sastrawan Indonesia yang menjiplak karya sastra
milik orang lain itu sebagai bahan utama kajian untuk membuat tesis dan
disertasi.
Kecek Pak Profesor yang pernah marah kepada penulis karena penulis
sering telat mengikuti perkuliahan, kalau mau meraih gelar Master, Doktor dan
Profesor itu sangat mudah. Syaratnya mesti rajin membaca (dan ada uang untuk
biaya kuliah dan riset), sedangkan Bu Doktor yang pernah memarahi penulis karena
penulis suka mempercepat liburan seminggu sebelum liburan semester tiba dan
menambah liburan seminggu sesudah awal semester dimulai, mengatakan bahwa
mahasiswa-mahasiswi itu mesti rajin membaca.
Sebaiknya, sebelum menyatakan bahwa ada sastrawan Indonesia menjiplak,
atau mungkin menyadur karya-karya sastra yang sudah ada sebelumnya, telitilah
dahulu apakah beliau-beliau tersebut sudah pernah membaca karya-karya sastra
yang dinyatakan sebagai karya-karya sastra yang dijiplaknya. Apa gunanya banyak
pendekatan dan teori kritik sastra kalau tidak dimanfaatkan sebagai landasan
untuk menyatakan sebuah karya sastra adalah sebagai hasil plagiasi dari karya
sastra lain.
Semoga kelak ada perumusan kurikulum mata
kuliah Politik Sastra (ilmu tentang politik sastra) dan Kritikologi (ilmu
tentang kritik, bukan kritik sastra/ilmu mengkritik karya sastra) di
jurusan-jurusan sastra. Kritikologi itu nantinya bermanfaat untuk mengkaji
apakah sebuah kritik adalah sebuah kritik atau hanya semata-mata pelecehan dan
makian. Sungguh sangat disayangkan kalau gara-gara pengamalan dari pengalaman
belajar menyampaikan kritik sastra malah berujung pada tuduhan pelecehan dan
pencemaran nama baik. Kalau ada sebuah kritik sastra, bahkan nan paling
sarkatis dan sinis sekalipun, ditafsirkan sebagai pelecehan dan pencemaran nama
baik, mungkin ada yang kurang pada kurikulum pembelajaran sastra di jurusan
sastra.
Kritik sastra, termasuk juga yang menyatakan bahwa ada sastrawan
Indonesia yang menjiplak karya sastra milik orang lain, bagaikan selarik cahaya
untuk menerangi kegelapan. Apalah artinya adanya cahaya lilin, cahaya obor,
cahaya lampu listrik dan cahaya kunang-kunang itu kalau tidak mampu menerangi
kegelapan ketika cahaya matahari tertutupi oleh kabut asap dan jubah-jubah
hitam kejahiliahan. Kendatipun kegelapan akan menyelimuti alam semesta, akan
selalu terbit cahaya suci dari jiwa dan hati untuk selalu menerangi sisi gelap
kehidupan manusia.
Kurikulum tentang Politik Sastra dan
Kritikologi bertujuan agar mahasiswa-mahasiswi juga mendapat pembekalan dan pengetahuan
bahwa politik dan kritik itu tidak semata-mata berkutat pada pemerintahan.
Politik dan kritik itu ada dimana-mana. Ada politik dan kritik kekuasaan, politik
dan kritik ekonomi, politik dan kritik budaya, politik dan kritik bahasa,
politik dan kritik teknologi, politik dan kritik pendidikan, serta politik dan
kritik sastra.
Begitulah kira-kira yang dapat
penulis tanyakan dan nyatakan setelah menikmati beberapa karya sastra dari
bangsa nan Bhinneka Tunggal Ika ini. Setiap pertanyaan akan melahirkan
pernyataan. Setiap pernyataan juga akan melahirkan pertanyaan.
Sastra itu adalah bahasa politik dan politik bahasa. Kritik adalah
bagian dari bahasa dan sastra. Kritik itu juga politik. Kalau kretek? Itu
tembakau yang digulung dan dibungkus.
Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda, Hari Bahasa Indonesia, Hari
Sastra Indonesia dan hari dimana kita mengenang jasa-jasa para pemuda nan gagah
dan gigih mempersatukan kita nan berbeda-beda ini.
Indahnya dunia sastra karena ada banyak tanya nan nyata meski ada nyata
seakan-akan murni khayalan dan murni khayalan seolah-olah nyata.
Alaika salam.
Damailah hendaknya wahai hati hati nan bergejolak bagai badai di Laut
Cina Selatan.
Ahlul Hukmi, 28 Oktober 2015
(Ketika
penulis mengetik tulisan ini dengan menggunakan “jendela”, si pencipta
“jendela” dan nan ahli mengakses “jendela” tentu saja dapat membaca dan
mengetahui apa saja yang telah penulis pernah tuliskan dari sejak pertama
penulis mengetik dengan menggunakan “jendela”. Mungkin itulah sebabnya mengapa
mesin tik sangat berharga.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar