Kala
itu rimba raya masih ada. Rimba raya kaya dengan pokok-pokok nan sangat besar dan tinggi menjulang. Binatang liar nan buas
seperti harimau, rusa, kijang, babi, beruang, beruk, pelanduk
dan ayam hutan hidup bebas.
Tak jauh dari rimba raya tersebut ada sebuah kampung. Kampung itu dipimpin oleh seorang penghulu. Penduduknya sangat menghormati
penghulu sebab beliau selalu membantu penduduk yang sedang mengalami masalah.
Mereka hidup rukun dan tenteram. Penduduknya bekerja sebagai nelayan menangkap ikan di laut, rawa-rawa, dan sungai. Ada yang berladang menanam ubi,
jagung, betik, dan sayur-sayuran di ladang, bertani menanam padi di sawah tadah hujan. Ada juga yang berdagang
dan berlayar ke pulau dan negeri seberang laut.
Letak
kampung yang dekat laut membuat kampung itu terkenal dan ramai didatangi oleh
orang-orang dari pelbagai penjuru negeri. Ada yang hanya
singgah untuk kemudian melanjutkan
perjalanan menuju negeri seberang laut. Ada pula yang datang untuk berdagang dan memilih untuk bermukim di
kampung itu. Semua yang datang dan pergi mesti melapor kepada penghulu. Hal itu
bertujuan agar penghulu dapat mengetahui jumlah pertambahan penduduk dan masalah-masalah yang
menyertainya.
Sudah
beberapa minggu belakangan penduduk risau. Mereka tidak
tenteram lagi karena beberapa ekor ternak kambing mereka
hilang. Penduduk mencurigai Budin yang mencurinya, namun mereka tidak punya bukti. Oleh karena mereka
tak ingin berburuk sangka, mereka segera melaporkan kecurigaan mereka kepada penghulu.
Penghulu
dengan bijaksana menyampaikan kepada penduduk agar bersabar dan tidak menuduh seseorang melakukan kejahatan tanpa ada bukti-bukti yang sah. Penghulu
mengatakan kepada penduduk agar jangan berburuk sangka. Belum tentu Budin yang
mencuri ternak kambing. Beliau akan menyelidiki penyebab hilangnya ternak
kambing milik penduduk.
Penduduk
bukan tanpa alasan mencurigai Budin. Budin sering terlihat hilir mudik dekat rumah
penduduk yang punya kandang ternak kambing. Penghulu berdoa dalam hatinya kalau memang betul Budin yang
mencuri kambing-kambing milik penduduk, semoga Budin dibukakan pintu hatinya,
bertaubat, dan minta maaf kepada penduduk.
Budin,
seorang pemuda, yang dilaporkan oleh penduduk kepada penghulu, sebelumnya memang jarang
terlihat. Ada yang bilang kalau dia sedang pergi berdagang ke pulau di seberang laut.
Ada pula yang menyebut kalau dia berburu rusa dan kijang di tengah rimba raya.
Suatu
hari ketika sedang menjadi buah bibir penduduk, Budin tiba-tiba muncul di tepi kampung. Tiada
seorang pun penduduk yang melihatnya. Budin ingin mencuri kambing milik
penghulu. Kambing-kambing milik penghulu dipelihara dalam kandang kambing tak
jauh di belakang rumah penghulu. Di belakang kandang kambing itu ada sepokok mempelam yang
sangat rimbun. Penghulu menanam beberapa pokok mempelam, pinang, dan kelapa
untuk menjadi tanda pembatas tanahnya dengan semak belukar dekat tepi rimba.
Budin
sudah bersiap-siap melaksanakan aksinya sebelum subuh. Dia tahu bahwa penghulu sering salat berjamaah
di surau bersama-sama dengan penduduk. Dia berniat
mencuri kambing sesudah magrib, sebelum penghulu pulang dari surau.
Dia pun memanjat pokok
mempelam yang sangat rimbun itu. Kalau sekiranya ketahuan oleh penghulu atau
orang lain bahwa ada Budin di atas pokok mempelam, dia telah menyiapkan dalih
bahwa dia ingin memetik beberapa helai daun mempelam untuk ulam. Seharian Budin
bersembunyi dan mengintai kambing dari atas pokok mempelam.
Tak jauh dari kandang
kambing, dekat belakang pokok mempelam, ada seekor harimau besar dari rimba
raya sedang mengendap-endap dalam semak belukar mendekati kandang kambing. Dia
ingin memangsa kambing-kambing milik penghulu.
Harimau muncul selepas
asar. Dia tidak tahu bahwa ada Budin di atas pokok mempelam. Budin pun tidak
tahu ada seekor harimau nan besar dalam semak belukar. Matanya sejak berada di
atas pokok mempelam asyik tertuju pada kandang kambing dan rumah penghulu. Dia
cemas kalau ketahuan sedang bersembunyi di atas pokok mempelam oleh penghulu.
Magrib pun tiba. Senja
berona jingga. Rombongan siamang, beruk, dan kera terlihat bergelayut dari satu
pokok ke pokok lain di tepi rimba raya. Mereka mungkin sedang dalam perjalanan
pulang menuju sarangnya. Serombongan kelelawar terbang ke arah utara. Bunyi
binatang-binatang malam dalam rimba raya mulai terdengar riuh berbunyi.
Tiba-tiba hujan deras
turun disertai angin kencang. Petir dan guruh silih berganti bagaikan orkestra
alam di malam hari. Budin terkejut. Dia bergegas mencari posisi yang aman. Dia
berhati-hati memijak dan memegang dahan pokok mempelam agar tidak tergelincir.
Di saat yang bersamaan, Harimau pun mulai mendekati kandang kambing dari
belakang.
Dalam kandang kambing ada
dua ekor kambing. Seekor induk kambing dan anaknya. Di tepi kanan kandang, ada
rumput yang disediakan penghulu untuk makanan kambing. Kandang kambingnya
terbuat dari betung dan beratapkan daun rumbia. Anak kambing sedang berada di
tepi kandang. Induk kambing terlihat mulai gelisah. Dia mencium bau yang datang
dari belakang kandang mereka.
Senja buta berganti
malam. Hujan makin deras dan angin kencang makin berdesau. Lamat-lamat Harimau
mendengar induk kambing memanggil anaknya.
”Nak. Oi nak. Ke sini
dekat emak, nak. Jangan di tepi kandang.” kata induk kambing.
”Ada apa Mak? Mengapa
pula emak melarang aku di tepi kandang?” tanya anak kambing kepada induknya.
”Tak usah banyak tanya.
Ke sini dekat emak…” jawab induk kambing agak gusar.
Harimau, si raja rimba,
termenung mendengar percakapan induk kambing dengan anaknya.
”Jangan-jangan induk
kambing tahu kalau aku ada di belakang kandang.” ucap Harimau dalam hatinya.
Dia pun kian mendekat,
ingin mencuri dengar percakapan induk kambing dan anaknya. Agak susah mendengar
suara di tengah-tengah hujan deras yang disertai bunyi guruh dan desau angin di
luar kandang.
”Cepat ke sini, nak.”
”Iya, Mak.”
Anak kambing pun berjalan
mendekati induknya. Dia berbisik kepada induknya.
”Mengapa emak melarang
aku di tepi kandang?”
”Bahaya nak. Bahaya. Mak
takut kau kena tempias.”
”Siapa tempias itu, mak?”
Induk kambing makin
gelisah.
”Biasanya Emak takut
dengan harimau. Sekarang Mak takut pula dengan tempias.”
Induk kambing hanya diam
saja. Dia tidak menjawab pertanyaan anaknya. Setelah melihat ke belakang
kandang dan pintu kandang, dia pun berbisik,
”Ssstt…Tak usah nyaring
betul. Emak takut ada tempias.”
Anak kambing pun terdiam
mendengar jawaban induknya. Dia makin mendekat dan merapat dekat induknya.
Harimau yang sedang mencuri
dengar percakapan dalam kedinginan basah kuyup terkena air hujan, makin dalam
termenungnya. Hatinya cemas. Jantungnya berdebar kencang. Ada makhluk tak
dikenal yang lebih ditakuti induk kambing.
”Aku ini raja rimba. Apa
pasal induk kambing lebih takut dengan tempias daripada raja rimba. Siapa pula
gerangan tempias sampai membuat kambing tidak takut dengan harimau?”
Terdengar anak kambing
bertanya lagi kepada induknya.
”Ada tampak tempias itu,
Mak? Kalau dia datang, cepat beritahu aku ya Mak.”
”Mak
sudah cakap jangan nyaring betul. Bahaya.”
Harimau
pun makin pening mendengar percakapan itu. Gawat kalau tempias datang. Dia
bimbang. Kalau terus maju masuk kandang kambing, takut diterkam tempias. Mundur
masuk ke rimba raya, gagal makan kambing.
”Maju,
mundur, maju, mundur, maju atau mundur.” Harimau menimbang-nimbang dalam
hatinya.
”Pttaaarrrr…pttaaarrr…pttaaarrrr……”
Terdengar petir berbunyi
bersahut-sahutan.
Harimau
pun terkejut. Dia sangka tempias yang datang, kiranya guntur.
Hujan
turun makin deras disertai angin kencang sejak senja buta belum reda. Petir
berkejaran di langit. Guruh membahana di angkasa. Mega mendung sedang
mencurahkan airnya untuk menjadi rezeki bagi seluruh makhluk hidup di bumi.
Budin
yang sudah dari pagi bersembunyi di atas pokok mempelam juga terkejut melihat
petir nan berkilat-kilat dan mendengar gemuruh guntur. Dia mengigil kedinginan.
Parasnya pucat pasi. Makin pucat wajahnya ketika melihat ada seekor harimau
besar dekat belakang kandang kambing. Kedua lututnya terasa bergeletar. Dia
ketakutan.
”Kkrrrraaaakkkkkk….”
Budin
yang hilang keseimbangan, terpeleset dan terjatuh dari dahan pokok mempelam.
Jatuh tepat menimpa di atas punggung Harimau. Dia tidak kehilangan akal.
Harimau dipeluknya dengan sangat erat.
“Alamak….Tempias
datang…Tempias datang…Tempias datang,” pekik Harimau terkejut sambil berlari
sekencang-kencangnya masuk rimba raya.
Dia tidak melihat apa
yang ada dipunggungnya. Terasa ada sesuatu yang sangat besar dan berat sedang
berada di punggungnya. Harimau berlari makin kencang. Tidak menghiraukan lagi
kiri dan kanannya. Tempias hendak memangsanya. Begitu sangka Harimau.
Tak lama lari kencang dan
beberapa kali melompati batang kayu yang tumbang dalam rimba raya, Harimau
menabrak sebuah pokok besar. Kepalanya terantuk batang pokok itu. Dia pun
pingsan.
Budin pun begitu juga.
Dia pingsan akibat kelelahan dan ketakutan.
Induk dan anak kambing
juga mendengar ada bunyi dari arah belakang kandang.
Dalam kandang kambing,
induk terlihat sangat gembira dan tidak terpancar lagi rona ketakutannya dari
wajahnya.
”Bunyi apa itu, Mak?
Tempias itu, Mak? Bila tempias itu akan datang, Mak?”
”Dahlah…Tempias sudah
datang sejak senja kala, nak.”
”Dimana dia sekarang,
Mak? Apa dia sudah pergi, Mak?”
”Dia sedang di luar
kandang, nak. Dia bepercikan masuk kandang ditiup angin. Kalau kena tempias,
nanti bisa basah.”
”Ooo…Aku kira tempias itu
binatang buas yang ingin memangsa kita, Mak.”
”Sebenarnya sejak tadi
ada seekor harimau di belakang kandang kita. Emak takut tadi dia dengan mudah
memangsamu kalau kau berada dekat tepi kandang. Sekarang harimau itu sudah
pergi.”
Keesokan harinya,
beberapa orang penduduk yang sedang mencari buah cempedak di tengah rimba
terkejut menemukan ada seekor harimau besar tergeletak dekat bawah pokok durian
yang sangat besar. Mereka makin terkejut melihat Budin berada di dekat harimau
tersebut.
Dua orang penduduk
bergegas menuju kampung untuk menemui penghulu kampung, sementara tiga orang
lagi tinggal sambil berjaga-jaga kalau Budin dan harimaunya siuman.
Penghulu sangat terkejut
mendengar laporan dari penduduknya. Penduduk kampung geger. Penghulu segera memerintahkan
sepuluh orang pemuda yang gagah untuk membuat sebuah kandang pikul untuk
harimau. Tanpa berlengah-lengah lagi, para pemuda bergegas mencari betung dan rotan
untuk bahan membuat kandang pikul sebagaimana yang telah diperintahkan oleh
penghulu. Kandang itu selesai dalam waktu yang singkat karena mereka bergotong
royong membuatnya.
Penghulu juga memanggil
tabib dan pawang harimau untuk segera ikut bersama-sama dengan dirinya dan
penduduk lain untuk pergi menjemput Budin di dalam rimba raya. Tiga puluh orang
penduduk berangkat menuju rimba raya bersama-sama penghulu .
Dalam perjalanan penduduk
mulai bertanya-tanya sesamanya. Apa yang gerangan yang terjadi. Mungkin selama
ini harimau yang memangsa ternak kambing milik penduduk. Kalau begitu Budin
adalah orang yang berjasa karena telah menangkap harimau yang mencuri ternak
kambing di kampung mereka.
Penghulu yang mendengar
percakapan penduduknya, memberikan nasehat supaya penduduk tidak usah
menduga-duga yang bukan-bukan. Sebaiknya nanti ditanyakan langsung kepada
Budin, apa yang sebenarnya telah terjadi.
Setibanya di tempat Budin
pingsan, penghulu segera memerintahkan tabib untuk memeriksa dan mengobatinya
Budin. Penghulu juga memerintahkan pawang harimau dan pemuda-pemuda untuk
mengikat harimau. Harimau lalu dimasukkan ke dalam kandang.
Tiada lama setelah wajah
Budin diperciki dengan air oleh tabib. Budin pun siuman. Alangkah terkejutnya
hati Budin. Dia ketakutan. Dia takut kena amuk penduduk. Mereka telah menangkapnya
karena mencuri kambing, namun dia tercengang sebab ada beberapa penduduk justru
menepuk-nepuk bahunya dan tersenyum.
Dia lihat harimau besar
sudah berada dalam kandang. Dia perhatikan ada penghulu, tabib, pawang harimau,
dan pemuda-pemuda di sekelilingnya
Budin tertunduk malu.
Matanya menatap ke tanah. Tidak berani dirinya menatap penghulu.
”Ini Budin. Minumlah air
dan madu ini.” kata penghulu.
”A..aa..a..aa..ii..iya..Pak
penghulu..Terima kasih,” ucap Budin terbata-bata.
Air dan madu yang
diberikan oleh penghulu segera diminumnya. Terasa segar kembali badannya.
”Budin…Supaya penduduk tidak
menduga-duga yang bukan-bukan. Cobalah kau ceritakan apa gerangan yang
sebenarnya terjadi hingga kau ditemukan oleh penduduk kampung sedang tergeletak
tidak siuman di dekat harimau besar ini?” tanya penghulu kepadanya.
Sungguh risau hati Budin
mendengar pertanyaan penghulu. Dia lihat orang-orang sekitarnya. Semuanya
tersenyum. Tidak ada yang menampakkan wajah garang. Budin pun meneteskan air
mata. Dia pun mengisahkan peristiwa yang dialaminya.
Suatu hari Budin
menemukan ada seekor kambing berkeliaran di jalan setapak dekat tepi rimba
raya. Dia sangka itu kambing hutan. Dia tangkap kambing tersebut, lantas
dijualnya ke kampung di pulau seberang laut. Kemudian Budin pun ketagihan ingin
berdagang kambing. Oleh karena Budin tidak punya ternak kambing,
kambing-kambing milik penduduk yang dicurinya.
Budin sambil
terisak-isak, mengakhiri kisahnya dengan meminta maaf kepada penghulu dan
penduduk karena telah beberapa kali mencuri ternak kambing milik penduduk.
Budin mengakui kesalahannya mencuri ternak kambing milik penduduk.
Beberapa orang penduduk berubahnya
parasnya. Pemuda-pemuda menjadi geram. Mereka ingin meninju Budin. Ternyata
Budinlah yang mencuri ternak kambing milik penduduk.
Penghulu sudah mengetahui
gelagat bahwa pemuda-pemuda akan mengahajar Budin. Beliau segera melihat
pemuda-pemuda sambil menggelengkan-gelengkan kepala dan mengembangkan
lebar-lebar kedua telapak tangannya. Tinju pun tidak jadi melayang.
Pemuda-pemuda sangat segan dengan penghulu.
Penghulu menenangkan dan menyabarkan
penduduk agar tidak main hakim sendiri. Penghulu menghela napas panjang dan
tersenyum. Beliau sudah punya penyelesaiannya. Beliau menyampaikan kepada
penduduk bahwa masalah ini akan dimusyawarahkan dengan tetua-tetua kampung.
Penghulu mesti menegakkan keadilan yang seadil-adilnya demi mengembalikan
kerukunan dan ketenteraman penduduk.
Penghulu kampung meminta
pemuda-pemuda untuk memikul kandang harimau untuk dibawa menuju kampung.
Penghulu juga mengajak Budin bersama-sama penduduk kembali ke kampung.
Setibanya di kampung,
ramai orang sedang berkerumun di depan rumah penghulu. Penghulu memerintahkan
pemuda-pemuda meletakkan kandang harimau yang berisi harimau di depan rumahnya.
Budin bersama tabib duduk di beranda.
Penghulu mengajak tetua-tetua
kampung yang sudah datang untuk bermusyawarah di dalam rumahnya. Tak lama
kemudian, penghulu bersama-sama tetua-tetua kampung keluar dari rumah.
Beliau meminta penduduk
yang hadir untuk tenang karena hendak menyampaikan hasil musyawarah kepada
penduduk yang sedang geger karena ada penduduk yang kehilangan ternak kambing
dan ditemukannya Budin tidak sadarkan diri dekat seekor harimau besar oleh
penduduk.
”Wahai segenap penduduk
kampung nan budiman, setelah mendengarkan keterangan dari penduduk yang
kehilangan kambing, penduduk yang menemukan Budin dan harimau di dalam rimba
raya, cerita dari Budin dan permintaan maaf Budin kepada penduduk, serta saran-saran
dari tetua-tetua yang sama-sama kita hormati…Saya selaku penghulu yang
diamanahkan untuk mengurus kerukunan dan ketenteraman kampung ini, memutuskan
bahwa Budin akan diberi beberapa ekor ternak kambing untuk dipeliharanya. Nanti
setelah ternak kambing berkembang biak, Budin mesti mengganti kambing-kambing
yang dicurinya kepada pemilik kambing. Budin juga diminta oleh tetua-tetua
untuk membersihkan surau dan pekarangannya setiap hari. Adapun harimau yang
dalam kandang, akan segera dilepas kembali di tengah rimba raya setelah siuman
dan pulih. Tetua-tetua juga menyarankan agar diselenggarakan kenduri kampung
pada esok hari. Mereka menyumbangkan beberapa ekor kambing dan beberapa karung
beras untuk dimasak menjadi hidangan pada kenduri kampung.”
Penduduk menyetujui
keputusan yang telah ditetapkan penghulu kampung. Budin menangis. Dia diminta
oleh penghulu untuk meminta maaf kepada tetua-tetua kampung dan juga penduduk
lainnya. Penduduk yang ternak kambingnya dicuri oleh Budin juga sudah memaafkan
Budin.
Menurut tetua-tetua,
sebenarnya Budin adalah pemuda yang baik, namun entah mengapa dia sampai
mengambil jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Para tetua
melalui penghulu menasehati agar Budin segera bertaubat minta ampunan kepada
Allah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Budin patut
bersyukur karena tidak diterkam harimau. Begitu juga dengan penduduk yang mesti
bersyukur karena hikmah dari kejadian tersebut membuat penduduk sudah mengetahui
siapa yang mencuri ternak kambing dan adanya harimau mulai masuk kampung.
Hari kenduri kampung pun
tiba. Penduduk saling bahu-membahu menyiapkan beraneka jenis hidangan untuk
disantap oleh penduduk bersama-sama dengan tetua-tetua, penghulu, dan juga
Budin. Tua dan muda, besar dan kecil, perempuan dan laki-laki sama-sama
menyingsingkan lengan baju supaya kenduri kampung terselenggara dengan baik.
Pemuda-pemuda bergotong royong membersihkan dan memotong-motong daging kambing
yang telah disembelih oleh tetua kampung Budak-budak juga dengan riang gembira
membantu abang-abang mereka yang sedang mengerat daging kambing.
Ibu-ibu dan gadis-gadis bersama-sama
menyiapkan bumbu untuk gulai kambing dan rebung. Mereka juga menanak nasi dan
menjerang air untuk diminum. Menjelang asar, segala hidangan untuk kenduri
kampung sudah siap dimasak dan terhidang dalam mangkuk dan piring yang tersusun
rapi di atas dulang.
Para laki-laki dewasa dan
pemuda-pemuda juga sudah bersiap-siap untuk salat asar berjamah di surau.Setelah
selesai melaksanakan salat asar berjamaah di surau, penduduk bersama-sama
dengan penghulu dan tetua-tetua berkumpul di dalam surau. Sebagian lagi ada
yang duduk beralaskan tikar pandan di luar surau.
Budin masih agak
malu-malu duduk bersama-sama penduduk, penghulu, dan tetua-tetua ketika puncak
kenduri tiba. Dia melihat didepannya ada aneka jenis masakan. Ada gulai kambing
dan rebung, sate kambing, sup kambing, ikan goreng, ikan panggang, ulam,
anyang, gulai pucuk ubi, sambal belacan, dan gulai kepala kambing yang besar.
Penghulu menyilakan tetua-tetua
kampung untuk menyampaikan beberapa petuah kepada penduduk. Usai tetua-tetua
member petuah-petuah mereka. Penghulu mulai memimpin zikir. Segenap penduduk,
termasuk Budin, berzikir dengan khidmat. Selesai berzikir, penghulu memimpin
pembacaan doa selamat dan doa tolak bala. Setelah berdoa, penghulu pun
menyilakan penduduk yang hadir bersama-sama menyantap pelbagai hidangan yang
telah dimasak untuk kenduri kampung.
Harimau besar yang dalam
kandang pun sudah siuman dan berangsur pulih. Penghulu telah memerintahkan
pemuda-pemuda untuk melepaskan harimau tersebut di tengah rimba raya yang ada
populasi kambing hutan dan babinya. Hal itu bertujuan agar harimau tidak
kembali masuk kampung untuk memangsa ternak kambing milik penduduk.
Beberapa hari setelah
kenduri kampung diselenggarakan, Budin yang telah dimaafkan oleh penduduk dan
diberi kambing oleh penghulu, mulai beternak kambing. Dia juga rajin
membersihkan surau dan pekarangannya.
Penghulu mengimbau
penduduk supaya tidak lupa untuk mengikat kambing-kambingnya kalau sedang di
lepas ke luar kandang. Tidak boleh ada lagi kambing-kambing yang berkeliaran di
kampung tanpa diketahui oleh pemiliknya. Penduduk pun mematuhi arahan dari
penghulu.
Kehidupan penduduk kampung
tersebut kembali rukun dan tenteram setelah sebelumnya geger akibat ternak
kambing yang hilang, Budin ditemukan pingsan dekat seekor harimau besar dalam
rimba raya.
Konon Budin berhasil
menjadi peternak dan pedagang kambing. Kambing-kambing yang dipiaranya
berkembang biak. Dia juga sudah mengganti kambing-kambing yang pernah
dicurinya. Setiap ada kenduri kampung diselenggarakan oleh penduduk, Budin
selalu menyumbangkan beberapa ekor kambing jantan yang besar. Penghulu,
tetua-tetua, dan penduduk kampung sangat gembira mengetahui perubahan dan
kemajuan yang dicapai oleh Budin.
Mereka selalu berdoa agar
tidak ada lagi penduduk kampung yang mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya
dan tanpa izin dari pemiliknya. Mereka juga berdoa agar supaya kampung mereka
dijauhkan dari segala bentuk bahaya dan malapetaka oleh Allah Yang Maha Kuasa.
Harimau yang sudah
dilepas di tengah rimba raya oleh pemuda-pemuda, tidak mau lagi masuk kampung.
Dia takut diterkam oleh tempias, lagipula penduduk kampung sudah berjasa
menyelamatkannya dari tempias dan melepaskannya kembali ke rimba raya.
31
Juli 2015
(Cerita rakyat ini ditulis
dan dikembangkan oleh Ahlul Hukmi berdasarkan sastra tutur Tempias versi Muslim Arofat yang dituturkannya langsung kepada
penulis.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar