28/10/15

Benang Merah Surat Cinta Novel Indonesia dan Kesamaan Judul Puisi Indonesia


      Tulisan ini bukan kritik sastra dan juga bukan untuk mengajar orang tua makan dadih. Ini hanya semata-mata untuk menyampaikan tanya nan nyata saja tentang adanya kesamaan ciri khas penulisan surat-surat cinta dalam beberapa novel percintaan terkenal yang dikarang oleh sastrawan Indonesia dan kesamaan judul beberapa puisi karya penyair Indonesia.
      Ketika kita pernah mendengar dan membaca adanya pertanyaan dan pernyataan bahwa ada karya-karya sastra dari sastrawan Indonesia yang diduga dan dianggap sebagai hasil menjiplak karya-karya sastra dari luar negeri dan dalam negeri, hal pertama yang mesti kita cermati apakah pertanyaan, pernyataan dan kritik tersebut muncul karena hendak memberikan pencerahan dalam dunia sastra. Pencerahan bahwa proses mencipta karya sastra itu juga dipengaruhi oleh banyak hal.

      Kedua, apakah pertanyaan, pernyataan dan kritik itu muncul hanya semata-mata sebagai salah satu jalan politik sastra untuk menjatuhkan kredibilitas sebuah karya sastra dan sastrawan yang menciptakannya.
       Ketiga, apakah pertanyaan, pernyataan dan kritik itu lahir karena keinginan untuk menyampaikan penemuan atas kebenaran bahwa ada karya-karya sastra di Indonesia yang dicipta dengan cara menjiplak, meniru dan menyadur unsur dan teknik dalam penciptaan dari karya-karya sastra lain.
      Keempat, apakah pertanyaan, pernyataan dan kritik itu muncul karena adanya perseteruan dan perbedaan ideologi politik dari kelompok dan pribadi kritikus dengan pribadi dan kelompok yang dikritik.
      Dunia kesusastraan dan kesastraan, dunia literer, dan dunia mendengar-menuturkan-membaca-menulis tidak dapat bebas dari yang namanya mengurai, meringkas, menukil, menyadur, mengalihbahasakan, mengalihaksarakan, mengubah posisi, menafsirkan, mengulangi, menanggapi dan memperbaharui yang sudah ada.
      Proses tersebut juga dapat ditemukan dalam dunia penemuan dan penciptaan teknologi. Banyak pencipta kecanggihan teknologi yang menemukan teknologi dengan belajar dengan mengamati alam. Alam terkembang menjadi guru, begitu moto Universitas Negeri Padang di Air Tawar, tempat dulu penulis pandai pandai belajar memindai dan membedakan antara nan sejati dengan imitasi.       
      Di alam semesta ini sudah ada pelbagai teknologi yang canggih dan super canggih, hanya saja belum semua ditemukan manusia dan ada yang tidak akan pernah ditemukan oleh manusia.
      Apakah adanya benang merah berupa ungkapan "goreng pisang" dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih (Sariamin Ismail) dan novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka dapat dikemukakan sebagi fakta atau bukti bahwa salah satu diantaranya pernah membaca salah satu novel tersebut sebelum menulis novelnya sendiri, atau mungkin yang mengetik kedua novel ini sudah terbiasa menggunakan frasa yang sering terdengar yaitu "goreng pisang". Padahal pisang goreng bukan goreng pisang.
       Kemudian, apakah ciri khas penulisan surat-surat cinta dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih, novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka adalah fakta atau bukti lain bahwa sudah terjadi proses mempengaruhi dari sebuah karya sastra terhadap pembacanya. Apakah keduanya pernah membaca novel-novel percintaan lain yang didalamnya juga ada surat-surat cinta? Itu hanya dapat dibuktikan secara ilmiah melalui penelitian sastra yang komprehensif.
      Penulis tidak akan gegabah menyatakan bahwa salah satu diantara mereka adalah plagiator. Dalam dunia sastra itu ada yang namanya proses menanggapi dan menikmati. Ketika seorang sastrawan membaca dan menikmati sebuah karya sastra, ada kecenderungan bahwa yang membaca akan mendapat pengaruh dari bacaan yang dibacanya. Hal ini juga dapat terlihat dari karya sastra yang ditulisnya setelah membaca suatu karya sastra.
      Ciri khas penulisan surat-surat cinta dalam novel Indonesia yang dapat dibaca, selain dari kedua novel roman tersebut, ada juga dalam novel roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati, novel roman Salah Asuhan karya Abdoel Muis dan novel Ayat Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
      Kalau memang novel roman Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka telah ditetapkan oleh negara sebagai karya sastra adiluhung, begitu pula hendaknya dengan Siti Nurbaya, Kalau Tak Untung, Sengsara Membawa Nikmat, Salah Asuhan dan Ayat Ayat Cinta.
      Apa saja kriteria dan indikator dalam penetapan karya sastra adi luhung? Itu adalah tugas yang menetapkan untuk menjelaskannya.
      Proses pengaruh mempengaruhi dan nikmat menikmati karya sastra tidak hanya penulis temukan dalam novel Indonesia. Proses tersebut juga penulis temukan ada pada perpuisian Indonesia. Ada 9 puisi Indonesia yang judulnya sama yaitu Do’a (Doa) dan ada 8 puisi Indonesia lainnya yang judulnya sama-sama Solitude

Puisi Do’a dan penyairnya:
1.    Do’a oleh Tengku Amir Hamzah
2.    Do’a karya Chairil Anwar
3.    Doa karya H.B. Jassin
4.    Do’a karya Taufiq Ismail
5.    Do’a karya Irman Syah
6.    Doa karya Windu Mandela
7.    Doa karya Moh. Ghufron Chalid
8.    Doa karya Medy Loekito
9.    Doa karya Jumari HS

     Puisi Solitude dan penyairnya:
1. Solitude karya Umbu Landu Paranggi
2. Solitude karya Sapardi Djoko Damono
3. Solitude karya Sutardji Calzoum Bachri
4. Solitude karya Acep Zamzam Noor
5. Solitude karya Wan Anwar
6. Solitude karya Muhammad Ibrahim Ilyas
7. Solitude karya Medy Loekito
8. Solitude karya Ogik Pramono

      Apakah masing-masing penulis puisi tersebut sebelum menulis puisinya pernah membaca puisi dengan judul yang sama pula dan mungkin dengan sadar atau tanpa sadar menulis puisi dengan judul yang sama, atau bahkan ada diksi-diksi yang sama? Itu adalah hak masing-masing penulisnya karena semua orang bebas menulis dan mencipta dalam dunia sastra selama bertanggung jawab. Tanggung jawab itu mungkin dapat dinyatakan ketika ada orang yang bertanya siapa saja dan apa saja yang mempengaruhinya dalam menulis karya sastra.
      Cobalah tanya dengan musisi-musisi dan penyanyi-penyanyi terkenal yang memang layak disebut artis atau seniman itu tentang siapa dan apa saja musik yang mempengaruhi mereka dalam penciptaan musik dan lagu. Pada umumnya mereka dengan jujur menjawab perihal sumber-sumber yang mempengaruhi mereka dalam menciptakan musik dan lagu.
      Sebaiknya, sekiranya sastrawan-sastrawan yang dinyatakan bahwa karya-karya sebagai hasil plagiasi dari karya-karya sastra lain, kalau mereka masih hidup, memberikan pernyataan bahwa tentang sumber inspirasi dalam menuliskan karya sastranya yang dikatakan hasil plagiasi itu. Akan lebih baik lagi kalau pihak yang menyatakan sastrawan Indonesia menjiplak atau menyadur karya sastra lain dipertemukan dengan sastrawannya atau pihak yang mewakilinya dalam suatu diskusi sastra. Biasanya hanya sastrawan pula yang berani menyatakan ada sastrawan menjiplak karya-karya sastra orang lain.
      Sastrawan Indonesia yang pernah diduga dan dinyatakan menjiplak dan menyadur karya-karya sastra lain, mesti berani pula untuk menidakkan atau mengiyakan apa yang telah ditanyakan dan dinyatakan. Setidaknya menjawab apa yang ditanyakan. Kalau sekiranya mereka sudah tiada, hal tersebut menjadi tugas pakar-pakar sastra untuk menyelesaikannya agar nan Raja tetap dirajakan, nan Sultan tetap disultankan dan yang ingin makar diberi tambahan sumber-sumber penghasilan untuk kesejahteraan bukan malah dikasih bonbon.
      Munculnya kritik-kritik sastra, khususnya yang menengahkan tentang penjiplakan dan peniruan dalam menciptakan karya sastra, adalah bukti karya-karya sastra tersebut memang sangat mendapat perhatian dari banyak orang.
      Adanya kemiripan atau bahkan kesamaan dalam unsur utama penciptaan novel seperti alur cerita, penokohan, konflik, waktu dan tempat, dan tema di antara sebuah novel dengan novel yang lainnya, termasuk juga didalamnya kemiripan atau kesamaan dalam penggunaan teknik seperti pemilihan sudut pandang, gaya bahasa, simbolisme, citraan-citraan, dan penggunaan bahasa, tidak dapat dinayatakan sebagai kriteria dan indikator untuk menyatakan bahwa salah satu dari novel-novel yang mirip atau mungkin sama unsur dan tekniknya adalah karya sastra hasil penjiplakan dan pengarangnya dinyatakan oleh kritikus sastra sebagai plagiator atau seseorang yang telah mengambil tanpa izin dan menjiplak karangan milik orang lain.
      Kriteria utama dan indikator-indikator untuk menilai dan menyatakan sebuah karya sastra dan seorang sastrawan telah menjiplak karya sastra milik orang lain juga harus diuji validitasnya, baik secara epistemologis, ontologis dan kritikologis sastra.
     Sebelum menyatakan ada sastrawan Indonesia sebagai plagiator, sebaiknya pelajarilah dahulu tentang terminologi dan etimologi plagiat, plagiarisme, jiplak, tiru, sadur, mimesis, intertekstualisme dan epigonisme.
     Kalau kesalahan dicari-cari, semuanya mesti punya kesalahan. Itu kecek seorang Jenderal dan kecek seorang kawan nan berkacamata. Manusia biasa tidak ada yang sempurna. Malaikat saja konon katanya bisa jatuh dan melakukan kesalahan, apalagi manusia. Sekiranya karya-karya sastra mesti selalu diciptakan dengan mengikuti tata dan konvensi yang sudah pakem, mereka tak ubahnya bagai gerbong-gerbong kereta api yang harus berjalan di atas relnya dan tidak boleh melenceng sedikitpun.
     Cerita punya cerita, penulis juga pernah menulis sekitar tujuh surat cinta. Apakah kelak akan penulis tuliskan pula ketujuh surat cinta itu dalam sebuah novel? Rasa-rasanya penulis tidak akan pernah menuliskannya kembali dalam novel karena surat-surat cinta penulis adalah karya sastra yang sangat pribadi dan hanya ditujukan kepada pribadi-pribadi yang mungkin pernah dicintai oleh penulis. Kalau begitu, bisa pula nanti penulis dinyatakan sebagai plagiator karena meniru ciri khas penulisan novel yang ada surat-surat cintanya.
     Saran penulis, khususnya kepada siapa saja yang sedang risau, galau dan mengigau-igau karena mabuk cinta, kalau cintamu tidak kesampaian kepada seseorang, cari dan pilihlah cinta nan baru. Di muka bumi masih ada 7 miliar manusia. Kalau sudah ketemu dengan dan bertaut dengan cintamu itu, jaga dan rawatlah cintamu. Jangan condong ke barat dan condong ke timur. Jangan selingkuh. Di depan berjabat tangan, di belakang tangan terkepal. Sudah banyak perang terjadi di muka bumi hanya karena sengketa cinta.
      Pengkajian adanya benang merah dalam karya-karya sastra seperti Siti Nurbaya, Kalau Tak Untung, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Sengsara Nikmat, Salah Asuhan dan Ayat Ayat Cinta akan bermuara pada terapungnya pelbagai hipotesis dan penemuan-penemuan nan menarik, khususnya untuk mahasiswa-mahasiswi S2 dan S3 jurusan Sastra. Benang merah nan menarik juga ada pada puisi-puisi berjudul Do’a dan Solitude.
     Kalaulah penulis seorang profesor sastra, penulis akan menganjurkan mahasiswa-mahasiswi jurusan Sastra untuk menjadikan enam novel percintaan, sembilan puisi berjudul Do’a, sembilan delapan berjudul Solitude dan beberapa kritik sastra tentang sastrawan Indonesia yang menjiplak karya sastra milik orang lain itu sebagai bahan utama kajian untuk membuat tesis dan disertasi.
     Kecek Pak Profesor yang pernah marah kepada penulis karena penulis sering telat mengikuti perkuliahan, kalau mau meraih gelar Master, Doktor dan Profesor itu sangat mudah. Syaratnya mesti rajin membaca (dan ada uang untuk biaya kuliah dan riset), sedangkan Bu Doktor yang pernah memarahi penulis karena penulis suka mempercepat liburan seminggu sebelum liburan semester tiba dan menambah liburan seminggu sesudah awal semester dimulai, mengatakan bahwa mahasiswa-mahasiswi itu mesti rajin membaca.
     Sebaiknya, sebelum menyatakan bahwa ada sastrawan Indonesia menjiplak, atau mungkin menyadur karya-karya sastra yang sudah ada sebelumnya, telitilah dahulu apakah beliau-beliau tersebut sudah pernah membaca karya-karya sastra yang dinyatakan sebagai karya-karya sastra yang dijiplaknya. Apa gunanya banyak pendekatan dan teori kritik sastra kalau tidak dimanfaatkan sebagai landasan untuk menyatakan sebuah karya sastra adalah sebagai hasil plagiasi dari karya sastra lain.
      Semoga kelak ada perumusan kurikulum mata kuliah Politik Sastra (ilmu tentang politik sastra) dan Kritikologi (ilmu tentang kritik, bukan kritik sastra/ilmu mengkritik karya sastra) di jurusan-jurusan sastra. Kritikologi itu nantinya bermanfaat untuk mengkaji apakah sebuah kritik adalah sebuah kritik atau hanya semata-mata pelecehan dan makian. Sungguh sangat disayangkan kalau gara-gara pengamalan dari pengalaman belajar menyampaikan kritik sastra malah berujung pada tuduhan pelecehan dan pencemaran nama baik. Kalau ada sebuah kritik sastra, bahkan nan paling sarkatis dan sinis sekalipun, ditafsirkan sebagai pelecehan dan pencemaran nama baik, mungkin ada yang kurang pada kurikulum pembelajaran sastra di jurusan sastra.
     Kritik sastra, termasuk juga yang menyatakan bahwa ada sastrawan Indonesia yang menjiplak karya sastra milik orang lain, bagaikan selarik cahaya untuk menerangi kegelapan. Apalah artinya adanya cahaya lilin, cahaya obor, cahaya lampu listrik dan cahaya kunang-kunang itu kalau tidak mampu menerangi kegelapan ketika cahaya matahari tertutupi oleh kabut asap dan jubah-jubah hitam kejahiliahan. Kendatipun kegelapan akan menyelimuti alam semesta, akan selalu terbit cahaya suci dari jiwa dan hati untuk selalu menerangi sisi gelap kehidupan manusia.
      Kurikulum tentang Politik Sastra dan Kritikologi bertujuan agar mahasiswa-mahasiswi juga mendapat pembekalan dan pengetahuan bahwa politik dan kritik itu tidak semata-mata berkutat pada pemerintahan. Politik dan kritik itu ada dimana-mana. Ada politik dan kritik kekuasaan, politik dan kritik ekonomi, politik dan kritik budaya, politik dan kritik bahasa, politik dan kritik teknologi, politik dan kritik pendidikan, serta politik dan kritik sastra.
      Begitulah kira-kira yang dapat penulis tanyakan dan nyatakan setelah menikmati beberapa karya sastra dari bangsa nan Bhinneka Tunggal Ika ini. Setiap pertanyaan akan melahirkan pernyataan. Setiap pernyataan juga akan melahirkan pertanyaan.    
     Sastra itu adalah bahasa politik dan politik bahasa. Kritik adalah bagian dari bahasa dan sastra. Kritik itu juga politik. Kalau kretek? Itu tembakau yang digulung dan dibungkus.
     Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda, Hari Bahasa Indonesia, Hari Sastra Indonesia dan hari dimana kita mengenang jasa-jasa para pemuda nan gagah dan gigih mempersatukan kita nan berbeda-beda ini.
     Indahnya dunia sastra karena ada banyak tanya nan nyata meski ada nyata seakan-akan murni khayalan dan murni khayalan seolah-olah nyata.
     Alaika salam.
     Damailah hendaknya wahai hati hati nan bergejolak bagai badai di Laut Cina Selatan.

    Ahlul Hukmi, 28 Oktober 2015

(Ketika penulis mengetik tulisan ini dengan menggunakan “jendela”, si pencipta “jendela” dan nan ahli mengakses “jendela” tentu saja dapat membaca dan mengetahui apa saja yang telah penulis pernah tuliskan dari sejak pertama penulis mengetik dengan menggunakan “jendela”. Mungkin itulah sebabnya mengapa mesin tik sangat berharga.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar