Kalau dulu memang puisi-puisi, dan pada umumnya karya-karya sastra
lainnya dapat disensor secara halus dan terang-terangan melalui pengawasan dan
pemeriksaan di meja-meja redaksi surat kabar dan majalah, penyensoran itu juga
terjadi di penerbit-penerbit yang memiliki standar masing-masing dalam
menerbitkan karya sastra.
Sekarang ada banyak orang yang menulis
puisi, kemudian mempublikasikan sendiri puisi-puisinya di internet melalui
jejaring sosial Facebook, Twitter dan blog. Apa lantas puisi-puisi tersebut dapat dinyatakan dan dikecam
sebagai puisi-puisi “sampah” atau puisi-puisi “hina” yang tidak lolos dan tidak
sesuai kriteria redaksi surat kabar dan majalah cetak maupun digital?
Kalau memang sungguh ingin mengecam seperti itu, silakan kemukakan
alasan ilmiah dan perangkat pengukuran yang dapat menyatakan puisi-puisi
dipublikasikan melalui internet, khususnya di dinding facebook adalah “tidak
terpakai” dan “hina”. Lantas, bagaimana kiatnya agar penulis-penulis pemula
yang sedang belajar menulis puisi dapat mengubah “sampah-sampah” dan “kehinaan”
itu menjadi “emas” dan “kemuliaan”? Bukankah di negeri ini ada banyak pemulung
dan pendaur ulang sampah yang berhasil mengolah dan menjual sampah menjadi
“emas”.
Pernyataan bahwa puisi-puisi di Facebook adalah puisi-puisi “sampah”
tentu melahirkan pertanyaan dan pernyataan. Saya berasumsi pernyataan itu
memang sengaja dinyatakan agar lahir ketertarikan dari penulis-penulis pemula
untuk mengetahui sejauh mana wawasan ilmu sastra dan ilmu kritik sastra yang
mengeluarkan pernyataan. Salah satu caranya, mungkin, ya mungkin dengan membeli
buku kritik sastra yang sudah ditulis oleh yang memberikan pernyataan tersebut.
Kalau asumsi ini betul, pernyataan tersebut adalah semata-mata sebagai politik
pemasaran agar tulisannnya laku. Semoga saja asumsi ini hanya khayalan penulis
belaka dan semoga pernyataan tersebut adalah sebuah cambuk untuk membuat
penulis-penulis pemula makin terlecut dan makin giat belajar menulis
puisi-puisi “emas” dan “mulia”.
Ada suatu hal yang juga sangat menarik perhatian penulis bahwa pada
suatu ketika penulis mendengar ada puisi-puisi yang dikirimkan oleh penulis
puisi atau seseorang yang sedang belajar menulis puisi ke sebuah surat kabar.
Setelah sekian lama, puisi-puisinya itu tidak diterbitkan, tiba-tiba si penulis puisi membaca puisinya yang diterbitkan
oleh surat kabar tersebut. Celakanya, puisi itu diterbitkan dengan nama penulis
yang berbeda. Ada pula surat kabar yang konon memuat puisi-puisi tanpa
mencantumkan siapa nama penulis puisinya, seolah-olah penulis puisi itu tidak
diketahui identitasnya. Apa mungkin kabar ini benar? Silakan diperiksa bundelan
surat kabar masing-masing. Semoga saja kabar ini tidak benar karena menyebarkan
kabar tidak benar itu adalah dosa.
Ada lagi hal lain nan menarik perhatian penulis ketika mengetahui ada
banyak naskah karya sastra berupa puisi, cerita pendek dan mungkin novel, yang
mungkin jumlahnya belasan ribu yang bertumpuk-tumpuk, bahkan mungkin diabaikan
dan dibuang ke tong sampah sebelum sempat dibaca dan diterbitkan. Coba
diasumsikan saja kalau ada 12 kali lomba menulis setiap tahun, dan setiap lomba
menulis itu diikuti oleh 500 orang peserta, akan ada 6000 naskah. Mujurlah
kalau ada 4% naskah yang memenuhi kriteria lomba, berhasil masuk final dan
diterbitkan. Lantas, mau diapakan dan kemana perginya 5,760 naskah lagi? Hal
yang sama juga berlaku pada
naskah-naskah makalah dan karya tulis ilmiah lainnya yang dikirim untuk seminar
, ide-ide kreatif untuk penemuan teknologi dan rencana bisnis kreatif.
Sebagai seorang penulis pemula, ada terlintas kerisauan bahwa
jangan-jangan nanti dari naskah-naskah yang tidak diterbitkan itu akan menjadi
“sumber inspirasi” untuk melahirkan tulisan-tulisan lainnya. Kalau sekiranya diumpakan bahwa sebuah naskah
karya sastra adalah sebuah klaim paten atas suatu penemuan, tentu saja akan ada
banyak yang punya minat untuk “mengolah” atau mungkin “menyadur”, atau bahkan
“menjiplak” naskah-naskah karya sastra yang tidak diterbitkan tersebut, dan
kemudian menerbitkan atas nama penulis yang berbeda.
Jika memang hal seperti pernah terjadi, tetapi luput dari pengamat dan
kritikus sastra, akan sangat penting sekali
memberikan pengenalan pentingnya arti hak cipta khususnya untuk kalangan
penulis pemula seperti saya.
Dalam sebuah film tentang cinta dan dunia periklanan yang pernah
ditonton oleh penulis, ada sebuah hal yang sangat berharga dalam dunia
periklanan. Hal tersebut adalah ide. Ide kreatif untuk pembuatan iklan. Dikisahkan
dalam film itu ada persaingan dalam melahirkan ide-ide kreatif untuk membuat
iklan. Celakanya, ketika protagonis dalam film tersebut sudah berhasil
menetaskan ide kreatif, untuk kemudian dipresentasikan di hadapan pimpinan, tim
kreatif dan calon pemesan iklan, antagonis
yang mencuri ide kreatif protagonis malah lebih dahulu menyatakan bahwa ide
kreatif milik protagonis adalah pikirannya. Mujurnnya, belakangan pimpinan
perusahaan dan anggota tim kreatif lainnya mengetahui bahwa si antagonis
mencuri ide kreatif si protagonis.
Lalu bagaimana dengan nasib penulis-penulis pemula yang masih belajar
menulis, tiba-tiba mengetahui bahwa ada naskah-naskahnya yang mungkin disadur
oleh penulis-penulis lain? Sungguh sangat keterlaluan. Kalau memang ingin
mencari, menemukan, melahirkan dan membedakan antara nan sejati dan imitasi,
bebaskan mereka menulis dan jangan sekali-sekali menyebut tulisan mereka adalah
tulisan sampah tanpa disertai alasan ilmiah dan perangkat pengukuran dengan
kriteria, aspek, skala dan bobot nilai nan sahih.
Kecaman-kecaman terhadap puisi-puisi yang dipublikasikan di dinding
facebook, dan menyatakan puisi-puisi tersebut adalah “sampah” belum dapat
dinyatakan sebagai kritik sastra jika kritik tersebut tidak disertai alasan
ilmiah dan tidak menggunakan perangkat pengukuran kritik yang kesahihannya
telah diuji melalui perangkat pengukuran kriteria dan aspek kritik dalam
kritikologi.
Kritikologi? Macam mana mau mengerami telur dan menetas “kritikologi”
itu kalau telurnya saja belum ada. Ah, kritik sastra itu bukan sangak sastra.
Kritik pedas bukan keripik pedas.
Kata sangak dan kata penyangak itu tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Kosa kata ini, penulis peroleh, mungkin karena penulis berdomisili
di Dumai yang lebih dekat dengan Kuala Lumpur daripada Jakarta.
Apa itu kritikologi? Ayo kita baca tulisan berjudul KRITIKOLOGI dalam
bukunya Putu Wijaya.
Terima kasih.
Alaika salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar