27/11/15

Kritikologi


     Seorang kritik(us) sejati dan profesional tidak akan pernah menyatakan kecaman-kecaman terhadap puisi-puisi dengan menyebutnya sebagai puisi gelap, puisi sampah, puisi yang tidak dapat dimengerti dan diketahui tujuannya, puisi gagal, puisi basi, puisi saduran, puisi jiplakan, puisi igau, puisi tidak laku, dan puisi cengeng, tanpa memberikan contoh, melakukan penelahaan dan menggunakan perangkat penilaian yang sahih dalam ilmu sastra.

     Empat tahun nan lalu, saya pernah diajak dan diberi peluang untuk membacakan beberapa puisi pada sebuah panggung kesenian tingkat lokal. Penikmat kesenian yang hadir pada saat itu tidak hanya dari seniman, penyokong-penyokong kesenian, pembuat kebijakan tentang kesenian, tetapi juga dari kalangan masyarakat dan kalangan aktivis sosial, buruh, budaya dan politik pemerintahan.
     Setelah saya membaca sebuah puisi dengan biasa-biasa saja dan mungkin tanpa nada-nada yang indah, seorang aktivis, yang juga membacakan puisinya setelah saya, menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan puisi yang saya bacakan. Saya tanggapi dengan menyatakan bahwa puisi-puisi saya bukanlah sebatas pendapat, tetapi juga ungkapan apa yang terlintas, terpikir dan terasa dalam hati dan otak saya sesudah melahap pelbagai hal. Kalau tidak setuju dengan isi puisi saya, silakan buat puisi-puisi yang dapat disetujui oleh pikiran sendiri.
    Saya sangat memaklumi mengapa aktivis tersebut mengecam saya dengan menyatakan ketidaksetujuan pada puisi saya. Hanya sayangnya dia tidak memberikan hasil telaah dan alasan mengapa dia tidak menyetujuinya. Itu mungkin karena dia memiliki wawasan yang terbatas tentang sastra. Setidaknya dia sudah menanggapi dengan kapasitasnya sebagai pendengar yang mendengar puisi.
     Lain halnya ketika saya mendapat beberapa kecaman secara langsung, setelah membaca puisi, dari seniman yang juga budayawan di Dumai. Beliau mengritiek (mengritik) secara langsung dengan memberikan alasan dan telaahnya. Hal tersebut menandakan bahwa beliau memiliki wawasan satra yang dalam dan luas.
     Sastrawan Raja Ali Haji menyampaikan dalam Gurindam Duabelas pada Fasal 4 bait ketiga yakni “mengumpat dan memuji hendaklah pikir/di situlah banyak orang yang tergelincir” dan Fasal 11 bait keempat “hendak marah/dahulukan hujjah.” Mutiara bahasa nan beradab itu hendaknya juga dapat diterapkan dalam mengritiek dan dikritik.
     Apa yang patut dibuat agar kritik-kritik yang muncul sebagai hasil menanggapi dan ditanggapi dalam kehidupan sosial dan ranah ilmu pengetahuan, khususnya kesenian (termasuk dan terkhusus sekali pada sastra), menjadi kritik-kritik berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan?
     Apa ilmu psikologi, ilmu komunikasi, ilmu bahasa, ilmu matematika dan ilmu-ilmu yang lainnya dapat mempelajari tentang kritik (yang sekarang makin rancu dan disalahtafsirkan sama dengan caci maki, ujaran kebencian dan protes-protes yang tidak bertanggung jawab)?
    Segala kritik dapat dipelajari, ditelaah, diukur, dinilai, ditentukan kualitasnya, ditetapkan jenis dan skalanya, hanya melalui kritikologi.

Telat wawasan
      Frasa tersebut juga sangat sesuai untuk menggambarkan diri saya sebelum saya memberikan pendapat-pendapat tentang sangat pentingnya kritikologi yang telurnya sudah muncul dari pemikiran Putu Wijaya. Mengapa? Karena saya sering telat mengetahui bahwa apa-apa nan tiba-tiba terlintas dalam otak, ternyata sudah dipikirkan oleh orang lain sebelum saya sempat berbuat.
        Tulisan Putu Wijaya berjudul KRITIKOLOGI dalam bukunya berjudul Mengenal Lebih Dekat: Putu Wijaya Sang Teroris Mental dan Pertanggungjawaban Proses Kreatifnya terbitan Yayasan Obor Indonesia, saya sangat rekomendasikan untuk dapat dibaca oleh kritik(us)-kritik(us) seni (khususnya sastra), pengecam, pencela, pencaci, pemberi komentar dan penikmat seni (khususnya sastra) sebelum memberikan tanggapan terhadap karya seni yang dinikmati dengan cara mendengar, melihat, membaca, merasa, meraba, mencium dan mengenyam.
      Saya juga sangat menyarankan kepada mereka yang berniat belajar menulis dan menyampaikan kritik-kritik seni (termasuk dan terkhusus sekali kritik-kritik sastra) untuk membaca dan memahami tulisan Maman S. Mahayana yang berjudul Seolah-olah Kritik Sastra dan tulisan Saut Situmorang yang berjudul Dicari Kritik(us) Sastra Indonesia, tulisan M.H Abrams tentang pengertian Criticism (khususnya Literary Criticism) dalam daftar istilah-istilah tentang kesusateraan yang berjudul A Glossary of Literary Terms.
      Saya juga sangat telat wawasan karena ketika mencoba berpendapat tentang perlunya dirumuskannya kritikologi sebagai ilmu tentang kritik, ternyata Putu Wijaya sudah menelurkannya. Telur kritikologi itu belum menetas. Saya menyimpulkan bahwa Putu Wijaya hendak menyampaikan bahwa kritikologi sangat penting untuk dirumuskan agar kritik-kritik kesenian harus berdasarkan wawasan sesuai bidang seni yang dikritik dan juga ditambah dengan bidang-bidang keilmuan lain nan kaitannya dengan teknik kritik.
     Apa fungsi dan faedah kritikologi untuk dunia keilmuan? Apa pula fungsi dan guna kritikologi untuk dunia kesenian (termasuk didalamnya sastra)?
     Saya berpendapat bahwa fungsi kritikologi adalah sebagai sebuah cabang ilmu baru yang mempelajari tentang kritik dan kritik(us) berdasarkan kaidah ilmiah dan menggunakan teknik-teknik yang bersangkut paut dengan bahan utama yang dikritik, sedangkan faedah kritikologi adalah untuk mendidik dan melahirkan insan-insan yang cerdas dalam menghasilkan kritik-kritik berkualitas dan bermanfaat untuk ilmu pengetahuan secara berkesinambungan.
     Faedah kritikologi lainnya adalah:
1)    Mencerdaskan manusia-manusia Indonesia yang punya kemampuan dalam menghasilkan kritik-kritik yang berkualitas dan bermanfaat untuk ilmu pengetahuan secara berkesinambungan. 
2)    Mencegah kerusakan, kehancuran dan kepunahan peradaban manusia akibat konflik yang muncul dari kritik-kritik tidak bertanggung jawab. 
3) Meningkatkan rasa tanggung jawab manusia-manusia Indonesia sebagai manusia nan beradab dalam berkebudayaan.
     Apa pula alasannya hingga kritikologi sangat penting untuk dirumuskan dan disepakati sebagai sebuah cabang keilmuan nan baru?
1)    Banyak bermunculan kecaman-kecaman, caci maki, ujaran kebencian dan protes-protes yang tidak bertanggung jawab hingga dapat menjadi penyebab tersulutnya konflik-konflik pada pelbagai sektor dan sendi kehidupan sosial 
2)    Banyaknya tanggapan-tanggapan negatif dan antipatif atas terhadap karya-karya seni (termasuk dan terkhusus sekali sastra) 
3)    Kerancuan memahami bahasa, khususnya dalam mengetahui arti, membedakan dan mengenali istilah kritik(us), kritik atau kritiek, dan esai atau esei.
   Pada perumusan kritikologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang baru mesti juga menjelaskan tentang kritik dan kritik berdasarkan etimologi, terminologi, jenis-jenis kritik, skala kritik, perangkat pengukuran kualitas kritik, perangkat pengukuran peringkat kritik.
    Konsep kriteria yang dapat digunakan dalam konsep perangkat pengukuran dan penilaian sebuah kritik berupa alasan, tujuan, manfaat, penggunaan kaidah tata bahasa, pengunaan kaidah ilmiah, perangkat pengukuran untuk penilaian, penilaian yang tidak ambigu (kelebihan & kekurangan, kekuatan & kelemahan, kebenaran & kesalahan, keunikan & ketidakistimewaan), metode penyampaian (tertulis atau lisan), media penyampaian, ruang lingkup penyampaian, identitas kritik, identitas yang dikritik, dan dampak.
   Bagaimana dengan perangkat pengukuran peringkat seorang kritik(us)? Konsep peringkat yang dapat digunakan dalam perangkat tersebut adalah menentukan peringkat seorang kritik(us) berada pada tingkat dasar, pemula, menengah, tinggi, master, dan profesional berdasarkan kriteria, aspek, deskriptor, dan bobot nilai.
    Seorang kritik(us) (termasuk dan terkhusus sekali kritik(us) sastra), meski punya latar belakang pendidikan formal pada perguruan tinggi bidang studi sastra, akan dapat dinyatakan sebagai kritik(us) profesional setelah memenuhi kriteria pada peringkat profesional. Mungkin kelak kemampuan dan wawasan seseorang yang mumpuni dalam menciptakan kritik-kritik juga masuk dalam program sertifikasi kritik(us) dan kerangka kualifikasi nasional Indonesia.
     Bukankah kritik(us) sastra yang sejati dan independen sedang dicari-cari dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat sastra Indonesia? Semoga saja dengan adanya kritikologi dan segala perangkat pengukurannya, dapat mendorong bermunculannya kritik(us) profesional. Harapannya dengan kritikologi dapat dibedakan antara kritik(us) sejati dan imitasi.
   Sebagaimana pendapat-pendapat Putu Wijaya, Maman S. Mahayana dan Saut Situmorang dalam pelbagai  tulisannya terkait kritik seni dan kritik sastra, saya menyimpulkan bahwa seorang kritik(us) seni (termasuk dan terkhusus kritik(us) sastra) yang dapat dipercaya (kredibel dan reliabel) adalah orang yang memiliki wawasan luas dan dalam tentang yang dikritiknya, menelaah sekaligus memberikan penilaian dan saran berdasarkan kaidah ilmiah.
     Apa setiap kritik(us) sastra yang dalam kritik-kritiknya banyak mencomot dan menukil pendapat-pendapat tentang kesusasteraan dan teknik-teknik menganalisis karya sastra dari orang lain, ditambah lagi kalau kritik(us) sastra tersebut sering dimuat tulisannya dalam surat kabar dan majalah cetak dan digital, plus sudah menerbitkan banyak buku berisikan kritik sastra, plus dengan seringnya diundang dalam seminar-seminar, diskusi-diskusi dan bengkel-bengkel sastra pada tingkat jaringan sastra ala Multi Level Marketing (pemasaran lebih dari satu tingkat(an)), lokal, nasional, regional dan internasional, menjadi kriteria utama bahwa kritik(us) sastra tersebut adalah seorang kritik(us) sastra yang kredibel dan reliabel?
     Kredibilitas dan realibilitas seorang kritik(us) sastra hanya dapat diukur dan dinilai berdasarkan perangkat pengukuran kritikologi, itu setelah kritik-kritik sastranya dinyatakan berkualitas, kurang berkualitas atau bahkan sama sekali tidak berkualitas.
      Seorang kritik(us) sastra atau yang menyatakan dan dinyatakan sebagai kritik(us) sastra tidak usah risau atas laku atau tidaknya buku-buku kritik sastra yang ditulis dan diterbitkannya. Mengecam puisi-puisi dari penulis pemula dan orang-orang yang gemar menulis puisi, dengan menyatakan kecaman puisi-puisi mereka sebagai puisi gelap, puisi yang tidak dapat dimengerti arti dan diketahui tujuannya, sebagai suatu politik pemasaran dan membujuk secara tidak langsung penulis-penulis pemula agar mereka tertarik membeli dan membaca buku-buku kritik sastra yang ditulis oleh si pengecam adalah sebuah tindakan neo-kapitalis.
    Penulis-penulis karya sastra (termasuk dan terkhusus sekali kritik(us)) sastra mesti membuang kerisauan bahwa buku-buku sastra itu seperti ikan. Kalau ikan, setelah ditangkap, dijual, diolah, dikalengkan, dan diasinkan, kemudian dijual lagi. Tidak lakunya ikan segar dan ikan olahan hingga lewat batas waktu layak dan sehat untuk dikonsumsinya, tentu akan sangat merugikan nelayan, pedagang, dan pengolah ikan. Lain halnya dengan buku-buku sastra, selama ianya masih tersedia, terawat dan terjaga setelah diterbitkan, atau masih berupa naskah, kesemuanya sangat berharga.
    Apa dulu naskah-naskah dan buku-buku kuno itu laku dalam pusaran penerbitan dan pemasaran buku-buku? Mengapa dulu banyak penjajah ketika menyerang dan menjajah tanah air milik bangsa-bangsa yang dianggapnya lemah, juga sering menjarah khazanah sastra dari bangsa-bangsa yang dijajahnya? Kelak lima abad lagi, buku-buku sastra yang belum, kurang dan tidak laku itu, akan dicari-cari oleh penikmat sastra sejati.

Endorsement pada karya sastra bukan kritik sastra
 Banyaknya bermunculan endorsement (pengesahan/pengabsahan/persetujuan atau dukungan/sokongan) pada karya-karya sastra, daripada kritik sastra yang menelaah tentang kekurangan dan kelebihan, kelemahan dan kekuatan, kesalahan dan kebenaran, keunikan dan ketidakistimewaan yang ada dalam sebuah karya sastra, akan menambah tidak sehatnya budaya kritik sastra.
      Dukungan beserta pujian itu semata-mata untuk membujuk calon pembaca (sekaligus calon pembeli) buku-buku sastra untuk membaca (dan membeli). Apa pernah ada di sampul depan dan di sampul belakang sebuah buku tertulis kalimat “Tulisan-tulisan dalam buku ini sangat tidak berkualitas karena mencoba mengekor dan menjiplak keunikan isi dan gaya bahasa dari penulis-penulis unik dan istimewa sebelumnya” atau kalimat “Tulisan-tulisan dalam buku ini memang sengaja dibuat untuk mencuci dan menjebak otak pembacanya agar kehilangan daya nalarnya hingga membenarkan nan salah dan menyalahkan nan benar”?
      Kalau seorang kritik(us) sastra membuat sebuah kritik karya sastra karena dibayar oleh yang menulis karya sastra tersebut, kritik(us) sastra akan dan bisa menjadi tumpul mata pisau penelahaannya. Alih-alih mengemukakan kekurangan, kelemahan, kesalahan dan ketidakistimewaan dari karya sastra tersebut, si kritik(us) sastra tentu akan menyampaikan hasil telaahannya dengan bahasa-bahasa yang menyenangkan hati dan mungkin sesuai dengan kemauan si penulis karya sastra.
     Dukungan dan pujian terhadap sebuah karya sastra biasanya datang dari kalangan yang sama dengan si penulis karya sastra. Sama-sama satu komunitas, sama-sama satu jaringan, sama-sama satu perguruan tinggi, sama-sama satu ideologi, sama-sama satu lembaga dan sama-sama nan lainnya.

Aktualisasi Konsep
   Untuk mempraktikkan pendapat-pendapat saya tentang kritikologi, khususnya dalam mengritiek kritik-kritik sastra yang ada, saya mesti menggunakan perangkat pengukuran kritikologi yang sudah dikonsep oleh saya sendiri (dan nanti mungkin ada pakar-pakar dari bidang keilmuan lainnya yang tertarik membantu saya untuk menetaskan telur kritikologi).
    Saya membutuhkan buku-buku kritik sastra berbahasa Inggris, Jerman, dan Indonesia (buku yang berisikan hasil telaah dan penilaian karya sastra), dan juga buku-buku yang memuat tentang teori-teori dan teknik-teknik telaah sastra beserta. Sedikitnya dan idealnya mesti ada 100 judul buku kritik sastra, 100 judul buku teori dan teknik telaah sastra, 50 kamus bahasa dan sastra (berupa kamus arti, kamus etimologi, dan kamus istilah) yang mesti dibaca dan ditelaah agar dapat menetaskan telur kritikologi.
   Sekiranya ada yang berminat dan tertarik menyokong saya untuk menetaskan telur kritikologi yang sudah lebih dahulu dinyatakan oleh Putu Wijaya, silakan kirimkan saya buku-buku yang berisikan kritik bahasa, kritik sastra, kritik seni dan kritik budaya. Anggaplah tulisan saya ini sebagai sebuah proposal langsung dari saya sebagai penulis pemula yang sedang semangat bersemangat untuk belajar dan juga memotivasi pelbagai pihak untuk menciptakan sebuah displin ilmu baru yang disebut oleh Putu Wijaya sebagai KRITIKOLOGI itu.
    Saya bisa saja mengutip beberapa contoh kritik-kritik sastra dari jejaring sosial dan blog di internet sebagai bahan utama untuk diukur kualitas kritiknya dengan perangkat pengukuran kritikologi, tetapi akan makin lebih mantap kalau ada buku-bukunya, entahlah itu buku cetak maupun buku digital.
    
Terima kasih.

Alaika salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar