Buku
adalah jendela dunia. Membaca itu membuka jendela informasi (slogan Bulan Bahasa dan Sastra 2012). Semboyan itu untuk saya berarti bahwa dengan
membaca buku-buku maka seseorang akan dapat melihat banyak hal di
dunia ini. Melihat tidak hanya dalam artian secara visual namun lebih
kepada melihat melalui pemikiran dan perenungan. Melihat secara
visualpun tetap bermuara pada pemikiran dan perenungan.
Buku-buku
yang pertama saya dapatkan saat mendaftar ulang kehadiran di PPN VI
adalah Buku Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI SAUK SELOKO
sebanyak satu eksemplar, Jurnal Budaya SELOKO terbitan Dewan Kesenian
Jambi sebanyak satu eksemplar, Buletin TEMBILANG Edisi II November
2011 dan Edisi IV April 2012, Booklet Krinok, Booklet
Uniquely of Swarnabhumi “Keagungan Melayu Jambi”, Booklet
Musikalisasi SELOKO sempena PPN VI 28-31 Desember 2012. Sedangkan
Buku Panduan PPN VI baru didapatkan pada Malam Pembukaan PPN VI di
Rumah Dinas Gubernur Jambi.
Buku-buku
yang pertama saya beli adalah Kumpulan Esei karya Wahyu Arya yang
berjudul Sebuah Pintu Yang Terbuka dan Kumpulan Esei karya Wan Anwar
yang bertajuk Perjumpaan Dengan Banten. Lalu ada dua buah novel
berjudul Perasaan Orang Banten karya Hafis Azhari serta tiga
eksemplar Majalah Surosowan Edisi Khusus dari Banten. Novel dan
majalah tersebut diberikan secara gratis oleh Wahyu Arya yang
merupakan Ketua Kubah Budaya dari Banten. Terima kasih ya Kang. Kata
“gratis” mengingatkan saya kepada sinar matahari yang diberikan
gratis oleh Sang Pencipta. Sejak tanah, air dan udara perlahan-lahan
mulai dijadikan komoditas dan diperjualbelikan maka semoga kelak
sinar matahari tidak diperjualbelikan oleh manusia. Saya tidak dapat
membayangkan apa yang akan terjadi di muka bumi ini kalau nanti
tanah, air, udara dan sinar matahari dicatu dalam penggunaannya.
Beberapa Jendela Dunia |
Buku
Kumpulan Esai “Pintu yang Terbuka” oleh Wahyu Arya dan Kumpulan
Esei “ perjumpaan dengan banten” oleh Wan Anwar menurut saya
wajib dan sangat keren dibaca oleh siapa saja yang ingin menikmati
sastra Indonesia khususnya kalangan mahasiswa jurusan Bahasa dan
Sastra, akademisi, pembelajar/ guru Bahasa dan Sastra, penulis pemula
(seperti saya), penikmat tulisan kreatif, kawan-kawan yang sedang
bersemangat menulis esai maupun kritik sastra dan masyarakat
Indonesia yang gemar membaca dan menulis pada umumnya. Pada “Pintu
yang Terbuka” ada 8 esai sedangkan dalam “perjumpaan dengan
banten” ada 33 esei. Saya masih mempelajari kosa kata Sunda agar
dapat mengetahui arti dari esei yang berjudul Obor Banten: Terbitnya
Damar.
Beberapa
esei Wan Anwar yang sangat menarik untuk saya seperti Tegak Sebagai
Pribadi, Esei dan Pelajaran Demokrasi, Abad kebangkitan, Kelisanan
dan Literasi Masyarakat Kita, Menggali Akar Menuju Luar, Pembelajaran
Sastra: Keriangan dan Kearifan, Menjumpai (yang) Sembunyi Sampai
Mati, Sastra Buruh dan Perayaan Kesadaran dan Sastra Islam Kita.
Pada
“Pintu yang Terbuka” tentu kedelapan tulisan Wahyu Arya sangat
menarik untuk saya. Kedua buku kumpulan esai ini patut menjadi
pilihan untuk kawan-kawan yang sedang berenang dalam proses kreatif
menulis esai.
Dahaga
saya untuk menikmati kata-kata yang penuh makna dan penuh dengan
pencerahan telah basah kembali dengan membaca kedua buku kumpulan
esai tersebut. Saya jadi teringat dengan saat-saat indah membaca
majalah-majalah, komik-komik dan puluhan media alternatif
(ha..ha..ha..manusia mana yang dapat melepaskan dirinya dari
romantisme dan nostalgia?). Saya tidak menerapkan aturan pembatasan
dalam memilih sebuah bacaan. Apa yang dapat dibaca akan saya baca.
Setelah dibaca barulah saya saring isinya sesuai dengan saringan yang
ada dalam kepala dan dada saya. Membaca dan menulis merupakan dua
aktivitas yang sangat menyenangkan (saat ini) untuk saya. Jadi kalau
ada yang melarang saya membaca dan menulis itu artinya membatasi hak
saya sebagai warga negara.
Buku
lainnya yang saya dapat adalah Buku Bunga Rampai Makalah Pertemuan
Penyair Nusantara VI yang berjudul Mengangkat Batang Terendam. Kalau
di tempat asalnya Pak Syarifuddin Arifin, Pinto Anugrah, M. Ibrahim
Ilyas dan kawan-kawan biasanya ungkapan yang menjadi judul buku itu
berbunyi “Mambangkik Batang Tarandam”. Dulu pernah ketika saya
pernah berjalan-jalan di seputaran Tanjung Ampalu, Solok, Padang,
Pariaman, Kayu Tanam, Bukittinggi, Agam dan Payakumbuh lalu sempat
mendengarkan orang-orang tua berdiskusi mengenai hal ihwal Mambangkik
Batang Tarandam. Dalam ungkapan itu termuat filosofi yang sangat,
sangat, sangat dalam dan bermanfaat jika benar-benar diwujudkan dalam
kehidupan. Entahlah…saya kalau ditanya orang dimana “kampung”
maka saya jawab di Kota Dumai, Riau. Padahal ada pula kawan-kawan
yang agaknya kesal kalau saya menyatakan diri sebagai anak jati Dumai
yang bermastautin di Dumai. Kalau ada yang bertanya lagi dimana
kampung? Saya jawab Indonesia. Kalau ada yang masih bertanya lagi
dengan pertanyaan yang sama maka saya jawab “kampung” saya di
muka Bumi sebagai rumah manusia, rumah kebudayaan, rumah kekaryaan,
rumah keragaman, rumah mahluk hidup dan sekalian benda mati.
Ironisnya, rumah yang bernama Bumi ini hendak dieksploitasi
habis-habisan dan dijadikan medan pertempuran oleh keturunan Nabi
Adam a.s dan Hawa. Pertempuran dalam kata-kata dan tindakan yang
berbagai ragam pula.
Ketika
selesai mengikuti Seminar Sesi IV A dengan tema Puisi Nusantara dalam
Pembelajaran Apresiasi Sastra dengan Pembicara Prof. Dr. Hasanuddin
WS, Phaosan Jehwae, Ph.D dan Firman Venayaksa maka saya segera
menghampiri Kang Acep Syahril yang sebelumnya pada saat sesi tanya
jawab di Seminar sempat memberikan beberapa pernyataan terkail hal
ihwal dunia apresiasi sastra. Pernyataan-pernyataannya itu sangat
menarik hati saya sampai-sampai sayapun hendak bertanya beberapa hal
dengan beliau. Alhamdulillah, beliau mau memberikan beberapa tunjuk
ajar dan sebuah buku berjudul TUMBUH – Apresiasi dari Ruang Kelas
karya Kang Acep Syahril. Buku ini memuat puisi-puisi karya pelajar
SD, SMP, MTs, SMA, SMK dan MA maupun yang sederajat dan mendapatkan
apresiasi langsung dari Kang Acep Syahril dalam bentuk tulisan. Salah
satu puisi dalam buku ini merupakan karya dari pelajar SMA N 8
Pekanbaru. Semoga upaya dan kerja keras Kang Acep Syahril dalam
menggeliatkan semangat dan menumbuhkan kreativitas siswa-siswa
melalui Buku TUMBUH dapat pula diimplementasikan di Kota Dumai maupun
daerah-daerah lain di Indonesia. Semoga Ibu dan Bapak Guru yang
berkompetensi dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk
semakin kreatif pula dalam menumbuhkembangkan kreativitas
pelajar-pelajarnya. Sudah ada dana BOS kan? Rajin-rajin belajar dan
membaca agar lulus Ujian Kompetensi Guru (UKG) ya…ha..ha..ha…Kalau
kurang dana BOS minta tambah lagi biar semakin banyak kreativitas
siswa dan guru yang dapat dikembangkan. Dana BOS jangan dikorupsi
pula nanti marah besar Bos besar..ha..ha..ha.
Jika
tak lulus UKG, silakan belajar dan ikut pelatihan lagi. Malu kita
nanti masa Ibu dan Bapak Guru tidak lulus UKG. Ketawa-tawa muridnya
(yang nakal) sambil berkata “Ibu dan Bapak Guru saja tidak lulus
UKG lalu macam mana pula kita hendak menjadi lulusan yang
berkompetensi dalam pembelajaran?”
Kang
Acep sempat menyebutkan diksi “Mawar, Gelas”…”Mawar, Gelas”
saat duduk bersama menikmati kopi dengan kawan-kawan penyair lainnya.
Banyak gelas memang saat itu. Tapi entahlah tak ada sekuntum bunga
Mawar yang saya lihat. Agaknya Mawar-Mawar enggan bermekaran sebab
takut layu dan dilayukan setelah mekar. Ah, dalam benak ada
diksi-diksi Mawar Putih, Mawar Hitam, Mawar Merah, Mawar Berduri,
Mawar Abadi, Mawar Kertas, Mawar Plastik. Ah, agaknya ada sekuntum
atau beberapa kuntum Mawar di Taman penuh Tulip, Kamboja dan Melati.
Tambah panjang pula kalau saya ingat diksinya “Mawar”. Terima
kasih atas Bukunya Kang Acep.
Malam
Penutupan PPN VI yang ditutup secara resmi oleh Wakil Gubernur Jambi.
Satu hal yang sangat menarik bahwa Wakil Gubernur Jambi juga
membacakan pantun dan syairnya dalam Malam Penutupan PPN VI. Kata
beliau alangkah semakin semaraknya jika peserta-peserta PPN juga
dapat mengenakan busana dan pakaian khas daerah masing-masing agar
tampak pula luar dalam tema Nusantaranya. Lain kali agaknya dapat
diwujudkan yang seperti itu. Memang diantara peserta dan panitia PPN
VI ada yang dari hari pertama mengenakan pakaian khas daerah
masing-masing namun yang lain masih berpakaian bebas sesuai dengan
selera dan gaya masing-masing. Mana pula bisa penyair-penyair
diseragamkan meski hanya dengan mengenakan busana tradisional
masing-masing? Macam dalam barak pula nanti kalau pakai seragam.
Keragaman tak mesti seragam. Keragaman tak bisa disamakan dalam satu
warna. Keragaman bisa disatukan dalam sebuah bingkai dan lebih dari
satu bingkai selama bingkainya tak saling terlibat konflik
kepentingan. Keragaman sudah ada sejak iblis tak mau sujud kepada
Nabi Adam a.s. Keragaman sudah lama ada jauh sebelum demokrasi
dijadikan dalih untuk menguasai sumber daya alam di berbagai belahan
muka bumi ini. Keragaman bukan barang baru. Keragaman tak mesti
ditakutkan sama halnya dengan perubahan. Katanya dunia sedang berubah
sangat dan terlalu cepat hingga yang tak mau berubah bakalan
tenggelam seperti bencana yang dialami oleh kaum Nabi Nuh a.s dan
kaum-kaum lainnya.
Sesaat
setelah acara penutupan selesai, saya menghampiri Prof. Dr. Faruq,
salah satu Dewan Kurator makalah untuk Seminar PPN VI. Apa hal yang
hendak saya tanya ke beliau? Saya mau bertanya jika beliau ada nulis
buku yang baru mengenai pendekatan atau telaah sastra. Saya bilang
dulu saat studi saya pernah membaca tulisan beliau mengenai
dekonstruksi. Alhamdulillah, beliau mengajak saya ke kamarnya untuk
mengambil sebuah buku karyanya yang berjudul Metode Penelitian Sastra
yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar. Agak lucu rasanya udah lama
saya selesai studi di jurusan sastra asing sekitar hampir delapan
tahun barulah teringat nak membeli buku-buku lagi..ha..ha..ha…Kalau
dulu asyik nak main pinjam punya kawan dan dosen saja. Kadang-kadang
lama pula minjamnya. Sekarang sudah ada jalan lain untuk meminjam
buku-buku kategori sastra fiksi dan non fiksi di Perpustakaan Kota
Dumai yang jumlah judulnya sekitar 800 judul buku. Semoga dapat pula
ditambah judul dan koleksi bukunya sekalian dibangun Perpustakaan
Kota Dumai yang lebih memadai serta Pustaka-Pustaka Kelurahan agar
semakin terbuka pintu dan jendela dunia melalui buku-buku di Kota
Dumai.
Terima
kasih Prof. Faruq atas bukunya. Padahal saya nak bertanya tentang
dekonstruksi dalam telaah sastra kepada beliau namun tak pas pula
waktunya. Lain kali saya tanya melalui surat elektronik saja.
Jendela
lainnya yang saya peroleh adalah Buku Kumpulan Puisi “Ijab Kabul
Pengantin” karya Hafney Maulana. Beliau adalah salah seorang
penyair dari Tembilahan, Riau. Buku yang berisikan 75 puisi karangan
Hafney Maulana ini diterbitkan oleh Penerbit Forum Aktif Menulis
(FAM) Publishing. Ada sebuah Lukisan Mawar dan Mawar dalam buku ini
yang patut dinikmati oleh kawan-kawan penikmat puisi dan sastra pada
umumnya.
Masih
banyak jendela yang belum dapat saya buka melalui PPN VI Jambi. Dua
folder berisikan foto-foto jendela dunia yang ada pada bazaar buku di
PPN VI Jambi tidak dapat dilihat lagi sebab ternyata oh ternyata
flash drive saya rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi. Nanti
akan saya coba hubungi satu persatu pemilik jendela itu agar saya
dapat melihat pula dunia ini melalui jendela-jendela yang telah
mereka buka. Semoga bermanfaat pula tulisan saya dalam blog ini
(meski ada pula yang menyatakan tulisan-tulisan dalam blog adalah
tulisan-tulisan yang apkir, dengan artian tulisan yang tidak dapat
dipakai, tulisan yang ditolak dan ditampik. Kalau ada yang menolak
atau menampik tulisan-tulisan dalam blog ini silakan ditulislah
penolakan dan penampikannya).
Terima
kasih kepada kawan-kawan yang telah mau berbagi jendela-jendela
dunianya kepada saya dan khususnya untuk kawan saya yang menyatakan
bahwa tulisan-tulisan di blog adalah tulisan yang apkir. Kata “apkir”
itu membuat saya menjadi berpikir. Berpikir tentang alasan mengapa
menjadi “apkir”? Apa sebabnya ditolak dan ditampik? Agaknya
tersebab tulisan-tulisan yang dikatakan “apkir” tidak sesuai
dengan kaidah-kaidah penulisan dalam sastra atau diduga tidak sesuai
dengan “selera” pihak tertentu? Entahlah. Entahlah yang entang
pungkang (meminjam istilah dari Agoes S. Alam).
Saya
sendiri masih menyusun “jendela-jendela” agar nanti dapat pula
dimanfaatkan orang lain untuk melihat “dunia” dari sudut pandang
saya yang masih penulis pemula ini. Bukan saya hendak bersembunyi dan
menyembunyikan kelemahan-kelemahan yang ada dalam menulis dengan
dalih “penulis pemula” namun lebih baik saya mengakui bahwa saya
adalah penulis pemula sehingga diharapkan akan banyak mendapat saran
dan kritikan atas apa yang saya tulis.
AHRAS,
Dari Dumai Cinta Damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar