09/04/13

Jendela-Jendela Dunia dari Pertemuan Penyair Nusantara VI

Buku adalah jendela dunia. Membaca itu membuka jendela informasi (slogan Bulan Bahasa dan Sastra 2012). Semboyan itu untuk saya berarti bahwa dengan membaca buku-buku maka seseorang akan dapat melihat banyak hal di dunia ini. Melihat tidak hanya dalam artian secara visual namun lebih kepada melihat melalui pemikiran dan perenungan. Melihat secara visualpun tetap bermuara pada pemikiran dan perenungan.

Buku-buku yang pertama saya dapatkan saat mendaftar ulang kehadiran di PPN VI adalah Buku Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI SAUK SELOKO sebanyak satu eksemplar, Jurnal Budaya SELOKO terbitan Dewan Kesenian Jambi sebanyak satu eksemplar, Buletin TEMBILANG Edisi II November 2011 dan Edisi IV April 2012, Booklet Krinok, Booklet Uniquely of Swarnabhumi “Keagungan Melayu Jambi”, Booklet Musikalisasi SELOKO sempena PPN VI 28-31 Desember 2012. Sedangkan Buku Panduan PPN VI baru didapatkan pada Malam Pembukaan PPN VI di Rumah Dinas Gubernur Jambi.

Buku-buku yang pertama saya beli adalah Kumpulan Esei karya Wahyu Arya yang berjudul Sebuah Pintu Yang Terbuka dan Kumpulan Esei karya Wan Anwar yang bertajuk Perjumpaan Dengan Banten. Lalu ada dua buah novel berjudul Perasaan Orang Banten karya Hafis Azhari serta tiga eksemplar Majalah Surosowan Edisi Khusus dari Banten. Novel dan majalah tersebut diberikan secara gratis oleh Wahyu Arya yang merupakan Ketua Kubah Budaya dari Banten. Terima kasih ya Kang. Kata “gratis” mengingatkan saya kepada sinar matahari yang diberikan gratis oleh Sang Pencipta. Sejak tanah, air dan udara perlahan-lahan mulai dijadikan komoditas dan diperjualbelikan maka semoga kelak sinar matahari tidak diperjualbelikan oleh manusia. Saya tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi di muka bumi ini kalau nanti tanah, air, udara dan sinar matahari dicatu dalam penggunaannya.
Beberapa Jendela Dunia
Buku Kumpulan Esai “Pintu yang Terbuka” oleh Wahyu Arya dan Kumpulan Esei “ perjumpaan dengan banten” oleh Wan Anwar menurut saya wajib dan sangat keren dibaca oleh siapa saja yang ingin menikmati sastra Indonesia khususnya kalangan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra, akademisi, pembelajar/ guru Bahasa dan Sastra, penulis pemula (seperti saya), penikmat tulisan kreatif, kawan-kawan yang sedang bersemangat menulis esai maupun kritik sastra dan masyarakat Indonesia yang gemar membaca dan menulis pada umumnya. Pada “Pintu yang Terbuka” ada 8 esai sedangkan dalam “perjumpaan dengan banten” ada 33 esei. Saya masih mempelajari kosa kata Sunda agar dapat mengetahui arti dari esei yang berjudul Obor Banten: Terbitnya Damar.

Beberapa esei Wan Anwar yang sangat menarik untuk saya seperti Tegak Sebagai Pribadi, Esei dan Pelajaran Demokrasi, Abad kebangkitan, Kelisanan dan Literasi Masyarakat Kita, Menggali Akar Menuju Luar, Pembelajaran Sastra: Keriangan dan Kearifan, Menjumpai (yang) Sembunyi Sampai Mati, Sastra Buruh dan Perayaan Kesadaran dan Sastra Islam Kita.

Pada “Pintu yang Terbuka” tentu kedelapan tulisan Wahyu Arya sangat menarik untuk saya. Kedua buku kumpulan esai ini patut menjadi pilihan untuk kawan-kawan yang sedang berenang dalam proses kreatif menulis esai.

Dahaga saya untuk menikmati kata-kata yang penuh makna dan penuh dengan pencerahan telah basah kembali dengan membaca kedua buku kumpulan esai tersebut. Saya jadi teringat dengan saat-saat indah membaca majalah-majalah, komik-komik dan puluhan media alternatif (ha..ha..ha..manusia mana yang dapat melepaskan dirinya dari romantisme dan nostalgia?). Saya tidak menerapkan aturan pembatasan dalam memilih sebuah bacaan. Apa yang dapat dibaca akan saya baca. Setelah dibaca barulah saya saring isinya sesuai dengan saringan yang ada dalam kepala dan dada saya. Membaca dan menulis merupakan dua aktivitas yang sangat menyenangkan (saat ini) untuk saya. Jadi kalau ada yang melarang saya membaca dan menulis itu artinya membatasi hak saya sebagai warga negara.

Buku lainnya yang saya dapat adalah Buku Bunga Rampai Makalah Pertemuan Penyair Nusantara VI yang berjudul Mengangkat Batang Terendam. Kalau di tempat asalnya Pak Syarifuddin Arifin, Pinto Anugrah, M. Ibrahim Ilyas dan kawan-kawan biasanya ungkapan yang menjadi judul buku itu berbunyi “Mambangkik Batang Tarandam”. Dulu pernah ketika saya pernah berjalan-jalan di seputaran Tanjung Ampalu, Solok, Padang, Pariaman, Kayu Tanam, Bukittinggi, Agam dan Payakumbuh lalu sempat mendengarkan orang-orang tua berdiskusi mengenai hal ihwal Mambangkik Batang Tarandam. Dalam ungkapan itu termuat filosofi yang sangat, sangat, sangat dalam dan bermanfaat jika benar-benar diwujudkan dalam kehidupan. Entahlah…saya kalau ditanya orang dimana “kampung” maka saya jawab di Kota Dumai, Riau. Padahal ada pula kawan-kawan yang agaknya kesal kalau saya menyatakan diri sebagai anak jati Dumai yang bermastautin di Dumai. Kalau ada yang bertanya lagi dimana kampung? Saya jawab Indonesia. Kalau ada yang masih bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama maka saya jawab “kampung” saya di muka Bumi sebagai rumah manusia, rumah kebudayaan, rumah kekaryaan, rumah keragaman, rumah mahluk hidup dan sekalian benda mati. Ironisnya, rumah yang bernama Bumi ini hendak dieksploitasi habis-habisan dan dijadikan medan pertempuran oleh keturunan Nabi Adam a.s dan Hawa. Pertempuran dalam kata-kata dan tindakan yang berbagai ragam pula.

Ketika selesai mengikuti Seminar Sesi IV A dengan tema Puisi Nusantara dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra dengan Pembicara Prof. Dr. Hasanuddin WS, Phaosan Jehwae, Ph.D dan Firman Venayaksa maka saya segera menghampiri Kang Acep Syahril yang sebelumnya pada saat sesi tanya jawab di Seminar sempat memberikan beberapa pernyataan terkail hal ihwal dunia apresiasi sastra. Pernyataan-pernyataannya itu sangat menarik hati saya sampai-sampai sayapun hendak bertanya beberapa hal dengan beliau. Alhamdulillah, beliau mau memberikan beberapa tunjuk ajar dan sebuah buku berjudul TUMBUH – Apresiasi dari Ruang Kelas karya Kang Acep Syahril. Buku ini memuat puisi-puisi karya pelajar SD, SMP, MTs, SMA, SMK dan MA maupun yang sederajat dan mendapatkan apresiasi langsung dari Kang Acep Syahril dalam bentuk tulisan. Salah satu puisi dalam buku ini merupakan karya dari pelajar SMA N 8 Pekanbaru. Semoga upaya dan kerja keras Kang Acep Syahril dalam menggeliatkan semangat dan menumbuhkan kreativitas siswa-siswa melalui Buku TUMBUH dapat pula diimplementasikan di Kota Dumai maupun daerah-daerah lain di Indonesia. Semoga Ibu dan Bapak Guru yang berkompetensi dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk semakin kreatif pula dalam menumbuhkembangkan kreativitas pelajar-pelajarnya. Sudah ada dana BOS kan? Rajin-rajin belajar dan membaca agar lulus Ujian Kompetensi Guru (UKG) ya…ha..ha..ha…Kalau kurang dana BOS minta tambah lagi biar semakin banyak kreativitas siswa dan guru yang dapat dikembangkan. Dana BOS jangan dikorupsi pula nanti marah besar Bos besar..ha..ha..ha.

Jika tak lulus UKG, silakan belajar dan ikut pelatihan lagi. Malu kita nanti masa Ibu dan Bapak Guru tidak lulus UKG. Ketawa-tawa muridnya (yang nakal) sambil berkata “Ibu dan Bapak Guru saja tidak lulus UKG lalu macam mana pula kita hendak menjadi lulusan yang berkompetensi dalam pembelajaran?”

Kang Acep sempat menyebutkan diksi “Mawar, Gelas”…”Mawar, Gelas” saat duduk bersama menikmati kopi dengan kawan-kawan penyair lainnya. Banyak gelas memang saat itu. Tapi entahlah tak ada sekuntum bunga Mawar yang saya lihat. Agaknya Mawar-Mawar enggan bermekaran sebab takut layu dan dilayukan setelah mekar. Ah, dalam benak ada diksi-diksi Mawar Putih, Mawar Hitam, Mawar Merah, Mawar Berduri, Mawar Abadi, Mawar Kertas, Mawar Plastik. Ah, agaknya ada sekuntum atau beberapa kuntum Mawar di Taman penuh Tulip, Kamboja dan Melati. Tambah panjang pula kalau saya ingat diksinya “Mawar”. Terima kasih atas Bukunya Kang Acep.

Malam Penutupan PPN VI yang ditutup secara resmi oleh Wakil Gubernur Jambi. Satu hal yang sangat menarik bahwa Wakil Gubernur Jambi juga membacakan pantun dan syairnya dalam Malam Penutupan PPN VI. Kata beliau alangkah semakin semaraknya jika peserta-peserta PPN juga dapat mengenakan busana dan pakaian khas daerah masing-masing agar tampak pula luar dalam tema Nusantaranya. Lain kali agaknya dapat diwujudkan yang seperti itu. Memang diantara peserta dan panitia PPN VI ada yang dari hari pertama mengenakan pakaian khas daerah masing-masing namun yang lain masih berpakaian bebas sesuai dengan selera dan gaya masing-masing. Mana pula bisa penyair-penyair diseragamkan meski hanya dengan mengenakan busana tradisional masing-masing? Macam dalam barak pula nanti kalau pakai seragam. Keragaman tak mesti seragam. Keragaman tak bisa disamakan dalam satu warna. Keragaman bisa disatukan dalam sebuah bingkai dan lebih dari satu bingkai selama bingkainya tak saling terlibat konflik kepentingan. Keragaman sudah ada sejak iblis tak mau sujud kepada Nabi Adam a.s. Keragaman sudah lama ada jauh sebelum demokrasi dijadikan dalih untuk menguasai sumber daya alam di berbagai belahan muka bumi ini. Keragaman bukan barang baru. Keragaman tak mesti ditakutkan sama halnya dengan perubahan. Katanya dunia sedang berubah sangat dan terlalu cepat hingga yang tak mau berubah bakalan tenggelam seperti bencana yang dialami oleh kaum Nabi Nuh a.s dan kaum-kaum lainnya.

Sesaat setelah acara penutupan selesai, saya menghampiri Prof. Dr. Faruq, salah satu Dewan Kurator makalah untuk Seminar PPN VI. Apa hal yang hendak saya tanya ke beliau? Saya mau bertanya jika beliau ada nulis buku yang baru mengenai pendekatan atau telaah sastra. Saya bilang dulu saat studi saya pernah membaca tulisan beliau mengenai dekonstruksi. Alhamdulillah, beliau mengajak saya ke kamarnya untuk mengambil sebuah buku karyanya yang berjudul Metode Penelitian Sastra yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar. Agak lucu rasanya udah lama saya selesai studi di jurusan sastra asing sekitar hampir delapan tahun barulah teringat nak membeli buku-buku lagi..ha..ha..ha…Kalau dulu asyik nak main pinjam punya kawan dan dosen saja. Kadang-kadang lama pula minjamnya. Sekarang sudah ada jalan lain untuk meminjam buku-buku kategori sastra fiksi dan non fiksi di Perpustakaan Kota Dumai yang jumlah judulnya sekitar 800 judul buku. Semoga dapat pula ditambah judul dan koleksi bukunya sekalian dibangun Perpustakaan Kota Dumai yang lebih memadai serta Pustaka-Pustaka Kelurahan agar semakin terbuka pintu dan jendela dunia melalui buku-buku di Kota Dumai.

Terima kasih Prof. Faruq atas bukunya. Padahal saya nak bertanya tentang dekonstruksi dalam telaah sastra kepada beliau namun tak pas pula waktunya. Lain kali saya tanya melalui surat elektronik saja.

Jendela lainnya yang saya peroleh adalah Buku Kumpulan Puisi “Ijab Kabul Pengantin” karya Hafney Maulana. Beliau adalah salah seorang penyair dari Tembilahan, Riau. Buku yang berisikan 75 puisi karangan Hafney Maulana ini diterbitkan oleh Penerbit Forum Aktif Menulis (FAM) Publishing. Ada sebuah Lukisan Mawar dan Mawar dalam buku ini yang patut dinikmati oleh kawan-kawan penikmat puisi dan sastra pada umumnya.

Masih banyak jendela yang belum dapat saya buka melalui PPN VI Jambi. Dua folder berisikan foto-foto jendela dunia yang ada pada bazaar buku di PPN VI Jambi tidak dapat dilihat lagi sebab ternyata oh ternyata flash drive saya rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi. Nanti akan saya coba hubungi satu persatu pemilik jendela itu agar saya dapat melihat pula dunia ini melalui jendela-jendela yang telah mereka buka. Semoga bermanfaat pula tulisan saya dalam blog ini (meski ada pula yang menyatakan tulisan-tulisan dalam blog adalah tulisan-tulisan yang apkir, dengan artian tulisan yang tidak dapat dipakai, tulisan yang ditolak dan ditampik. Kalau ada yang menolak atau menampik tulisan-tulisan dalam blog ini silakan ditulislah penolakan dan penampikannya).

Terima kasih kepada kawan-kawan yang telah mau berbagi jendela-jendela dunianya kepada saya dan khususnya untuk kawan saya yang menyatakan bahwa tulisan-tulisan di blog adalah tulisan yang apkir. Kata “apkir” itu membuat saya menjadi berpikir. Berpikir tentang alasan mengapa menjadi “apkir”? Apa sebabnya ditolak dan ditampik? Agaknya tersebab tulisan-tulisan yang dikatakan “apkir” tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan dalam sastra atau diduga tidak sesuai dengan “selera” pihak tertentu? Entahlah. Entahlah yang entang pungkang (meminjam istilah dari Agoes S. Alam).

Saya sendiri masih menyusun “jendela-jendela” agar nanti dapat pula dimanfaatkan orang lain untuk melihat “dunia” dari sudut pandang saya yang masih penulis pemula ini. Bukan saya hendak bersembunyi dan menyembunyikan kelemahan-kelemahan yang ada dalam menulis dengan dalih “penulis pemula” namun lebih baik saya mengakui bahwa saya adalah penulis pemula sehingga diharapkan akan banyak mendapat saran dan kritikan atas apa yang saya tulis.

AHRAS, Dari Dumai Cinta Damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar