27/11/15

Kritik(us) Sastra atau Penyangak Sastra

        Kalau dulu memang puisi-puisi, dan pada umumnya karya-karya sastra lainnya dapat disensor secara halus dan terang-terangan melalui pengawasan dan pemeriksaan di meja-meja redaksi surat kabar dan majalah, penyensoran itu juga terjadi di penerbit-penerbit yang memiliki standar masing-masing dalam menerbitkan karya sastra.
      Sekarang ada banyak orang yang menulis puisi, kemudian mempublikasikan sendiri puisi-puisinya di internet melalui jejaring sosial Facebook, Twitter dan blog. Apa lantas puisi-puisi tersebut dapat dinyatakan dan dikecam sebagai puisi-puisi “sampah” atau puisi-puisi “hina” yang tidak lolos dan tidak sesuai kriteria redaksi surat kabar dan majalah cetak maupun digital?
      Kalau memang sungguh ingin mengecam seperti itu, silakan kemukakan alasan ilmiah dan perangkat pengukuran yang dapat menyatakan puisi-puisi dipublikasikan melalui internet, khususnya di dinding facebook adalah “tidak terpakai” dan “hina”. Lantas, bagaimana kiatnya agar penulis-penulis pemula yang sedang belajar menulis puisi dapat mengubah “sampah-sampah” dan “kehinaan” itu menjadi “emas” dan “kemuliaan”? Bukankah di negeri ini ada banyak pemulung dan pendaur ulang sampah yang berhasil mengolah dan menjual sampah menjadi “emas”.
    Pernyataan bahwa puisi-puisi di Facebook adalah puisi-puisi “sampah” tentu melahirkan pertanyaan dan pernyataan. Saya berasumsi pernyataan itu memang sengaja dinyatakan agar lahir ketertarikan dari penulis-penulis pemula untuk mengetahui sejauh mana wawasan ilmu sastra dan ilmu kritik sastra yang mengeluarkan pernyataan. Salah satu caranya, mungkin, ya mungkin dengan membeli buku kritik sastra yang sudah ditulis oleh yang memberikan pernyataan tersebut. Kalau asumsi ini betul, pernyataan tersebut adalah semata-mata sebagai politik pemasaran agar tulisannnya laku. Semoga saja asumsi ini hanya khayalan penulis belaka dan semoga pernyataan tersebut adalah sebuah cambuk untuk membuat penulis-penulis pemula makin terlecut dan makin giat belajar menulis puisi-puisi “emas” dan “mulia”.

      Ada suatu hal yang juga sangat menarik perhatian penulis bahwa pada suatu ketika penulis mendengar ada puisi-puisi yang dikirimkan oleh penulis puisi atau seseorang yang sedang belajar menulis puisi ke sebuah surat kabar. Setelah sekian lama, puisi-puisinya itu tidak diterbitkan, tiba-tiba     si penulis puisi membaca puisinya yang diterbitkan oleh surat kabar tersebut. Celakanya, puisi itu diterbitkan dengan nama penulis yang berbeda. Ada pula surat kabar yang konon memuat puisi-puisi tanpa mencantumkan siapa nama penulis puisinya, seolah-olah penulis puisi itu tidak diketahui identitasnya. Apa mungkin kabar ini benar? Silakan diperiksa bundelan surat kabar masing-masing. Semoga saja kabar ini tidak benar karena menyebarkan kabar tidak benar itu adalah dosa.
      Ada lagi hal lain nan menarik perhatian penulis ketika mengetahui ada banyak naskah karya sastra berupa puisi, cerita pendek dan mungkin novel, yang mungkin jumlahnya belasan ribu yang bertumpuk-tumpuk, bahkan mungkin diabaikan dan dibuang ke tong sampah sebelum sempat dibaca dan diterbitkan. Coba diasumsikan saja kalau ada 12 kali lomba menulis setiap tahun, dan setiap lomba menulis itu diikuti oleh 500 orang peserta, akan ada 6000 naskah. Mujurlah kalau ada 4% naskah yang memenuhi kriteria lomba, berhasil masuk final dan diterbitkan. Lantas, mau diapakan dan kemana perginya 5,760 naskah lagi? Hal yang  sama juga berlaku pada naskah-naskah makalah dan karya tulis ilmiah lainnya yang dikirim untuk seminar , ide-ide kreatif untuk penemuan teknologi dan rencana bisnis kreatif.
      Sebagai seorang penulis pemula, ada terlintas kerisauan bahwa jangan-jangan nanti dari naskah-naskah yang tidak diterbitkan itu akan menjadi “sumber inspirasi” untuk melahirkan tulisan-tulisan lainnya.  Kalau sekiranya diumpakan bahwa sebuah naskah karya sastra adalah sebuah klaim paten atas suatu penemuan, tentu saja akan ada banyak yang punya minat untuk “mengolah” atau mungkin “menyadur”, atau bahkan “menjiplak” naskah-naskah karya sastra yang tidak diterbitkan tersebut, dan kemudian menerbitkan atas nama penulis yang berbeda.
      Jika memang hal seperti pernah terjadi, tetapi luput dari pengamat dan kritikus sastra, akan sangat penting sekali  memberikan pengenalan pentingnya arti hak cipta khususnya untuk kalangan penulis pemula seperti saya.
      Dalam sebuah film tentang cinta dan dunia periklanan yang pernah ditonton oleh penulis, ada sebuah hal yang sangat berharga dalam dunia periklanan. Hal tersebut adalah ide. Ide kreatif untuk pembuatan iklan. Dikisahkan dalam film itu ada persaingan dalam melahirkan ide-ide kreatif untuk membuat iklan. Celakanya, ketika protagonis dalam film tersebut sudah berhasil menetaskan ide kreatif, untuk kemudian dipresentasikan di hadapan pimpinan, tim kreatif dan calon  pemesan iklan, antagonis yang mencuri ide kreatif protagonis malah lebih dahulu menyatakan bahwa ide kreatif milik protagonis adalah pikirannya. Mujurnnya, belakangan pimpinan perusahaan dan anggota tim kreatif lainnya mengetahui bahwa si antagonis mencuri ide kreatif si protagonis.
      Lalu bagaimana dengan nasib penulis-penulis pemula yang masih belajar menulis, tiba-tiba mengetahui bahwa ada naskah-naskahnya yang mungkin disadur oleh penulis-penulis lain? Sungguh sangat keterlaluan. Kalau memang ingin mencari, menemukan, melahirkan dan membedakan antara nan sejati dan imitasi, bebaskan mereka menulis dan jangan sekali-sekali menyebut tulisan mereka adalah tulisan sampah tanpa disertai alasan ilmiah dan perangkat pengukuran dengan kriteria, aspek, skala dan bobot nilai nan sahih.
      Kecaman-kecaman terhadap puisi-puisi yang dipublikasikan di dinding facebook, dan menyatakan puisi-puisi tersebut adalah “sampah” belum dapat dinyatakan sebagai kritik sastra jika kritik tersebut tidak disertai alasan ilmiah dan tidak menggunakan perangkat pengukuran kritik yang kesahihannya telah diuji melalui perangkat pengukuran kriteria dan aspek kritik dalam kritikologi.
      Kritikologi? Macam mana mau mengerami telur dan menetas “kritikologi” itu kalau telurnya saja belum ada. Ah, kritik sastra itu bukan sangak sastra. Kritik pedas bukan keripik pedas.
     Kata sangak dan kata penyangak itu tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kosa kata ini, penulis peroleh, mungkin karena penulis berdomisili di Dumai yang lebih dekat dengan Kuala Lumpur daripada Jakarta.
      Apa itu kritikologi? Ayo kita baca tulisan berjudul KRITIKOLOGI dalam bukunya Putu Wijaya.

Terima kasih.

Alaika salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar