Saya sebagai warga Dumai tidak percaya dan tidak
yakin bahwa asal nama Kota Dumai berasal dari kata “di lubuk” dan “umai” yang
bersumber dari salah satu versi cerita rakyat Putri Tujuh. Ketidakpercayaan itu
muncul karena tidak adanya publikasi resmi Pemerintah Kota Dumai tentang kajian
sejarah dan kajian bahasa yang meneliti tentang asal nama Kota Dumai, dan digunakan
menjadi dasar hukum untuk menetapkan informasi sejarah asal mula nama Kota
Dumai.
Pada halaman informasi di internet milik Pemerintah Kota Dumai dengan alamat
atau Uniform Resource Locator (URL) http://www.dumaikota.go.id, dalam
halaman berjudul Sejarah disebutkan bahwa “nama
Dumai menurut cerita rakyat tentang Putri Tujuh, berasal dari kata “di lubuk”
dan “umai” (sejenis binatang landak) yang mendiami lubuk tersebut. Karena
sering diucapkan cepat, lama kelamaan kata-kata tersebut bertaut menjadi d’umai dan selanjutnya menjadi dumai” (Dikutip sesuai dengan teks yang ada website tersebut).
Dari hasil diskusi terbuka tentang cerita Putri
Tujuh melalui sarana media sosial internet dengan beberapa sastrawan,
budayawan, ahli bahasa, dan warga dari Dumai dan luar Dumai ditambah dengan
studi kepustakaan, saya mendapat beberapa informasi bahwa ada beberapa versi
teks cerita rakyat yang mengisahkan
tentang cerita Putri Tujuh. Teks-teks cerita rakyat Putri Tujuh adalah: 1)
Cerita Putri Tujuh oleh H. Lebai Gedang
(seperti disebutkan oleh sastrawan, A. Yani AB. , cerita ini pernah diterbitkan
dalam bentuk stensilan sekitar tahun 1980, dan pernah dimuat dalam Surat Kabar
Genta), 2) Cerita rakyat Putri Tujuh
oleh Bachtiar Achmad Tatoe yang ditulis pada tahun 1997, 3) Cerita rakyat Putri Tujuh (Kerajaan Sri Bunga Tanjung) dalam buku cerita rakyat Dumai yang
diterbitkan oleh Kantor Parbudpora Kota Dumai pada tahun 2004, 4) Cerita Putri
Tujuh: Asal Mula Kota Dumai oleh Wahyuningrum yang diterbitkan oleh Balai
Kajian & Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit Adicita
Karya Nusa pada tahun 2005, 5) Cerita rakyat Putri Tujuh dalam Buku Seri Cerita Rakyat Kota Dumai yang
diterbitkan oleh Kantor Parbudpora Kota Dumai pada tahun 2007.
Dari informasi-informasi tersebut dapat
diketahui bahwa ada lima teks cerita tentang kisah Putri Tujuh dalam bentuk prosa yang telah ditulis. Pertanyaan lain
yang juga muncul, siapakah penutur pertama, atau setidaknya bila cerita rakyat Putri
Tujuh mulai dituturkan, didengar, dan diketahui oleh masyarakat Dumai hingga
kemudian berkembang dan dituliskan dalam beberapa teks cerita yang berbeda. Apa
cerita rakyat Putri Tujuh dituturkan dahulu, baru kemudian ditulis, atau
mungkin ditulis dahulu, lalu berkembang menjadi cerita tutur. Itu adalah adalah
pertanyaan lainnya yang mesti diteliti agar mendapatkan jawaban yang sahih
sesuai ilmu pengetahuan.
Asumsi yang menyatakan bahwa kata “di lubuk” dan “umai” bersumber dari buku cerita rakyat berjudul “Putri Tujuh: Asal Mula Kota Dumai” yang
ditulis oleh Wahyuningrum dan diterbitkan oleh Balai Kajian & Pengembangan
Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit Adicita Karya Nusa pada tahun 2005. Akibatnya
sampai hari ini dikatakan bahwa masyarakat Dumai percaya bahwa asal mula nama
Kota Dumai berasal dari kata “di lubuk”
dan “umai”.
Apa ada penulis ceritanya menyertakan informasi
tentang referensi yang digunakannya ketika menuliskan cerita rakyat Kota Dumai. Berasal dari penuturan penutur
cerita rakyat atau membaca teks-teks sastra yang juga mengisahkan tentang
cerita rakyat berjudul Putri Tujuh.
Dari judul bukunya saja yaitu Putri Tujuh: Asal Mula Kota Dumai sudah
menimbulkan kesan seolah-olah ada fakta-fakta sejarah dalam bukunya. Frasa asal mula, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, berarti mula-mula sekali atau keadaan (sebab-sebab
dan sebagainya) yang semula. Ini berarti bahwa kalau ingin memberikan
informasi dan mengisahkan asal mula atau sejarah sahih, asli, dan benar tentang
asal mula nama Kota Dumai harus dengan pengkajian sejarah yang komprehensif dan
meneliti pelbagai sumber-sumber sejarah lisan juga tulisan yang mungkin ada
tersimpan di tempat-tempat penyimpanan arsip lokal, nasional, dan
internasional.
Pemberian informasi dan pengisahan sejarah asal
mula nama kota maupun kabupaten yang hanya berdasarkan asumsi-asumsi dan
khayalan-khayalan adalah tindakan yang tidak sesuai menurut ilmu sejarah dan
dasar hukum penulisan sejarah lokal.
Cerita rakyat yang ditulis kembali, atau disadur
dari cerita-cerita tutur dari suatu kelompok masyarakat, yang kemudian
disepakati dan disetujui sebagai cerita rakyat, adalah cerita fiksi, cerita
yang lebih banyak unsur khayalannya. Cerita rakyat yang juga bagian dari
tradisi lisan tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber untuk mengkaji
sejarah tentang sesuatu.
Apa satu-satunya sumber informasi sejarah
tertulis tentang asal nama Kota Dumai hanya berasal dari cerita rakyat Putri
Tujuh yang ditulis oleh Wahyuningrum,
atau jangan-jangan masih ada sumber-sumber informasi lainnya. Padahal untuk
menulis sejarah lokal, yang sudah ada pedoman penulisan sejarahnya, harus
melewati serangkaian tata cara, dan dengan mengkaji informasi-informasi dari
lima bentuk sumber sejarah yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata tentang Pedoman Penulisan Sejarah Lokal.
Sebelum mengiyakan dan menyetujui bahwa kata “Dumai” berasal dari kata “di lubuk” dan “umai”, sebaiknya Pemerintah Kota Dumai melaksanakan pengkajian
tentang siapa pengarang, dan berapa usia cerita rakyat Putri Tujuh yang asli,
dan membedakannya dari cerita rakyat Putri Tujuh versi saduran, dan versi
pengembangan.
Pengkajian sejarah asal mula nama Kota Dumai dan
pengkajian cerita rakyat Putri Tujuh yang dinyatakan sebagai legenda adalah dua
hal yang berbeda, kecuali kalau sahih bahwa kata-kata “di lubuk” dan “umai”
adalah asal mula nama Kota Dumai. Siapa yang pertama sekali menyatakan pendapat
bahwa asal mula nama Kota Dumai berasal dari kata “di lubuk” dan “umai”?
Bukankah itu bersumber dari sebuah cerita yang bisa saja, mungkin, disadur dari
cerita rakyat Putri Tujuh yang asli. Bagaimana pula dengan adanya sumber-sumber
sejarah tertulis dan lisan lainnya yang mempunyai informasi tentang kata “Doemei”.
Apa memang sahih bahwa cerita rakyat Putri Tujuh
yang asli memuat kisah tentang asal mula nama Kota Dumai, atau mungkin amanat
utama yang lain dalam kisahnya.
Saya pernah membaca bahwa ada kata “Doemei” dari
sebuah sumber tertulis dalam berbahasa Belanda. Sumber informasi tertulis itu
berjudul Lijst van Plaatsnamen in NEDERLANDSCH-INDIE
oleh B.WIERINGA yang dibuat GEDRUKT BIJ, MERCURIUS, BATAVIA pada tahun 1911 ). Pada halaman 64 tertulis informasi yaitu Doemei W.v. Bengkalis (Tandjongpinang) res.
S.O.K. str Roepat
(http://www.zwp-lbstudie.nl/ned-indie/history/1911-wieringa/Wieringa-1911-em-2e.pdf)
(http://www.zwp-lbstudie.nl/ned-indie/history/1911-wieringa/Wieringa-1911-em-2e.pdf)
Apa sumber informasi tersebut asli dan benar,dan
kata “Doemei” tersebut adalah kata keterangan tempat untuk wilayah yang
sekarang disebut sebagai Kota Dumai? Itu adalah wewenang pakar-pakar sejarah dan
ahli-ahli arsip untuk menyatakan keaslian dan kebenarannya.
Dari aspek ejaan saja, antara kata “doemei” dan “umai” sudah jauh berbeda, tetapi sangat cocok ketika ejaan “doemei” berubah menjadi “dumai”. Pertanyaan baru yang muncul
adalah perihal etimologi kata “doemei”.
Pertanyaan lainnya adalah darimana dan siapakah kelompok masyarakat yang pertama sekali menuturkan
kata “doemei”. Hal ini tentu adalah ranahnya pakar-pakar
bahasa yang khatam dan berkualifikasi dalam etimologi.
Apa mungkin kata “Doemei” yang ada dalam sumber tertulis tersebut adalah asal mula
namanya, kemudian sekarang menjadi “Dumai”?
Ini patut dikaji. Saya berpendapat bahwa masih ada kecenderungan
menerima begitu saja informasi tentang sejarah tanpa melaksanakan pengkajian.
Hal tersebut yang menjadi alasan lainnya mengapa
saya menolak mempercayai dan meyakini bahwa asal mula nama Kota Dumai bersumber
dari cerita rakyat berjudul Puteri Tujuh:
Asal Mula Kota Dumai yang ditulis oleh Wahyuningrum.
Tidak perlu pula malu, gengsi, dan seolah-olah terkena
amnesia sejarah, kalau berdasarkan fakta-fakta dalam sejarah bahwa sebelum
mendirikan Republik Indonesia, ada banyak Kerajaan dan Kesultanan yang saling
menaklukkan, dikalahkan dan dijajah oleh penjajah. Sejarah bangsa ini tidak
boleh digelapkan karena salah satu tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara
Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Asal mula dan asal usul sebuah kata, seperti
nama dan kata “Dumai”, harus diteliti dari pelbagai sumber, bukan hanya
mengiyakan dari sebuah atau beberapa asumsi yang belum dibuktikan kebenarannya
secara ilmiah.
Kalau memang asal nama kota Dumai memang
bersumber dari cerita rakyat Putri Tujuh yang ditulis oleh Wahyuningrum, mengapa
tidak ada publikasi resmi dari Pemerintah Kota Dumai tentang kajian sejarah dan
kajian bahasa asal mula nama Kota Dumai. Sejarah ditulis dengan mengkaji
sumber-sumber sejarah tertulis dan sumber-sumber sejarah lisan dari pelbagai
lokasi tempat penyimpanan sumber sejarah, bukan semata-mata bersumber dari
asumsi-asumsi dan khayalan-khayalan.
Cerita rakyat sebagi tradisi lisan tentu lahir
dan dituturkan ketika ada rakyat yang hidup dan bermukim di suatu tempat. Apa
artinya? Ini berarti sejarah cerita rakyat yang cerita rakyat dijadikan sebagai salah satu sumber
informasi sejarah dapat diteliti dengan kaidah-kaidah ilmiah antropologi,
demografi, ilmu sejarah, ilmu arsip, ilmu bahasa, dan imu sastra.
Aspek yang mungkin dapat digunakan untuk membedakan
antara penulisan teks sejarah dan penulisan teks prosa “cerita rakyat” yang
mungkin lebih banyak unsur fiksinya adalah kata keterangan waktu. Kata
keterangan waktu dalam penulisan sejarah tidak sama halnya dengan menulis kata
keterangan waktu dan kata keterangan tempat dalam dongeng, atau cerita rakyat
yang mungkin lebih banyak khayalnya saja.
Contoh penulisan keterangan waktu dan kata
keterangan tempat dalam penulisan kalimat sejarah, menurut saya, misalnya
seperti: Soekarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Penggunaan kata keterangan waktu dan kata keterangan tempatnya sangat
berbeda dengan penulisan cerita rakyat, contohnya seperti: Dahulu kala ada seorang
rakyat jelata yang tutur dan tulisannya mengandung tanda-tanda tentang
kejadian-kejadian nan akan terjadi di Negeri
Antah-Berantah.
Kata-kata benda, keterangan tempat dan
keterangan waktu yang sengaja ditebalkan pada paragraf sebelumnya adalah untuk
memperlihatkan bahwa contoh kalimat pertama lebih kuat untuk dijadikan sumber
informasi sejarah dibandingkan dengan contoh kalimat kedua yang keterangan
benda, keterangan waktu, dan keterangan tempatnya berdasarkan khayalan.
Apa gunanya pembelajaran kaidah-kaidah ilmiah, kalau
sekarang saja masih ada yang memberikan informasi tentang sejarah asal mula
nama kota tanpa diuji kesahihan, keaslian, dan kebenarannya?
Cobalah baca halaman informasi di internet milik
Pemerintah DKI Jakarta yang secara terbuka mempublikasikan sejarah dan
kronologi asal mula nama Kota Jakarta.
Penulisan sejarah itu ada dasar hukumnya dan
metodenya. Silakan baca, pelajari, dan
pahami Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.46/UM.001/MKP/2009
tentang Pedoman Penulisan Sejarah Lokal. Entahlah kalau sekarang Undang-Undang,
Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan dasar hukum terbaru yang mengatur tata cara penulisan sejarah lokal.
Sekiranya ada pihak yang menuliskan sejarah
lokal, namun belum diuji kesahihan, keaslian, dan kebenarannya menurut
peraturan yang telah ditetapkan, dan kemudian mempublikasikan sebagai sejarah
hingga membuat masyarakat menjadi percaya bahwa hal tersebut adalah sejarah,
itu berarti pihak tersebut sudah membohongi masyarakat.
Akan tetapi, karena saya bukan pakar sejarah,
sebaiknya Pemerintah Kota Dumai meminta bantuan dari pakar-pakar sejarah dan
pakar-pakar bahasa untuk membuat pengkajian sejarah dan bahasa tentang asal
mula nama Kota Dumai. Kalau pengkajian sejarah dan bahasanya sudah dilaksanakan,
dan kemudian disahkan kesahihan, keaslian, dan kebenarannya, barulah
dipublikasikan tentang sejarah asal nama Kota Dumai. Sejarah asal mula nama
Kota Dumai juga harus punya dasar hukum.
Warga negara saja kalau anak-anaknya lahir
diwajibkan untuk mengurus akte kelahiran sesuai dengan dasar hukumnya agar ada
data kependudukan dan dapat ditelusuri sejarah kelahirannya. Lantas, apa yang
akan Pemerintah Kota Dumai kerjakan untuk dapat memberikan informasi sejarah
asal mula nama Kota Dumai yang asli dan benar bagi masyarakat Dumai?
Atau mungkin kata “Dumai” bukan berasal dari kata “di lubuk” dan “Umai”, tetapi mungkin dari kata “Amai”, “Kumai”, atau “Lumai” ? Itu juga mesti dikaji kalau
memang berniat memberikan informasi sejarah nan asli dan benar.
Saya tidak mempertanyakan tentang ketersediaan
buku-buku sejarah Kota Dumai yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk
membuatnya, namun baru sebatas sejarah asal mula nama Kota Dumai. Akan tetapi, alangkah
sangat baik dikaji dan dipublikasikan, kalau sekiranya Pemerintah Kota Dumai
mengetahui dan memiliki sumber-sumber informasi tertulis berupa bundelan surat
kabar, arsip-arsip informasi, naskah-naskah, manuskrip-manuskrip, dan buku-buku
tentang sejarah Kota Dumai dan juga sejarah asal mula nama Kota Dumai.
Kata Nugroho Notosusanto, sastrawan
Indonesia, dalam sebuah surat kabar lama
(yang saya lupa nama surat kabar, edisi, dan tahun terbitnya) bahwa sejarah
berisikan kisah, peristiwa, dan pelajaran. Itu berarti setiap kisah tentang
peristiwa yang sudah terjadi di masa lampau selalu mengandung hikmah yang
bermanfaat untuk sebagai pelajaran.
Saya berpendapat bahwa fungsi sastra adalah
untuk menghibur dan mendidik, bukan sebagai alat pembodohan dan pembohongan,
juga tidak sebagai pemaksaan dominasi
dan hegemoni kebudayaan tertentu. Betapa jahilnya kita kalau menjadikan
karya-karya sastra sebagai alat pembodohan.
Mengapa saya tertarik menyampaikan pernyataan dan
pertanyaan perihal sejarah asal mula nama Kota Dumai? Karena saya adalah warga
Dumai yang gemar membaca karya-karya sastra dan buku-buku yang berisikan
informasi-informasi sejarah. Itu saja, tidak lebih dan tidak kurang.
Alangkah malunya kita kalau kelak ada anak cucu
cicit, wisatawan-wisatawan domestik dan mancanegara, kalangan investor di
sektor pariwisata dan kebudayaan, dan pencinta-pencinta sejarah bertanya
perihal sejarah asal mula nama dan sejarah kota kita, tetapi kita tidak dapat
menjawab dan memberikan informasi nan sahih, asli, dan benar sesuai menurut
kaidah-kaidah ilmiah.
Semoga ahli-ahli sejarah, pakar-pakar bahasa, dan
kalangan jurnalis juga dapat membantu Pemerintah Kota Dumai untuk memberikan
informasi yang sahih, asli, dan benar tentang asal mula nama Kota Dumai bagi
masyarakat Dumai.
Apa yang saya tanyakan dan nyatakan dalam
tulisan ini mudah-mudahan juga bermanfaat bagi kalangan pemerintah daerah di
Provinsi Riau agar cermat perihal publikasi informasi dan penulisan sejarah,
khususnya asal mula nama Kota dan Kabupaten, yang mestinya dikaji berdasarkan
ilmu sejarah dan etimologi.
Terima kasih.
Alaika salam.
* Semoga pihak-pihak yang melaksanakan Penulisan Peristiwa Sejarah, Pengumpulan Sumber Sejarah, Penulisan Tokoh Sejarah, dan Penerbitan Buku-Buku Sejarah JUJUR, ADIL, dan ILMIAH demi TUJUAN MENCERDASKAN ANAK BANGSA, bukan hanya semata-mata untuk mendapatkan laba proyek atau semata-mata untuk kepentingan politik tertentu. Bangsa kita sudah 74 tahun merdeka, berilah sejarah yang JUJUR tanpa REKAYASA. Pihak yang paling berkualifikasi dalam semua itu adalah pakar-pakar sejarah, bukan ahli berpikir dengan AKAL-AKALAN.
Beberapa PERATURAN terbaru yang menggantikan PERATURAN-PERATURAN sebelumnya adalah 1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2016 tentang Pedoman Penulisan Peristiwa Sejarah., 2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengumpulan Sumber Sejarah., 3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Pedoman Penulisan Tokoh Sejarah.
Ketiganya bisa diunduh pada tautan: JDIH Kemdikbud
*(Ditambah pada tanggal 24 Maret 2019)
* Semoga pihak-pihak yang melaksanakan Penulisan Peristiwa Sejarah, Pengumpulan Sumber Sejarah, Penulisan Tokoh Sejarah, dan Penerbitan Buku-Buku Sejarah JUJUR, ADIL, dan ILMIAH demi TUJUAN MENCERDASKAN ANAK BANGSA, bukan hanya semata-mata untuk mendapatkan laba proyek atau semata-mata untuk kepentingan politik tertentu. Bangsa kita sudah 74 tahun merdeka, berilah sejarah yang JUJUR tanpa REKAYASA. Pihak yang paling berkualifikasi dalam semua itu adalah pakar-pakar sejarah, bukan ahli berpikir dengan AKAL-AKALAN.
Beberapa PERATURAN terbaru yang menggantikan PERATURAN-PERATURAN sebelumnya adalah 1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2016 tentang Pedoman Penulisan Peristiwa Sejarah., 2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengumpulan Sumber Sejarah., 3) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Pedoman Penulisan Tokoh Sejarah.
Ketiganya bisa diunduh pada tautan: JDIH Kemdikbud
*(Ditambah pada tanggal 24 Maret 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar