Bukan Sekadar
Risalah Dalam Rumah Keragaman
28 Desember 2012
Setelah saya bangun pagi dan membereskan perlengkapan (berupa tas yang berisikan pakaian sahaja kawan) maka Mas Dwi Rahariyoso yang
lebih akrab dipanggil dengan Mas Dwi atau Mas Yoso dan saya segera
sarapan pagi dan minum kopi di kantin Taman Budaya Jambi sambil
menunggu Tim LO menjemput. Sembari menikmati sarapan dan kopi masih
sempat sebentar bertemu seniman dan budayawan dari Sekintang Dayo dan
kawan-kawan lain. Pada saat yang bersamaan sedang disiapkan sebuah
kegiatan bertajuk Silaturrahimusik dan Baca Puisi sempena menyambut
hari Ulang Tahun Jambi ke-56 yang ditaja oleh Taman Budaya dan
Seniman Jambi bersama Teater Arena Taman Budaya Jambi serta beberapa
pengisi acara seperti home band Disbudpar Provinsi Jambi,
Sanggar Tari Bumi Dora dari Anjungan NTB Taman Mini Indonesia Indah
dan lain-lainnya.
Pada pukul 10.45 WIB Tim LO PPN VI datang dan menjemput kita sekalian singgah untuk menjemput Tina Aprida Marpaung, salah seorang penyair peserta PPN VI dari Taman Budaya Sumatera Utara di Medan.
Setibanya di lobi Hotel Ratu maka kamipun segera mendaftar ulang
untuk check in ngamar dalam Hotel Shang Ratu. Tiba-tiba ada yang
berteriak dari belakang…
“Jadi
ini maksudnya kau datang duluan ya? Mau ngambil foto-foto?”
Ketika
saya lihat ternyata yang berteriak adalah Bang Murdok, salah seorang
penyair dari Riau.
“Begitulah
Bang…Mau ambil foto-foto sebagai salah satu bentuk kenangan visual
dalam bentuk foto meski dalam kata-kata juga banyak imaji visualnya.
Sekalian belajar jadi tukang jepret.”
Tak
lupa saya jepret pula Bang Murdoknya.
Setelah
mendaftar ulang dan mendapatkan kamar 510 dengan teman sekamarnya
Zulkifli Songyanan maka siap-siaplah saya mau ke Shang Ratu Hotel.
Lalu terlihat ada Kang Acep Zamzam Noor yang sedang registrasi pula
maka dijepret pula beliau. Sebelumnya sempat sebentar ngobrol
sebentar dengan Bang Murdoks. Dalam ngobrol yang sebentar itupun ada
didapat pesan dan nasehat. Luar biasa masih ada orang tua yang mau
memberikan nasehat-nasehat yang muda-muda ini. Begitulah hendaknya
keindahan dalam hidup bahwa bukan yang muda-muda memberikan nasehat
kepada yang tua namun orang tua yang punya kewajiban menasehati yang
muda. Ah, jadi ingat cerita Rengasdengklok sebelum Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang dibaca dalam buku-buku sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Merdeka! Sekali Merdeka Tetap Merdeka! Inilah
salah satu bentuk hasil kemerdekaan itu bahwa kegiataan-kegiatan
kesastraan seperti PPN VI ini dapat diselenggarakan dengan aman dan
nyaman. Kalau dulu? Pastilah menir-menir mengirimkan pasukannya untuk
membubarkan paksa kumpulan anak bangsa Indonesia yang hendak
berkumpul dan berserikat. Dasar penjajah! Penjajah sialan! Penjajah
sialan !!!
Setibanya
di lantai lima maka segera saya menuju kamar dan mandi untuk
bersiap-siap shalat Jumat. Mas Yoso sudah pesan agar kalau mau
Jumatan bareng saja. Mas Yoso berada di lantai tiga. Kamipun sempat
bertanya dengan petugas keamanan hotel dan LO PPN VI dimana Masjid
terdekat. Masjidnya berada dekat sebuah lorong (gang) sesudah Kantor
Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Jambi tak jauh dari Hotel. Mungkin
sekitar delapan menit dengan berjalan kaki.
Saat
hendak mengambil wudhu tiba-tiba bedug dipukul sebagai penanda waktu
shalat Jumat sudah masuk. Bunyi bedug itu menyadarkan saya bahwa
memang Tuhan Tak Pernah Mati sebab Tuhan telah mati hanya dalam hati
dan pikiran manusia-manusia yang ingin mendustai asal muasal nurani
dan ruhaninya sehingga dapat maujud di atas muka bumi ini. Sudah lama
saya tak mendengar bunyi bedug yang mengalun jauh ke dalam kalbu
untuk segera sadar bahwa rasa syukur mesti dilakukan setiap detik
kehidupan….”Ampunkan dosa-dosa kami Ya Allah Yang Maha
Pengampun…”.
Sepulang
shalat Jumat, Mas Yoso dan saya segera kembali ke Hotel. Mas Yoso
agaknya akan beristirahat sejenak sebelum makan siang bersama dengan
kawan-kawan peserta PPN VI lainnya. Saya sendiri setelah berganti
pakaian segera turun dan keluar dari area Hotel dengan berjalan kaki
sembari mencari rumah makan dan menikmati sejuknya udara di Jambi.
Saya makan di sebuah Rumah Makan yang menyediakan menu berbagai jenis
pindang ikan Gabus, Toman, Patin, pepes tempoyak dan berbagai kuliner
Nusantara lainnya. Alamak, sedap nian tapi tak dapatlah saya
bertambuh-tambuh makannya sebab tepuk dada tanya selera
lagi…ha…ha..ha. Padahal Panitia PPN VI sudah menyiapkan makan
siang, agaknya saya tak tahan ingin menikmati kuliner yang ada
diluar.
15.30
WIB , Konferensi Pers PPN VI Jambi
Saya
lihat Bang Jumardi selaku Sekretaris PPN VI Jambi telah
memberitahukan bahwa Konferensi Pers akan dimulai dan saya meminta
ijin kepadanya untuk dapat turut serta menyaksikan. Alhamdulillah,
Bang Jumardi mempersilahkannya. Terlihat ada Ketua Umum Dewan
Kesenian Jambi, Zahari Aswan, Ramayani selaku Direktur PPN VI,
Manajer PPN VI yakni Bang Firdaus, Sekretaris PPN VI yaitu Jumardi
Putra, Maizar Karim, Acep Zamzam Noor, Gus TF, Dimas Arika Mihardja,
Ahmadun Yosi Herfanda, Faruq, Etienne Naveau, Ahda Imran, Marsli NO,
Afrion, Bunda Rohadi Din dan beberapa jurnalis dari berbagai media
cetak.
Sekitar
pukul 15.55 WIB (versi arloji saya) Konferensipun selesai ditutup oleh Ketua Dewan Kesenian Jambi, Zahari Aswan dengan
membacakan pantun,
Batanghari airnya tenang
Sungguhpun tenang deras ke tepi
Anak-anak Jambi jangan dikenang
Kalau dikenang InsyaAllah meracun hati
Mantap
pula pantunnya. Beberapa kali saya mendengar Pak Zahari Aswan
membacakan pantun-pantun yang diawali dengan Batanghari airnya
tenang….
Segera
setelah keluar dari ruangan Konferensi Pers maka saya menuju kamar
501. Tak lama berselang saya menatap pemandangan sebuah danau dan
Batanghari lalu ada Tim LO datang bersama salah seorang peserta PPN
VI yang akan menjadi teman sekamar saya. Dia bukan Zulkfili
Songyanan. Kawan itu bernama Wahyu Arya yang berasal dari Banten. Dia
adalah Ketua Kubah Budaya dan juga salah satu penulis Indonesia yang
diundang hadir dalam UWRF 2011 di Bali sebagai eseis. Lalu masih ada
seorang teman lagi dari Banten yang bernama Assyafa Jelata namun dia
menginap di kamar yang berlainan. Dari Wahyu Aryalah saya mendapatkan
Buku Kumpulan Esai karyanya sendiri yang berjudul Sebuah Pintu yang
Terbuka, Kumpulan Esei Wan Anwar yang berjudul Perjumpaan Dengan
Banten yang kata pengantarnya ditulis oleh Wahyu Arya sekaligus
Pemeriksa Aksara dari Buku yang diterbitkan oleh Kubah Budaya. Selain
itu ada Majalah Surosowan Edisi Khusus, sebuah Ruang Pijak Sastra
dari Banten yang pimpinan umumnya Gol A Gong dan dikelola oleh Rumah
Dunia.
Saya
waham bahwa kebanyakan peserta PPN VI membawa buku-buku berupa
kumpulan esei, puisi, cerpen, novel maupun buku-buku lainnya. Saya
yang belum pernah membuat buku ini tidak kehilangan semangat pula
sebab jauh-jauh hari saya telah memfotokopikan beberapa lembar kertas
yang memuat puisi-puisi saya dalam Sang Pembangkang dan beberapa
puisi yang pernah dikirim kepada beberapa panitia kegiatan sastra.
Saya menyerahkannya kepada Wahyu Arya. Terima kasih kepada Kang Wahyu
Arya yang acap kali menahan kantuknya mendengar “monolog” saya
dalam diskusi padahal mestinya saya juga banyak mendengarkan lagi.
Ha..ha..ha…Agaknya
sudah lama saya mendengarkan saja dan sekarang adalah saatnya saya
untuk banyak berbicara baik melalui suara dan aksara dalam fiksi
maupun non fiksi. Saya bukan wartawan dan fotografer Pak meski sedang
gemar mengambil foto-foto untuk kenang-kenangan. Kebetulan ada salah
seorang penyair di PPN VI yang menyebutkan bahwa saya ini wartawan.
Sebelum mengambil foto-foto minta ijin dulu..ha..ha..ha. Dulu ada
entah dimana saya melihat orang-orang mengambil foto-foto saya tanpa
ijin…Entahlah untuk apa foto-foto itu? Padahal saya bukan
selebritis.
PPN
VI di Jambi ini juga menyelenggarakan bazar buku dari berbagai
penerbit dan dari pribadi-pribadi yang hadir dalam helat yang
dihadiri penyair-penyair, pemakalah, peninjau dan jurnalis dari tujuh
negara. Saya mesti tepuk dada tanya selera lagi nanti saat mau
membeli buku-buku sebab pasti banyak judul bukunya.
Ha..ha..ha..Mudah-mudahan ada yang sedang promo buku-bukunya. Amiin.
(Foto-Foto: Dokumentasi Hukmi99)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar