Tulisan ini bukan untuk
menambah kerlap-kerlip bintang-bintang di semesta sastra yang ketika satu
bintang gemilang, pancaran cahaya bintang-bintang nan lain menjadi terhalang.
Masing-masing bintang sudah punya waktu dan tempat untuk gemilang sesuai
dengan konstelasinya, berdasarkan orbit, rotasi dan gravitasinya.
Bintang-bintang nan mulai tidak terlihat kilaunya, tidak mesti merusak
keseimbangan alam agar dapat lebih dekat dengan matahari dan menjauh dari dari
kegelapan. Terlalu dekat dan makin dekat dengan matahari hanya akan membuat
bintang-bintang menjadi musnah. Terlalu lama dalam kegelapan dan sengaja
ditutupi agar tidak mendapat cahaya matahari juga akan menjadikan
bintang-bintang akan menjadi beku dan kemudian musnah dalam kedinginan.
Kecaman-kecaman yang
menyatakan ada puisi-puisi di Indonesia sebagai puisi gelap, puisi sampah,
puisi yang tidak dapat dimengerti artinya dan tidak dapat diketahui tujuannya
dan puisi gagal, tidak dapat disebut sebagai suatu hasil telaah atau kajian
sastra maupun sebagai kritik sastra, kalau tidak dibuktikan dengan alasan-alasan
dan penemuan kesalahan-kesalahan melalui telaah yang menggunakan perangkat
penilaian sastra.
Kalau ditilik dari jenis
pengkajian sastra menurut M.H Abrams dalam kamus istilah sastra A Glossary of Literary Terms (1999),
kecaman-kecaman di atas dapat dikategorikan sebagai kecaman impresionis, bukan
kecaman dari penelaah/kritik(us) sastra profesional. Kecaman yang lebih
mengutamakan perasaan daripada alasan, fakta dan telaah.
Saut Situmorang menyebutkan bahwa salah satu kriteria untuk menjadi seorang penelaah/kritik(us) sastra yang pofesional adalah memberikan penilaian terhadap karya sastra berdasarkan telaah, bukan semata-mata berdasarkan perasaan (Saut Situmorang, Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia, dibaca dari blog Jurnal Sastra Boemipoetra, http://boemipoetra.wordpress.com, 19 November 2013).
Saut Situmorang menyebutkan bahwa salah satu kriteria untuk menjadi seorang penelaah/kritik(us) sastra yang pofesional adalah memberikan penilaian terhadap karya sastra berdasarkan telaah, bukan semata-mata berdasarkan perasaan (Saut Situmorang, Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia, dibaca dari blog Jurnal Sastra Boemipoetra, http://boemipoetra.wordpress.com, 19 November 2013).
Salah seorang penelaah
sekaligus kritik(us) sastra Indonesia profesional lainnya, yakni Maman S.
Mahayana juga mengingatkan masyarakat sastra Indonesia bahwa prinsip utama
dalam kritik sastra adalah penilaian yang diperoleh dari pengkajian, bukan hanya
sebatas perasaan (Maman S. Mahayana, Seolah-olah
Kritik Sastra, dibaca pada halaman berbasis jaringan komputer
internasional, http://mahayana-mahadewa.com, 26 Juni 2013).
Apa boleh seseorang memberikan
tanggapan atas sebuah karya sastra yang dibaca dan didengarnya? Ya, boleh. Semuanya
boleh memberikan tanggapan, baik berdasarkan perasaan maupun pengkajian
mendalam, tetapi kalau hendak berniat menjadi penelaah sekaligus kritik(us)
sastra yang sejati dan profesional, mulailah belajar untuk tidak menilai
berdasarkan perasaan, meski dalam penelaahan yang mendalam itu juga sangat
dibutuhkan perasaan.
Kebebasan puitis (poetic licence) dan kebebasan makna (meaning Licence) dalam penciptaan sebuah
puisi sebagai karya sastra, mestinya tidak digunakan dalam memberikan penilaian
sebuah karya sastra. Mengapa? Karena melakukan penilaian berdasarkan perangkat
pengukuran nilai berdasarkan kriteria yang telah sahih, atau sudah diuji oleh
pakar-pakar sastra yang wawasan sastranya dalam dan luas, paham tentang penilaian
dan mampu membuat perangkat pengukuran nilai.
Apakah kritik sastra sama
dengan telaah sastra?
Ya. Berdasarkan konteks ilmu
sastra, kesusastraan, kuartis tika sastra dan terminologi, kritik sastra adalah
telaah sastra.
Apa yang pengertian dari kuartis
tika sastra?
Oleh karena penulis sering
menulis apa yang tiba-tiba terlintas dalam benak, penjelasan singkat tentang kuartis
tika sastra akan disampaikan pada tulisan terpisah.
Hal pertama yang mesti
dilakukan untuk mengetahui pengertian istilah kritik sastra atau telaah sastra,
tentu saja dengan membuka dan membaca kamus istilah, kamus arti kosa kata,
kamus etimologi dan ensiklopedia. Calon-calon penelaah-penelaah dan kritik(us)
sastra Indonesia juga mesti mempelajari dan membaca arti dan sejarah kata-kata
dan istilah dalam sastra Indonesia yang berasal dan diserap dari bahasa asing
dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia diperkaya dengan kosa kata dari bahasa
Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Mandarin
dan yang lainnya. Hal ini tentu juga akan berpengaruh pada pemahaman dalam
mengenali dan menggunakan istilah secara tepat sesuai konteksnya.
Lima kata yang berasal dari
bahasa Inggris yaitu critic, critical, criticism, critize, dan critique, yang mungkin diserap utuh ke
dalam proses ketika mengalihbahasakan teori-teori dan teknik-teknik menelaah
sastra ke dalam bahasa Indonesia, adalah garis awal keberangkatan untuk
membuktikan bahwa kritik sastra adalah telaah sastra.
Asal dan arti kata critique dan critic dapat dialihbahasakan sebagai berikut:
Kata critique pada tahun 1702, diserap dari ejaan kata dari bahasa
Perancis abad ke-17 critick , yang
berasal dari istilah Yunani yakni kritike
tekhne “the critical art”,
sedangkan kata critic pada tahun 1580,
berarti “orang yang memberikan penilaian”, diserap dari kata critique dalam bahasa Perancis pada abad
ke-14, diserap dari istilah bahasa Latin yaitu criticus, yang berarti “penilai, kritik(us) sastra”, diserap dari bahasa Yunani yakni kritikos yang berarti “mampu membuat penilaian”, diserap dari
istilah krinein yang berarti “untuk
memisahkan, memutuskan”. Arti “orang yang menilai kebaikan, faedah, dan
kepatutan buku-buku, sandiwara-sandiwara, dan yang lainnya, berasal dari
sekitar tahun 1600 Masehi. Arti kata dalam bahasa Inggris ini pun telah
ditambah dengan arti “pencela/pengecam, penemu kesalahan”. (Dibaca dan diakses
dari http://www.etymonline.com, pada tanggal 22 November 2015)
Dalam kamus Bahasa Inggris Oxford Advanced Learner’s Dictionary of
Current English oleh AS Hornby, kata critic
berarti 1) person who forms and gives judgments,
especially about literature, art, music, and the others, 2) person who
finds fault, point out mistakes, etc (AS Hornby, 1987:204). Kalau kemudian kata
critic itu diserap utuh menjadi kata kritik dalam bahasa Indonesia, alih bahasa
arti kata kritik adalah 1) orang yang
membuat dan memberikan penilaian-penilaian, khususnya tentang sastra, seni, musik,
dan yang lainnya, 2) orang yang menemukan kesalahan-kesalahan, memberitahu dan
mengingatkan tentang kesalahan-kesalahan, dan yang lainnya.
Satu kata bisa punya lebih
dari satu arti makna, apalagi kalau ditelaah berdasarkan 29 jenis makna kata.
Kata judgement
tersebut bukan berarti penghakiman atau menghakimi, karena dalam kamus bahasa
Inggris Oxford Advanced Learner’s
Dictionary of Current English oleh AS Hornby, ada 5 arti dari kata judgement. Sangat tidak tepat memaknai
kalau penelaah/kritik(us) diartikan sebagai hakim sastra, sebagaimana
hakim-hakim di pengadilan itu.
Penelaah/kritik(us) memberikan penilaian
terhadap sebuah karya sastra berdasarkan prinsip-prinsip sastra nan sesuai
dengan karya sastra tersebut. Alangkah naifnya seorang penelaah/kritik(us)
sastra, kalau semisalnya, memaksakan prinsip-prinsip penciptaan Gurindam untuk
menelaah puisi-puisi kontemporer. Itu mungkin sama seperti mengupas buah
Embacang dengan pisau daging. Pisau daging memang bisa mengupas buah Embacang,
tetapi akan lebih sesuai kalau mengupasnya dengan pisau buah. Kalau mengupas
buah Embacang dengan gigi? Alamatlah bisa terkena getah buah Embacang.
Kata critical berarti 1) of or at
a crisis, 2) of the work of a critic,
3) fault-finding (AS Hornby,
1987:204). Ketika kata critical itu
diserap utuh menjadi kata kritis,
alih bahasa arti katanya adalah 1) sedang krisis, 2) saksama, 3) teliti
menemukan kesalahan.
Pada kata criticism, yang mungkin akibat kelemahan memahami proses
penerjemahan kata dari bahasa asing sebagai bahasa sumber ke bahasa target
yakni bahasa Indonesia, kata ini mungkin
menjadi rancu dialihbahasakan ketika berduet dengan kata literary hingga membentuk istilah literary criticism. Kata criticism
berarti 1) the work of a critic; the art of making judgments (concerning art, literature, etc), 2) judgement or opinion on literature, art,
etc. , 3) fault-finding; remark, etc
that finds fautl (AS Hornby, 1987:204). Kata cricitism yang dialihbahasakan menjadi kata telaah dalam bahasa Indonesia, karena sufiks –ism digunakan untuk membentuk kata benda dari kata dasar yang
menggambarkan kepercayaan atau keyakinan sosial, politik dan agama, telaah/pengkajian
atau metode/teknik proses penciptaan sesuatu, dapat dialihbahasakan artinya
menjadi 1) proses pembuatan atau hasil
kerja seorang penelaah/kritik(us); seni membuat penilaian-penilaian (mengenai
seni, sastra, dan yang lainnya), 2) penilaian
atau pendapat terhadap sastra, seni, dan yang lainnya, 3) penemuan kesalahan; pernyataan lisan berupa
opini atau pemikiran.
Lantas, apa alihbahasa arti dari
kata critize? Kata critize berarti 1) form and give a judgement of; find fault with: (AS Hornby, 1987:204).
Alih bahasanya menjadi membuat dan
memberikan penilaian dari; menemukan kesalahan dengan: .
Kata yang kelima adalah critique yang berarti critical essay or review (AS Hornby, 187:204).
Kalau dialihbahasakan artinya menjadi tulisan
atau kajian nan saksama untuk menemukan kesalahan dan memberikan penilaian.
Hal ini tentu berbeda dengan
pengertian esei (esai) sebagai sebuah karangan bebas yang tidak terikat kaidah
sastra yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang
pribadi penulisnya. Hanya saja, celakanya, ketika seorang eseis dan
penelaah/kritik(us) sastra tidak dapat mengendalikan rasa antipati dan simpati
terhadap seseorang yang menghasilkan sesuatu karya sastra, di sana akan muncul
pujian atau makian. Kalau pujian atau makian muncul dengan perangkat penilaian,
dan bukan karena perasaan semata, itu adalah eseis dan penelaah/kritik(us) sastra
profesional.
Apakah ada penelaah sastra yang
tidak menemukan kesalahan-kesalahan dan memberikan penilaian terhadap sebuah
karya sastra? Kalau ada, penelaah sastra tersebut belum dapat dinyatakan
sebagai kritik(us) sastra. Apa ada juga sosok-sosok yang sok-sok atau berlagak
menjadi kritik(us) sastra, tanpa terlebih dahulu menelaah dan menemukan kesalahan-kesalahan
dari sebuah karya sastra? Jika ada, itu bukan penelaah/kritik(us) sastra,
mungkin sedang belajar untuk menelaah/mengritik karya sastra.
Seorang penelaah/kritik(us)
sastra adalah seorang pembaca ahli dan sekaligus dapat berperan sebagai penyunting.
Redaktur dan penyunting tulisan kategori sastra pada sebuah perusahaan surat
kabar, belum tentu seorang penelaah sastra. Ini karena redaktur dan penyunting
hanya bertugas untuk meninjau dan mempersiapkan sebuah tulisan untuk
diterbitkan dari segi tata bahasa, tipografi, dan kriteria standar penenerbitan
sebuah tulisan dari perusahaan penerbitan.
Penelaah/kritik(us) sastra
bekerja berdasarkan kuartis tika sastra yakni menelaah dan menilai karya sastra
berdasarkan sistematika, stilistika, estetika dan etika sastra yang sudah sahih
dan disepakati oleh masyarakat sastra, otoritas sastra atau pemerintah di suatu negara. Kalau misalnya
ada sistematika, stilistika, estetika, dan etika nan baru, hal itu mesti diuji
kesahihannya dan mendapat kesepakatan bersama.
Seorang penelaah/kritik(us)
dan teoris sastra sebaiknya juga jujur menyatakan sumber gagasan/ide/hasil
pemikiran, konsep, dan wacana tentang sastra ketika menulis dan
menyampaikannya. Bukankan dunia keilmuan lebih mengutamakan kebenaran dan
kejujuran? Kalau memang ada teori-teori, ide, konsep dan wacana berasal dari
tulisan dan ujaran dalam bahasa asing, jangan sekali-sekali mengelabui orang
lain, terkhusus pembelajar seperti murid dan mahasiswa, bahwa ianya bersumber
dari dari pemikiran sendiri.
Lebih sangat profesional kalau
dinyatakan bahwa dalam buku-buku teori sastra yang ditulis memang banyak alih
bahasa teori daripada menciptakan teori-teori sastra sendiri dari hasil membaca
dan mengalihbahasakan teori-teori dalam bahasa asing itu. Semoga saja
teoris-teoris sastra Indonesia tidak pernah mengelabui dirinya dan orang lain
hingga sastra Indonesia dapat mencapai kemurniannya dan masyarakat sastra
Indonesianya tidak hanya menjadi konsumen hedonis dari teori-teori yang
dialihbahasakan dari bahasa asing, tetapi menjadi
penikmat dan penemu konsep dan pemikiran nan kritis.
Dalam konsep perangkat
penilaian puisi yang dirancang oleh penulis, ada 40 (empat puluh) aspek dari puisi
yang dapat ditelaah, ditemukan kekurangan dan kesalahannya, dan kemudian diberi
nilai. Kesalahan-kesalahan yang mungkin ditemukan dalam sebuah puisi
berdasarkan kuartis tika sastra beserta perbaikannya dapat dituliskan dalam
kolom saran, atau dibuat pada kolom-kolom terpisah. Konsep, yang belum sahih
ini, dirumuskan dan bersumber dari beberapa pemikiran sastrawan dan teoritis
sastra. Konsep perangkat penilaian puisi dari 40 aspek akan penulis coba
paparkan pada tulisan nan terpisah.
Oleh karena penulis pernah
punya sedikit pengalaman menjadi guru di pelbagai tingkatan pendidikan formal
di sekolah dan luar sekolah, satu hal yang juga sangat penting dalam proses
pencapaian tujuan pendidikan nasional adalah perangkat penilaian belajar siswa
dan mahasiswa. Hal itu juga berlaku untuk kemajuan dan proses pencapaian tujuan
perpuisian Indonesia. Apa tujuan perpuisian Indonesia? Bukankah untuk
menghasilkan karya-karya sastra yang berkualitas tinggi. Tentu saja untuk
menentukan karya-karya sastra yang berkualitas tinggi itu dengan menelaah dan
memberikan penilaian.
Beberapa contoh nan baik dalam
penilaian puisi dan penemuan kesalahan-kesalahan puisi berdasarkan perangkat
penilaian, sistematika dan aturan menulis puisi dapat dipelajari dari grup
puisi Puisi 2koma7 dan grup puisi PADMA-pola tuang 4444 di jejaring media
sosial Facebook. Grup Puisi 2koma7 dikelola oleh Imron Tohari, Dimas Arika
Mihardja, Haris Fadhillah, dan kawan-kawan, sedangkan grup puisi PADMA-pola
tuang 444 dikelola oleh Imron Tohari dan kawan-kawan. Mereka yang mengasuh
kedua grup puisi tersebut, tidak hanya mengasah, tetapi juga mengasuh dan
mengasih(i) penulis-penulis puisi pemula yang tertarik belajar menulis puisi
2koma7 dan puisi PADMA. Kritik-kritik mereka memang ada nan pedas, namun
disertai dengan alasan dan saran perbaikan kalau ada puisi-puisi dari penulis
puisi pemula yang tidak sesuai dengan standar yang sudah disepakati. Begitulah
hendaknya penelaah/kritik(us) sastra Indonesia yang lainnya.
Sebaiknya, sebelum memulai
proses menelaah untuk menemukan kesalahan-kesalahan dalam sebuah puisi, seorang
calon penelaah/kritik(us) atau penelaah/kritik(us) sastra mesti belajar
memahami dan menyadari bahwa kebebasan puitis dalam mencipta karya sastra tidak
boleh dipaksakan seragam. Masing-masing orang yang menulis dan mengujarkan
karya sastra memiliki keunikan masing-masing.
Kalau menemukan
kesalahan-kesalahan dalam pedoman ejaan bahasa, tata bahasa atau yang mungkin
tidak sesuai dengan kaidah-kaidah linguistik, atau ada diksi (bahkan
transposisi kata) yang dianggap tidak jelas maknanya itu bisa jadi adalah ciri
khas yang menciptakan karya sastranya. Bahan utama sastra adalah bahasa. Dalam
bahasa, tidak adanya namanya jenis bahasa sampah. Ini artinya tidak ada yang namanya
puisi-puisi gelap, sampah, tidak dimengerti arti dan tidak diketahui tujuannya,
dan gagal. Mungkin puisi-puisi itu belum sampai pada kontemplasi bahwa sastra
berkualitas tinggi mesti lengkap kuartis tika sastranya.
Semoga calon-calon penelaah/kritik(us)
sastra Indonesia selalu bersemangat belajar dan tabah menjalani proses agar
kelak dapat dinyatakan dan disetujui sebagai penelaah/kritik(us) sastra
Indonesia yang profesional, setelah belajar berenang dan menyelam di
candradimuka, menapakkan kaki-kaki pemikirannya pada jenjang tangga kriteria
penelaah/kritik(us) sastra mulai dari dasar, pemula, menengah, tinggi, master,
dan profesional.
Penulis, sebagai salah satu
yang diberi amanah untuk menyandang gelar Sarjana Sastra, menyarankan
agar mahasiswa-mahasiswi program studi sastra (Indonesia, Inggris, Jerman,
Perancis, Jepang, Arab, Belanda, Sanskerta, Minangkabau, Melayu, Jawa, dan yang
lainnya) membekali diri mereka dengan kamus-kamus bahasa, kamus-kamus
etimologi, kamus-kamus istilah, dan kamus-kamus sastra ketika belajar tentang
sastra. Kalau harganya mahal, pinjamlah dari perpustakaan atau dari dosen-dosen
sastra yang sudah pernah belajar dan bekerja di luar negeri.
Guru-guru dan dosen-dosen
sastra di Indonesia itu sudah sangat berjasa karena lebih memilih bertahan
hidup di Indonesia dan berjuang untuk menciptakan insan-insan yang memiliki
wawasan sastra. Mereka mengritik dan menilai murid-murid dan
mahasiswa-mahasiswinya setiap hari, bahkan masih terjaga untuk membuat
penilaian ketika mungkin ada murid-murid dan mahasiswa-mahasiswinya menikmati
dunia gemerlap nan penuh cahaya lampu disko dan musik yang berdentum-dentum.
Mereka adalah sosok-sosok yang
mengajarkan kita tentang cara membuat, menyalakan dan menggunakan suluh agar
peradaban manusia tidak kembali dalam kegelapan. Sekarang tinggal bagaimana
kita menjaga dan mencegah agar suluh tidak padam dan berganti dengan pijar api
bom klaster, desingan peluru dan ledakan nan berdentum-dentum.
Terima kasih.
Alaika salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar