Kedatangan rombongan mahasiswa Akademi Kesenian Melayu
Riau (AKMR) dan Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) ke Kota Dumai sempena
pertunjukan berjudul Mengarak Karya Keliling Riau adalah sebuah upaya kreatif
nan luar biasa. Mengapa luar biasa? Apa nan istimewa dari teater kawan-kawan
mahasiswa AKMR dan STSR ini?
Mengarak Karya Keliling Riau di Panggung Dewan Kesenian Dumai |
Mengarak Keliling Karya Riau yang ditampilkan pada
laman Dewan Kesenian Dumai (DKD) merupakan rangkaian dari berkelilingnya
mahasiswa AKMR & STSR untuk menampilkan teater bangsawan gubahan mereka.
Mereka sebelumnya sudah tampil di Siak Sri Inderapura pada 27 Desember 2013,
lalu berteater di Sungai Pakning pada 28 Desember 2013 dan sesudah pertunjukan
di Dumai akan berteater pula di Bangko Pusako (Rokan Hilir) pada 30 Desember
2013.
Saya sangat berbahagia sekali dapat menyaksikan
penampilan teater ini sebab diantara para lakonnya ada seorang penyair yang
sudah memenangi Tarung Penyair Panggung se-Asia tahun 2011 di Tanjung Pinang
dan Laman Cipta Sastra se-Riau tahun 2013 di Pekanbaru. Penyair tersebut memang
patut menjadi “best of the best”
dalam ranah sastra khususnya perpuisian Indonesia sebab dia tak hanya tunak
menulis sajak namun juga membaca sajak-sajaknya tanpa melupakan nilai-nilai
tradisi dan esensi kearifan lokal. Sebelum ini saya hanya dapat menyaksikannya
bersajak dengan perpaduan syair dan puisi melalui YouTube namun sekarang dia
sudah ada didepan saya dan kawan-kawan di Dumai yang dari masa ke masa tetap
juga setia pada laman Dewan Kesenian Dumai meski hanya sebuah panggung, sound
system dan lampu-lampu pencahayaan nan sederhana. Di kesempatan yang berbahagia
itu pula saya dapat bertemu muka dengan penulis Hikayat Atah Roy.
Penampilan Teater dengan tajuk Mengarak Karya Keliling
Riau dibuka oleh Agoes S. Alam selaku Sekretaris DKD pada pukul21.05 WIB dan
kemudian sekapur sirih dari Darwis Mohd. Saleh selaku salah satu seniman Dumai
yang juga bergiat untuk menghidupkan teater di Dumai. Setelah itu Eriyanto Hadi
selaku PR III STSR memberikan pemaparan tentang tujuan Mengarak Karya Keliling
Riau untuk mengenalkan STSR sekaligus memotivasi penggiat-penggiat teater di
semerata Riau dalam hal ihwal berteater. Beliau menyebutkan bahwa mereka
keliling 8 kota namun dibagi dalam 2 tim. Beliau juga berjanji di tahun 2014
akan kembali membawa teater AKMR dan STSR untuk berkeliling mengarak karya
dengan kekuatan penuh. Sebagian teman-teman yang lain tak dapat turut serta
sebab sedang menyiapkan orkestra untuk Festival Sungai Carang yang digagas oleh
Rida K Liamsi. Bersama rombongan teater AKMR dan STSR juga hadir sastrawan dan
penyair sekaligus sosok yang pernah menjadi Direktur AKMR yakni Hang Kafrawi.
Pada malam nan berbahagia itu pula saya diberikan
kesempatan oleh Agoes S. Alam untuk memberikan buku Kebersahajaan di Tepian
Halmahera kepada Eriyanto Hadi selaku Pembantu Ketua III STSR dan Sekretaris
Umum Dewan Kesenian Riau sebelum teater dari AKMR dan STSR tampil membawakan
naskahnya. Saya menyampaikan bahwa dalam buku tersebut terdapat sebuah tulisan
saya mengenai potensi sastra di Dumai yang sudah saya kirimkan kepada Panitia
Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2011. Alhamdulillah, tulisan tersebut
diapresiasi sebagai salah satu nominasi dalam kategori esai. Saya sangat
berterima kasih atas perkenan Bapak Eriyanto Hadi yang sudah mau menerima buku
esai dari saya. Sebenarnya saya hendak menyerahkan bukunya juga kepada beberapa
pihak di Andam Budaya Nusantara 2013 namun tersebab saya ini hanya rakyat biasa
maka buku-buku kiriman dari Panitia Tulis Nusantara sudah saya bagi-bagikan ke
beberapa orang kawan yang bergiat dalam ranah sastra di Dumai.
Di malam itu juga hadir Dawami Bukit Batu, A Yani AB, Syahrul Affandi, Misli AT, Erik,
kawan-kawan Komunitas Musisi Dumai dan masyarakat Dumai yang tertarik untuk
menyaksikan teater bangsawan persembahan mahasiswa AKMR dan STSR.
Sebelum pertunjukan utama dimulai, Agoes S. Alam
ternyata sudah merencanakan agar kawan-kawan penyair untuk membacakan sajak-sajaknya.
Saya juga sangat senang sekali sebab mestilah pada kesempatan yang berbahagia
itu kami dapat menyaksikan penampilan Hang Kafrawi dan Jefri Al Malay membaca
sajak-sajaknya. Saya agak gugup ketika Agoes S. Alam dari atas panggung
melirik-lirik saya. Saya diberi kesempatan pertama untuk membacakan puisi. Saya
sudah menyiapkan beberapa puisi. Namun karena senarai utama adalah teater, maka
saya membacakan sebuah sajak berjudul “Tempuling” karya Rida K Liamsi.
Setelah itu ada Syahrul Affandi membacakan sebuah
puisi berjudul “Tepak Tanah” yang saya tulis. Lalu ada Dawami Bukit Batu yang
juga membacakan puisi saya berjudul “Mengasah Kata”. Mereka berdua yang
mendadak dijemput membaca puisi dan kebetulan saya selalu membawa beberapa
puisi hingga puisi-puisi tersebutlah yang dibacakan.
Kemudian salah seorang penyair Dumai yakni A Yani AB
membacakan sebuah puisi yang katanya belum sempat tertulis judulnya namun
memiliki larik di mana dadamu kawan?
/ dimana kukumu kawan?. Belakangan
saya menanyakan judul puisinya. Puisi itu berjudul “Kisah Keluh Kesah”. Sesudahnya
ada Agoes S. Alam yang membacakan sajak “et la het” dan Tuan Darwis dengan
sajak berjudul “Darwis yang Berputar-Putar di Gasing Waktu” yang sarat metafora
dan kritik sosial.
Pembacaan beberapa puisi tersebut lebih merupakan
sebagai tabik dari kawan-kawan penikmat sastra kepada kawan-kawan teater yang
luar biasa hingga rela berkeliling Riau untuk mengarak karya. Namun belum
hangat rasanya jika malam itu Hang Kafrawi dan Jefri Al Malay tak membacakan
puisi-puisinya. Hang Kafrawi membacakan 2 puisi yakni “Aku Masih Mencintaimu”
dan puisi “Aku Datang Tanpa Air Mata”. Lalu setelah beliau, Jefri Al Malay
membacakan puisinya yang pernah menobatkannya menjadi pemenang pertama Tarung
Penyair Panggung tahun 2011. Puisinya berjudul “Anjung-Anjung”. Meski tanpa
visualisasi multi media dan sound system seperti penampilan-penampilan
“Anjung-Anjung” sebelumnya namun puisi Jefri Al Malay yang berselendangkan
syair nan merdu dan syahdu itu terdengar memukau.
Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, begitulah
agaknya kesempatan yang indah malam itu. Selain dapat menyaksikan penampilan
teater AKMR dan STSR, saya dapat pula menyaksikan Hang Kafrawi, Jefri Al Malay
dan Dawami Bukit Batu membaca puisi. Meski tak semua puisi harus
melengking-lengking (meminjam diksi dari Dawami Bukit Batu) namun perlu sekali-sekali
sajak-sajak dilengkingkan agar suara-suara yang katanya sudah merdeka itu
sampai ke telinga-telinga yang tertutup kotoran debu.
Monda sedang memaparkan tentang "Akibat Usul Tak Diperiksa" |
Penampilan utama dimulai pada pukul 22.10 WIB dengan
pemparan singkat dari Monda tentang naskah cerita yang ditulis oleh Jefri Al
Malay. Monda juga menyebutkan bahwa mereka juga banyak menimba ilmu dari (alm.)
Encik Dam, salah seorang seniman teater di Dumai. Dalam penjelasannya disebutkan
mereka akan memainkan teater bangsawan. Tak begitu banyak yang saya ketahui
tentang teater bangsawan selain imaji-imaji bahwa teater bangsawan mempunyai
ciri khas dengan cerita dan busana istana, bangsawan dan kerajaan.
Jefri Al Malay berlakon sebagai Raja, Mando berlakon
sebagai Laksamana Senget, Deni Afriandi sebagai Laksamana Bingal/ Laksamana
Tengen, Eriyanto Hadi sebagai Mamanda Raja dan diiringi oleh tiga orang pemusik
serta dua orang penari sebagai dayang-dayang.
Dari kesan pertama terlihat bahwa teater bangsawan
yang dimainkan oleh Jefri Al Malay dan kawan-kawan adalah teater bangsawan
kontemporer. Hal ini dibuktikan dari penggunaan kostum yang cenderung pop.
Mengapa saya sebutkan pop? Jika hendak mengetahui hal tersebut, silakan
saksikan sendiri dokumentasi penampilan mereka (mungkin bisa dengan menghubungi
DKD atau Teater AKMR & STSR).
Dalam lakonnya diceritakan bahwa Raja sedang
bersenang-senang ketika Laksamana Senget dan Laksamana Bingal datang melaporkan
perihal perkembangan terkini di wilayah kekuasaannya. Lalu datang pula Mamanda
Bendahara yang membawa setumpuk kertas dalam map kepada Raja. Kedua Laksamana
dan Mamanda Bendahara bertengkar akibat saling mempertahankan pendapat tentang
mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi rakyat seperti banjir, air nan tak
mengalir, jalan yang sudah dibangun namun ada pula yang belum dibangun, saluran
aliran air ke laut yang terhambat dan tersumbat tersebab lokeknya perusahaan
pemilik tanah melebarkan parit-parit untuk mengalirkan air dari darat ke laut.
Padahal jika curah hujan begitu tinggi, alamatlah tempat tinggal rakyat ada
yang tenggelam dan bisa jadi hanyut. Belum lagi masalah ada seniman-seniman
yang bising-bising. Begitulah Mamanda Bendahara melaporkan perkembangan terkini
kepada Raja. Kata Mamanda Bendahara, tak usah sampai seniman-seniman
demonstrasi pula. Mungkin agaknya jika seniman-seniman demonstrasi semakin
pusing kepala dan sakit telinga Raja akibat kebisingannya. Cerita punya cerita,
dalam kemunculan konflik terlihat Laksamana berseteru dengan Mamanda Bendahara
sehingga Rajapun marah sebab dia sedang bersenang-senang. Raja mendamaikan
mereka dan menceritakan perihal mimpi-mimpinya.
Alkisah dalam lakon tersebut Raja bermimpi bertemu
seorang gadis nan cantik namun sayangnya setelah dilihat secara seksama gadis
itu memiliki muka datar. Dua Laksamana kemudian menafsirkan bahwa Raja akan
memperoleh Permaisuri. Mereka sudah ada bertemu Putri yang dimaksud oleh Raja.
Lalu Raja menitahkan agar mereka untuk segera menjemput Putri yang dimaksud.
Penampilan Teater Bangsawan AKMR & STSR memang
sangat menarik sebab mereka berhasil membuat para penonton tertawa-tawa
terpingkal-pingkal terkekeh-kekeh. Satu hal yang menarik ketika hujan mulai
turun kembali dan membuat para penonton berpindah ke posisi yang tidak terkena hujan,
para pelakon langsung mengubah setting panggung mereka agar para penonton dapat
mengikuti jalannya lakon sesuai dengan sudut pandang yang sesuai. Penonton
adalah raja. Begitulah pesan yang hendak disampaikan mereka.
Maklumlah di Dumai belum ada Gedung Kesenian hingga
penampilan-penampilan kesenian seperti ini seringkali terganggun akibat cuaca.
Lalu banyak pula kegiatan kesenian yang menumpang-numpang di tempat lain.
Entahlah, padahal di saat yang bersamaan juga banyak dibangun gedung-gedung
lain.
Masing-masing pelakon berhasil melakonkan perannya
masing-masing. Seperti Eriyanto Hadi yang berlakon sebagai Mamanda Bendahara
tampil sangat jenaka. Meskipun penuh kejenakaan, cerita yang dimainkan oleh
Teater AKMR & STRS sarat dengan amanat dan kritik sosial tentang imbauan
agar penyelenggara pembangunan segera menunaikan janji-janji dan
program-programnya dan juga imbauan kepada perusahaan-perusahaan besar agar
turut serta memberikan solusi nyata atas dampak kesehatan, sosial, budaya,
ekonomi dan lingkungan di wilayah tempat beroperasinya perusahaan-perusahaan
tersebut.
“Selendang Merah di Atas Kursi” adalah sebuah majas nan menarik dalam
cerita Akibat Usul Tak Diperiksa, naskah
karya Jefri Al Malay yang dimainkan oleh Teater AKMR & STSR. Majas tersebut berdasarkan salah satu adegan
dimana selendang merah diletakkan pada kursi yang menjadi singgasana Raja.
Dalam klimaks, Raja tidak mau menerima Putri yang
dijemput oleh kedua Laksamana sebab tidak sesuai dengan harapan. Raja
memerintahkan Laksamana untuk menangkap Putri sebab tidak menyenangkan hati
Raja.
Alkisah akhir cerita, Raja mengajak Mamanda Bendahara
bersenang-senang dengan menari bersama dayang-dayang.
Tak terasa sudah satu jam lebih dan para penonton
khususnya saya sendiri merasa sangat puas dan senang dapat menyaksikan cerita
yang dilakonkan Teater AKMR & STSR.
Seperti biasa selalu ada diskusi seusai penampilan
kegiatan kesenian di Panggung DKD (sebuah panggung sederhana namun luar biasa
manfaatnya). Diskusi pada malam itu diisi oleh Monda, Darwis Mohd. Saleh, Hang
Kafrawi, Dawami Bukit Batu selaku Pimpinan Redaksi Dumai Pos dan Agoes S.Alam.
Dalam diskusi Hang Kafrawi menyebutkan bahwa Teater Bangsawan AKMR & STSR
sudah masuk ke ranah teater kontemporer sebab Jefri Al Malay, Monda, dkk mencoba
eksplorasi untuk melepaskan pakem-pakem teater bangsawan. Hal itu beliau
buktikan dengan menyatakan bahwa Teater AKMR & STSR tampil dinamis saat
berlakon. Ketika para penonton mengubah posisinya untuk melihat maka para
pelakon juga berani mengubah setting bermain agar selaras dengan sudut pandang
para penonton.
Diskusi perihal Teater : Monda, Darwis Mohd. Saleh, Hang Kafrawi, Dawami Bukit Batu & Agoes S. Alam |
Sementara Dawami Bukit Batu sedikit bernostalgia bahwa
beliau dulu juga sering menyaksikan lakon-lakon Teater Bangsawan di Bukit Batu.
Sebuah kabar gembir juga disampaikan oleh Dawami Bukit Batu bahwa Dumai Pos
akan menyiapkan Halaman Budaya dalam Harian Dumai Pos.
Dalam diskusi tersebut juga disampaikan
harapan-harapan dari Darwis Mohd. Saleh tentang impian beliau untuk
menyelenggarakan Pentas Apung yang menampilkan teater-teater. Belum lagi ada
wacana kalau perlu juga diselenggarakan Festival Sungai Dumai ataupun Festival
Bandar Bakau seperti halnya Festival Sungai Carang. Sedangkan Eriyanto Hadi selaku PR III STSR
menyampaikan dalam diskusi tentang dinamika terkini perihal eksistensi STSR.
Sepengetahuan saya memang sudah terdapat beberapa
atraksi kesenian yang sudah dilaksanakan maupun yang masih berupa konsep di
Dumai namun di masa mendatang atraksi-atraksi kesenian itu perlu untuk
ditingkatkan baik secara kualitas maupun kuantitas termasuk juga dukungan moral
dan moril dari semua pihak khususnya masalah anggaran. Sedangkan penyelenggara
pembangunan saja ada yang berkeluh kesah tak dapat melaksanakan program
kegiatan kesenian akibat tak ada anggaran apatah lagi para penggiat kesenian.
Namun ketiadaan dan keterbatasan anggaran tidak akan menjadi hambatan dalam
berkreativitas sebab karya-karya seni adalah yang utama.
Apakah atraksi-atraksi dan kegiatan kesenian tidak
termasuk karya seni? Ya, mereka adalah karya-karya seni dalam pertunjukan.
Saya berharap bahwa naskah-naskah teater juga dapat
dibukukan agar bermanfaat sebagai sumber pelajaran pelajar saat belajar
kesenian di sekolah-sekolah.
Semoga di tahun 2014 dapat pula Teater AKMR & STSR
serta penyair-penyair Riau & Kepulauan Riau singgah ke Dumai meski sekejap
sempena Mengarak Karya Keliling Riau.
Riau ini memiliki 10 Kabupaten, 2 Kota, 163 Kecamatan,
241 Kelurahan, 1.594 Desa (Data Wilayah Administrasi Ditjen DukCapil
Kemendagri, Desember 2012) hingga alangkah indahnya jika di tahun 2014 juga
diselenggarakan Mengarak Karya Keliling Riau di setiap Kabupaten dan Kota
semerata Riau dengan lebih memperbanyak jemputan, promosi dan publikasi ke
pelbagai pihak khususnya sektor pendidikan.
Eksistensi AKMR & STSR juga dapat menjadi
barometer agar didirikan pula SMK-SMK Kesenian di semerata Riau.
Mengapa dikatakan bahwa Teater AKMR & STSR
membahagiakan rakyat? Sebab rakyat terhibur dengan lakon yang dimainkan oleh
mereka. Hiburan tentu tujuannya untuk menyenangkan sekaligus juga memiliki
fungsi pendidikan melalui amanat-amanat dalam cerita.
Demikianlah catatan saya di penghujung tahun 2013
tentang Teater AKMR & STSR yang sudah Mengarak Karya Keliling Riau. Semoga bermanfaat. Terima kasih.
Ralat: Berdasarkan keterangan Jefri Al Malay melalui facebook kepada saya bahwa judul naskahnya adalah Akibat Tak Usul Periksa bukan Akibat Usul Tak Diperiksa.
Ralat: Berdasarkan keterangan Jefri Al Malay melalui facebook kepada saya bahwa judul naskahnya adalah Akibat Tak Usul Periksa bukan Akibat Usul Tak Diperiksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar