Seorang kritik(us) sejati dan profesional tidak akan pernah menyatakan
kecaman-kecaman terhadap puisi-puisi dengan menyebutnya sebagai puisi gelap,
puisi sampah, puisi yang tidak dapat dimengerti dan diketahui tujuannya, puisi
gagal, puisi basi, puisi saduran, puisi jiplakan, puisi igau, puisi tidak laku,
dan puisi cengeng, tanpa memberikan contoh, melakukan penelahaan dan menggunakan
perangkat penilaian yang sahih dalam ilmu sastra.
Empat tahun nan lalu, saya pernah diajak dan diberi peluang untuk
membacakan beberapa puisi pada sebuah panggung kesenian tingkat lokal. Penikmat
kesenian yang hadir pada saat itu tidak hanya dari seniman, penyokong-penyokong
kesenian, pembuat kebijakan tentang kesenian, tetapi juga dari kalangan
masyarakat dan kalangan aktivis sosial, buruh, budaya dan politik pemerintahan.
Setelah saya membaca sebuah puisi dengan biasa-biasa saja dan mungkin
tanpa nada-nada yang indah, seorang aktivis, yang juga membacakan puisinya
setelah saya, menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan puisi yang saya bacakan.
Saya tanggapi dengan menyatakan bahwa puisi-puisi saya bukanlah sebatas pendapat,
tetapi juga ungkapan apa yang terlintas, terpikir dan terasa dalam hati dan
otak saya sesudah melahap pelbagai hal. Kalau tidak setuju dengan isi puisi
saya, silakan buat puisi-puisi yang dapat disetujui oleh pikiran sendiri.
Saya sangat memaklumi mengapa aktivis tersebut mengecam saya dengan
menyatakan ketidaksetujuan pada puisi saya. Hanya sayangnya dia tidak
memberikan hasil telaah dan alasan mengapa dia tidak menyetujuinya. Itu mungkin
karena dia memiliki wawasan yang terbatas tentang sastra. Setidaknya dia sudah
menanggapi dengan kapasitasnya sebagai pendengar yang mendengar puisi.
Lain halnya ketika saya mendapat beberapa kecaman secara langsung,
setelah membaca puisi, dari seniman yang juga budayawan di Dumai. Beliau
mengritiek (mengritik) secara langsung dengan memberikan alasan dan telaahnya.
Hal tersebut menandakan bahwa beliau memiliki wawasan satra yang dalam dan
luas.
Sastrawan Raja Ali Haji menyampaikan dalam Gurindam Duabelas pada Fasal 4 bait
ketiga yakni “mengumpat dan memuji hendaklah pikir/di situlah banyak orang yang
tergelincir” dan Fasal 11 bait keempat “hendak marah/dahulukan hujjah.” Mutiara
bahasa nan beradab itu hendaknya juga dapat diterapkan dalam mengritiek dan dikritik.
Apa yang patut dibuat agar kritik-kritik yang muncul sebagai hasil
menanggapi dan ditanggapi dalam kehidupan sosial dan ranah ilmu pengetahuan,
khususnya kesenian (termasuk dan terkhusus sekali pada sastra), menjadi kritik-kritik
berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan?
Apa ilmu psikologi, ilmu komunikasi, ilmu bahasa, ilmu matematika dan
ilmu-ilmu yang lainnya dapat mempelajari tentang kritik (yang sekarang makin
rancu dan disalahtafsirkan sama dengan caci maki, ujaran kebencian dan
protes-protes yang tidak bertanggung jawab)?
Segala kritik dapat dipelajari, ditelaah, diukur, dinilai, ditentukan
kualitasnya, ditetapkan jenis dan skalanya, hanya melalui kritikologi.
Telat
wawasan
Frasa tersebut juga sangat sesuai untuk menggambarkan diri saya sebelum
saya memberikan pendapat-pendapat tentang sangat pentingnya kritikologi yang
telurnya sudah muncul dari pemikiran Putu Wijaya. Mengapa? Karena saya sering
telat mengetahui bahwa apa-apa nan tiba-tiba terlintas dalam otak, ternyata
sudah dipikirkan oleh orang lain sebelum saya sempat berbuat.
Tulisan Putu Wijaya berjudul KRITIKOLOGI
dalam bukunya berjudul Mengenal Lebih
Dekat: Putu Wijaya Sang Teroris Mental dan Pertanggungjawaban Proses Kreatifnya
terbitan Yayasan Obor Indonesia, saya sangat rekomendasikan untuk dapat dibaca
oleh kritik(us)-kritik(us) seni (khususnya sastra), pengecam, pencela, pencaci,
pemberi komentar dan penikmat seni (khususnya sastra) sebelum memberikan
tanggapan terhadap karya seni yang dinikmati dengan cara mendengar, melihat, membaca,
merasa, meraba, mencium dan mengenyam.
Saya juga sangat menyarankan kepada mereka yang berniat belajar menulis
dan menyampaikan kritik-kritik seni (termasuk dan terkhusus sekali kritik-kritik
sastra) untuk membaca dan memahami tulisan Maman S. Mahayana yang berjudul Seolah-olah Kritik Sastra dan tulisan
Saut Situmorang yang berjudul Dicari
Kritik(us) Sastra Indonesia, tulisan M.H Abrams tentang pengertian Criticism (khususnya Literary Criticism) dalam daftar
istilah-istilah tentang kesusateraan yang berjudul A Glossary of Literary Terms.
Saya juga sangat telat wawasan karena ketika mencoba berpendapat tentang
perlunya dirumuskannya kritikologi sebagai ilmu tentang kritik, ternyata Putu
Wijaya sudah menelurkannya. Telur kritikologi itu belum menetas. Saya
menyimpulkan bahwa Putu Wijaya hendak menyampaikan bahwa kritikologi sangat
penting untuk dirumuskan agar kritik-kritik kesenian harus berdasarkan wawasan
sesuai bidang seni yang dikritik dan juga ditambah dengan bidang-bidang
keilmuan lain nan kaitannya dengan teknik kritik.
Apa fungsi dan faedah kritikologi untuk dunia keilmuan? Apa pula fungsi
dan guna kritikologi untuk dunia kesenian (termasuk didalamnya sastra)?
Saya berpendapat bahwa fungsi kritikologi adalah sebagai sebuah cabang
ilmu baru yang mempelajari tentang kritik dan kritik(us) berdasarkan kaidah
ilmiah dan menggunakan teknik-teknik yang bersangkut paut dengan bahan utama
yang dikritik, sedangkan faedah kritikologi adalah untuk mendidik dan
melahirkan insan-insan yang cerdas dalam menghasilkan kritik-kritik berkualitas
dan bermanfaat untuk ilmu pengetahuan secara berkesinambungan.
Faedah kritikologi lainnya adalah:
1) Mencerdaskan
manusia-manusia Indonesia yang punya kemampuan dalam menghasilkan kritik-kritik
yang berkualitas dan bermanfaat untuk ilmu pengetahuan secara berkesinambungan.
2) Mencegah
kerusakan, kehancuran dan kepunahan peradaban manusia akibat konflik yang
muncul dari kritik-kritik tidak bertanggung jawab.
3) Meningkatkan
rasa tanggung jawab manusia-manusia Indonesia sebagai manusia nan beradab dalam
berkebudayaan.
Apa pula alasannya hingga kritikologi sangat penting untuk dirumuskan
dan disepakati sebagai sebuah cabang keilmuan nan baru?
1) Banyak
bermunculan kecaman-kecaman, caci maki, ujaran kebencian dan protes-protes yang
tidak bertanggung jawab hingga dapat menjadi penyebab tersulutnya
konflik-konflik pada pelbagai sektor dan sendi kehidupan sosial
2) Banyaknya
tanggapan-tanggapan negatif dan antipatif atas terhadap karya-karya seni
(termasuk dan terkhusus sekali sastra)
3) Kerancuan
memahami bahasa, khususnya dalam mengetahui arti, membedakan dan mengenali istilah
kritik(us), kritik atau kritiek, dan esai atau esei.
Pada perumusan kritikologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang baru mesti
juga menjelaskan tentang kritik dan kritik berdasarkan etimologi, terminologi,
jenis-jenis kritik, skala kritik, perangkat pengukuran kualitas kritik,
perangkat pengukuran peringkat kritik.
Konsep kriteria yang dapat digunakan dalam konsep perangkat pengukuran
dan penilaian sebuah kritik berupa alasan, tujuan, manfaat, penggunaan kaidah
tata bahasa, pengunaan kaidah ilmiah, perangkat pengukuran untuk penilaian, penilaian
yang tidak ambigu (kelebihan & kekurangan, kekuatan & kelemahan,
kebenaran & kesalahan, keunikan & ketidakistimewaan), metode
penyampaian (tertulis atau lisan), media penyampaian, ruang lingkup
penyampaian, identitas kritik, identitas yang dikritik, dan dampak.
Bagaimana dengan perangkat pengukuran peringkat seorang kritik(us)?
Konsep peringkat yang dapat digunakan dalam perangkat tersebut adalah
menentukan peringkat seorang kritik(us) berada pada tingkat dasar, pemula,
menengah, tinggi, master, dan profesional berdasarkan kriteria, aspek,
deskriptor, dan bobot nilai.
Seorang kritik(us) (termasuk dan terkhusus sekali kritik(us) sastra),
meski punya latar belakang pendidikan formal pada perguruan tinggi bidang studi
sastra, akan dapat dinyatakan sebagai kritik(us) profesional setelah memenuhi
kriteria pada peringkat profesional. Mungkin kelak kemampuan dan wawasan
seseorang yang mumpuni dalam menciptakan kritik-kritik juga masuk dalam program
sertifikasi kritik(us) dan kerangka kualifikasi nasional Indonesia.
Bukankah kritik(us) sastra yang sejati dan independen sedang dicari-cari
dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat sastra Indonesia? Semoga saja dengan
adanya kritikologi dan segala perangkat pengukurannya, dapat mendorong
bermunculannya kritik(us) profesional. Harapannya dengan kritikologi dapat dibedakan
antara kritik(us) sejati dan imitasi.
Sebagaimana pendapat-pendapat Putu Wijaya, Maman S. Mahayana dan Saut
Situmorang dalam pelbagai tulisannya
terkait kritik seni dan kritik sastra, saya menyimpulkan bahwa seorang
kritik(us) seni (termasuk dan terkhusus kritik(us) sastra) yang dapat dipercaya
(kredibel dan reliabel) adalah orang yang memiliki wawasan luas dan dalam
tentang yang dikritiknya, menelaah sekaligus memberikan penilaian dan saran
berdasarkan kaidah ilmiah.
Apa setiap kritik(us) sastra yang dalam kritik-kritiknya banyak mencomot
dan menukil pendapat-pendapat tentang kesusasteraan dan teknik-teknik
menganalisis karya sastra dari orang lain, ditambah lagi kalau kritik(us)
sastra tersebut sering dimuat tulisannya dalam surat kabar dan majalah cetak
dan digital, plus sudah menerbitkan banyak buku berisikan kritik sastra, plus
dengan seringnya diundang dalam seminar-seminar, diskusi-diskusi dan
bengkel-bengkel sastra pada tingkat jaringan sastra ala Multi Level Marketing (pemasaran lebih dari satu tingkat(an)),
lokal, nasional, regional dan internasional, menjadi kriteria utama bahwa
kritik(us) sastra tersebut adalah seorang kritik(us) sastra yang kredibel dan
reliabel?
Kredibilitas dan realibilitas seorang kritik(us) sastra hanya dapat
diukur dan dinilai berdasarkan perangkat pengukuran kritikologi, itu setelah kritik-kritik
sastranya dinyatakan berkualitas, kurang berkualitas atau bahkan sama sekali
tidak berkualitas.
Seorang kritik(us) sastra atau yang menyatakan dan dinyatakan sebagai
kritik(us) sastra tidak usah risau atas laku atau tidaknya buku-buku kritik
sastra yang ditulis dan diterbitkannya. Mengecam puisi-puisi dari penulis
pemula dan orang-orang yang gemar menulis puisi, dengan menyatakan kecaman
puisi-puisi mereka sebagai puisi gelap, puisi yang tidak dapat dimengerti arti
dan diketahui tujuannya, sebagai suatu politik pemasaran dan membujuk secara
tidak langsung penulis-penulis pemula agar mereka tertarik membeli dan membaca
buku-buku kritik sastra yang ditulis oleh si pengecam adalah sebuah tindakan
neo-kapitalis.
Penulis-penulis karya sastra (termasuk dan terkhusus sekali kritik(us))
sastra mesti membuang kerisauan bahwa buku-buku sastra itu seperti ikan. Kalau
ikan, setelah ditangkap, dijual, diolah, dikalengkan, dan diasinkan, kemudian
dijual lagi. Tidak lakunya ikan segar dan ikan olahan hingga lewat batas waktu
layak dan sehat untuk dikonsumsinya, tentu akan sangat merugikan nelayan,
pedagang, dan pengolah ikan. Lain halnya dengan buku-buku sastra, selama ianya
masih tersedia, terawat dan terjaga setelah diterbitkan, atau masih berupa
naskah, kesemuanya sangat berharga.
Apa dulu naskah-naskah dan buku-buku kuno itu laku dalam pusaran
penerbitan dan pemasaran buku-buku? Mengapa dulu banyak penjajah ketika
menyerang dan menjajah tanah air milik bangsa-bangsa yang dianggapnya lemah,
juga sering menjarah khazanah sastra dari bangsa-bangsa yang dijajahnya? Kelak
lima abad lagi, buku-buku sastra yang belum, kurang dan tidak laku itu, akan
dicari-cari oleh penikmat sastra sejati.
Endorsement pada karya sastra bukan kritik
sastra
Banyaknya bermunculan endorsement
(pengesahan/pengabsahan/persetujuan atau dukungan/sokongan) pada karya-karya
sastra, daripada kritik sastra yang menelaah tentang kekurangan dan kelebihan,
kelemahan dan kekuatan, kesalahan dan kebenaran, keunikan dan ketidakistimewaan
yang ada dalam sebuah karya sastra, akan menambah tidak sehatnya budaya kritik
sastra.
Dukungan beserta pujian itu semata-mata untuk membujuk calon pembaca
(sekaligus calon pembeli) buku-buku sastra untuk membaca (dan membeli). Apa
pernah ada di sampul depan dan di sampul belakang sebuah buku tertulis kalimat
“Tulisan-tulisan dalam buku ini sangat
tidak berkualitas karena mencoba mengekor dan menjiplak keunikan isi dan gaya
bahasa dari penulis-penulis unik dan istimewa sebelumnya” atau kalimat “Tulisan-tulisan dalam buku ini memang
sengaja dibuat untuk mencuci dan menjebak otak pembacanya agar kehilangan daya
nalarnya hingga membenarkan nan salah dan menyalahkan nan benar”?
Kalau seorang kritik(us) sastra membuat sebuah kritik karya sastra
karena dibayar oleh yang menulis karya sastra tersebut, kritik(us) sastra akan
dan bisa menjadi tumpul mata pisau penelahaannya. Alih-alih mengemukakan
kekurangan, kelemahan, kesalahan dan ketidakistimewaan dari karya sastra
tersebut, si kritik(us) sastra tentu akan menyampaikan hasil telaahannya dengan
bahasa-bahasa yang menyenangkan hati dan mungkin sesuai dengan kemauan si
penulis karya sastra.
Dukungan dan pujian terhadap sebuah karya sastra biasanya datang dari
kalangan yang sama dengan si penulis karya sastra. Sama-sama satu komunitas,
sama-sama satu jaringan, sama-sama satu perguruan tinggi, sama-sama satu
ideologi, sama-sama satu lembaga dan sama-sama nan lainnya.
Aktualisasi
Konsep
Untuk mempraktikkan pendapat-pendapat saya tentang kritikologi,
khususnya dalam mengritiek kritik-kritik sastra yang ada, saya mesti
menggunakan perangkat pengukuran kritikologi yang sudah dikonsep oleh saya
sendiri (dan nanti mungkin ada pakar-pakar dari bidang keilmuan lainnya yang
tertarik membantu saya untuk menetaskan telur kritikologi).
Saya membutuhkan buku-buku kritik sastra berbahasa Inggris, Jerman, dan
Indonesia (buku yang berisikan hasil telaah dan penilaian karya sastra), dan juga
buku-buku yang memuat tentang teori-teori dan teknik-teknik telaah sastra
beserta. Sedikitnya dan idealnya mesti ada 100 judul buku kritik sastra, 100
judul buku teori dan teknik telaah sastra, 50 kamus bahasa dan sastra (berupa
kamus arti, kamus etimologi, dan kamus istilah) yang mesti dibaca dan ditelaah
agar dapat menetaskan telur kritikologi.
Sekiranya ada yang berminat dan tertarik menyokong saya untuk menetaskan
telur kritikologi yang sudah lebih dahulu dinyatakan oleh Putu Wijaya, silakan
kirimkan saya buku-buku yang berisikan kritik bahasa, kritik sastra, kritik
seni dan kritik budaya. Anggaplah tulisan saya ini sebagai sebuah proposal
langsung dari saya sebagai penulis pemula yang sedang semangat bersemangat
untuk belajar dan juga memotivasi pelbagai pihak untuk menciptakan sebuah
displin ilmu baru yang disebut oleh Putu Wijaya sebagai KRITIKOLOGI itu.
Saya bisa saja mengutip beberapa contoh kritik-kritik sastra dari
jejaring sosial dan blog di internet sebagai bahan utama untuk diukur kualitas kritiknya
dengan perangkat pengukuran kritikologi, tetapi akan makin lebih mantap kalau
ada buku-bukunya, entahlah itu buku cetak maupun buku digital.
Terima kasih.
Alaika salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar