Batang Hutan ini jadi sangat keruh dan
berwarna kecokelat-cokelatan kalau hujan deras di hulu. Jika cuaca sedang
bersahabat dan tidak hujan deras di hulu maupun di hilir maka air Batang Hutan
terlihat ada nan jernih, ada pula nan kehijau-hijauan dan kebiru-biruan. Sangat
eksotis pemandangannya. Di kiri dan kanan sepanjang 30 kilometer sungai masih
banyak ditemukan hutan dan rimba. Tak jauh dari pemukiman penduduk di beberapa
Jorong yang berada dekat daerah aliran sungai ada kebun Karet, Cokelat dan Durian.
Ada pula beberapa puluh petak sawah nan menghijau.
Di rimba sekitar Batang Hutan masih
banyak ditemukan flora dan fauna yang rasanya tak akan pernah dilihat di tengah
kota kecuali kalau di kota ada pameran flora dan fauna, kebun binatang serta sirkus.
Di dalam rimba itu masih ada ditemukan Bunga Bangkai setinggi 2,8 meter, pohon
Kabung dan pohon Cempedak. Selain itu juga ada Harimau Sumatera, Babi hutan, Gajah,
Rusa, Kijang, Kancil, Landak, Trenggiling, Enggang dan masih banyak yang
lainnya.
Batang Hutan adalah sebuah sungai yang
kedalamannya sekitar 17 meter dengan lebar 80 meter. Tebingnya berbatu-batu di
kedua sisi. Kalau hendak sampai ke tepian Batang Hutan dari jalan mesti turun
ke bawah sekitar 2 meter. Batang Hutan adalah salah satu sungai terindah nan
ada di Jorong Jauh. Jorong Jauh adalah salah satu wilayah terkecil dalam sebuah
Nagari Dekat.
Nagari Dekat termasuk dalam sebuah
wilayah administrasi pemerintahan pada Kecamatan Tepian di Kabupaten Hujung. Kabupaten Hujung sendiri pernah dikatakan
sebagai salah satu daerah tertinggal dan terisolir karena masih minimnya
sarana, prasarana dan fasilitas infrastruktur seperti jalan, listrik, air
bersih, sekolah dan rumah sakit. Minimnya alokasi anggaran pembangunan adalah
penyebab utama terkendalanya pembangunan di Kabupaten Hujung. Namun sekarang
hampir semuanya sudah ada di ibukota Kabupaten Hujung. Penduduknya khusus di Jorong
Jauh sejak dibangunnya jalan raya sangat merasakan manfaat dari hasil
pembangunan infrastruktur. Mereka tidak lagi mengalami kesulitan jika hendak
berobat ketika sakit dan menyekolahkan anak-anak mereka agar menjadi
manusia-manusia nan cerdas, pintar, jujur, beriman, bertaqwa serta cinta
bangsa, tanah air dan negaranya.
Cuaca di Jorong Jauh masih terasa sejuk
dan segar. Masih bersih dari polusi udara. Pohon-pohon nan rimbun dan rindang
dengan daun-daun hijau masih setia menyerap karbondioksida lalu mengeluarkan
oksigen nan menyehatkan untuk pernafasan manusia dan mahluk hidup lainnya. Ihsan
sangat menikmati kehidupan di Jorong Jauh. Dia baru saja sampai di Jorong Jauh
nan permai. Belum genap satu minggu berada di sana, Ihsan memutuskan untuk
mengabdikan dirinya pada sebuah Sekolah Dasar di Jorong Jauh. Setahun yang lalu
Ihsan baru saja selesai menamatkan kuliah dan mendapatkan gelar sarjananya di
sebuah perguruan tinggi. Ketika beberapa hari tinggal di Jorong Jauh, Ihsan
mendapat kabar bahwa Sekolah Dasar 022 di Jorong itu membutuhkan seorang guru
untuk mengajarkan pelajaran bahasa kepada siswa-siswinya. Oleh karena panggilan
nurani dan kesesuaian kompetensi yang dimiliki maka Ihsan pun mengabdikan
dirinya di sekolah tersebut.
Baru beberapa bulan Ihsan mengajar di
Sekolah Dasar tersebut, datang pula beberapa tawaran dari sekolah-sekolah lain
dan sebuah Sanggar Kegiatan Belajar untuk menjadi guru dan tutor belajar. Tanpa
berpikir panjang, Ihsan pun menyetujui tawaran-tawaran nan datang sebab dia
hendak mengabdikan dirinya turut serta mencerdaskan anak-anak bangsa sesuai
dengan latar belakang sedikit pengetahuan yang dimilikinya selama kuliah.
Masalah besarnya gaji jadi guru dan tutor belajar itu bukan tujuan utamanya.
Gajinya hanya sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah untuk mengajar di
delapan kelas dari kelas 3 sampai kelas 6 di satu sekolah. Dalam sebulan ada
empat Sekolah Dasar dan dua kelas di Sanggar Kegiatan Belajar yang jadi tempat
mengabdinya. Itu jadwal mengabdi dari Senin sampai Sabtu. Di hari Minggu pagi, Ihsan
mengajar pula di sebuah lembaga pendidikan non formal yang lokasinya berjarak
45 kilometer dari tempat tinggalnya. Ihsan tinggal di rumah Uni Ambun Suri.
Kalau malam minggu datang, Jangan ditanya Ihsan berakhir pekan dan kencan di
mana. Ihsan baru saja patah hati sebab ditinggal oleh kekasihnya.
Alamak malang sungguh kisah Ihsan kalau
begitu. Tapi Ihsan sepertinya sedang dalam proses meresapi makna pepatah Nusantara
nan berbunyi “patah tumbuh, hilang
berganti”. Seorang kekasih pergi, pasti diberi ganti. Masih ada pula pepatah
Nusantara nan berbunyi “asam di gunung garam
di laut, dalam belanga bertemu jua” mestilah bermanfaat maknanya untuk diri
Ihsan.
Di sela-sela pengabdiannya, Ihsan punya
kegemaran yang tak dapat dijauhinya. Namun bagi sebagian kecil penduduk di
Jorong Jauh, kegemaran Ihsan adalah sebuah mata pencaharian. Ihsan gemar
mengail. Kegemaran Ihsan memancing ikan itu sudah akrab dengannya sejak masih
duduk di kelas 4 Sekolah Dasar.
Tapi tak semua orang di Jorong Jauh yang
menjadikan mengail sebagai hobi. Masih ada penduduk yang berprofesi sebagai penganyia.[1]
Bagi mereka menganyia[2] adalah mata pencaharian. Mengail
ikan-ikan di sungai, lubuk dan rawa untuk menghidupi keluarga dan membiayai
sekolah anak-anaknya. Mereka adalah nelayan di darat nan tangguh dan sabar
memasang umpan-umpan di mata kail dan menunggu rezeki halal dari alam berupa
ikan-ikan air tawar nan segar.
Pak Aman adalah salah seorang penganyia di Jorong Jauh yang sering
mengajak Ihsan mengail saat hari-hari libur sekolah. Maklumlah tiga orang anak
Pak Aman adalah siswa Ihsan di Sekolah Dasar di belakang Pakan Kamih[3].
Perkenalan Ihsan dengan Pak Aman bermula
ketika Imran, anak Pak Aman, bertemu gurunya itu pada Sabtu petang di sebuah
kedai perlengkapan pancing di ibu kota Kabupaten Hujung.
“Selamat sore Pak Guru,” sapa Imran
sambil tersenyum.
“Sore Imran. Kamu hobi mengail juga ya?”
tanya Ihsan sebab dia melihat Imran sedang memilih beberapa mata kail ukuran
tujuh.
“Tidak Pak Guru. Tadi Ayah menyuruh saya
membeli mata kail dan benang pancing,” jawab Imran.
“Bapak kira kamu yang hobi mengail.
Ayahmu gemar mengail juga ya?” lanjut Ihsan.
“Kalau Ayah saya bukan gemar lagi. Tiap
hari beliau mengail, Pak Guru. Ayah saya itu seorang penganyia, Pak Guru,” jawab Imron agak sedikit tersipu-sipu.
“Tidak apa-apa.”
“Pak Guru gemar mengail ya? Kalau Pak
Guru mau mengail dan dapat ikan yang besar-besar, datang saja ke rumah saya
besok pagi. Biar saya bilang ke Ayah agar menunjukkan lokasi mengail ikan yang
besar-besar kepada Pak Guru.”
Ajakan siswanya itu tentu tidak ditolak
oleh Ihsan. Dia memang belum mengetahui lubuk-lubuk ikan yang besar di Jorong
Jauh. Sia-sia saja kalau mengail di lubuk yang tiada ikan-ikannya. Ihsan hendak
mencari informasi langsung dari penduduk Jorong Jauh tentang kebiasaan-kebiasaan
setempat tentang cara mengail ikan-ikan besar.
“Kalau malam ini Bapak ke rumahmu,
boleh?”
“Nanti malam, Ayah saya tidak di rumah.
Beliau pergi memeriksa jantang[4], jaring dan pancing tajur yang
dipasangnya tadi sore, Pak Guru.”
“Terima kasih ya Imran. Besok pagi Bapak
ke rumahmu.”
Ihsan pun segera pulang ke rumah setelah
selesai membeli sebungkus mata kail ukuran 4, sebungkus mata kali ukuran 9,
sebungkus kili-kili ukuran sedang, dua gulung besar benang pancing berukuran 0,45
mm dan 0,15 mm, 5 buah pemberat terbuat dari timah sebesar jempol kaki orang
dewasa, 5 buah pemberat timah spiral berukuran kecil, sebuah katrol merek
Viking 5000, sebuah katrol pancing merek Viking 2020, dua buah joran bersambung
terbuat dari fiber sepanjang 3 meter dan 1,7 meter, 3 buah pelampung ukuran
kecil, sepasang sepatu bot karet dan sebuah senter.
Bukan main si Ihsan. Tak main-main
tampaknya dia hendak mengail. Perlengkapan pancing yang dibeli Ihsan itu
termasuk kategori standar saja. Kalau hendak membeli perlengkapan memancing
kategori kelas menengah saja maka Ihsan mesti menabung seluruh gaji yang
diperolehnya dari mengabdi sebagai guru honorer di sekolah dan tutor di Paket B
dan Paket C selama setahun.
Seumur hidupnya Ihsan tak pernah mengail
dengan pancing katrol dan joran fiber. Dia hanya mengail dengan joran dari
buluh yang ujungnya diikat dengan benang pancing. Panjang buluhnya 2 hingga 3
meter. Pernah dulu dia hendak membeli sebuah joran lengkap dengan katrolnya
seharga Rp 15.000 ketika masih belajar di Sekolah Dasar namun emaknya melarang.
Kata emaknya lebih baik belikan arloji saja agar Ihsan selalu ingat waktu kapan
mau mandi, belajar, bermain, pulang ke rumah, belajar mengaji, makan dan tidur.
Ihsan waktu masih kecil-kecil dulu memang gemar bermain meriam karbit, mengail,
mandi di sungai, masuk hutan dan main layang-layang. Kalau sudah diberi izin
keluar rumah untuk bermain atau pergi mengail acap kali dia terlambat pulang ke
rumah. Padahal ayah dan emaknya sangat risau dan marah sekali kalau
anak-anaknya masih di luar rumah lewat dari pukul enam sore.
Pernah sekali Ihsan nekat pergi mengail
sendirian ke rawa-rawa dalam hutan dekat belakang rumahnya. Sehari sebelumnya
teman-teman Ihsan dan dirinya sudah sepakat untuk pergi mengail bersama-sama.
Namun entah kenapa teman-temannya malah asyik bermain kelereng. Mereka tengah
keasyikan menyetik gundu-gundu ke dalam tiga lubang di lapangan bola voli
ketika Ihsan datang membawa tiga buah joran buluh dan setempurung cacing tanah.
“Ayo kita berangkat.”
“Tidak jadi, San. Kita main kelereng
saja. Kalau kelereng kau tidak ada. Ini kami bagi sembilan kelereng.”
“Kelereng lagi, kelereng lagi. Di rumah
ada satu kaleng kelereng.”
“Berani kau pergi mengail sendiri?”
“Kalau kalian tidak jadi ikut. Aku
mengail sendiri saja.”
Lalu Ihsan pun berangkat sendirian.
Sebenarnya Ihsan agak takut juga sebab rawa-rawa lokasi mengailnya ada di
seberang parit galian sedalam 1,5 meter dan selebar 6 meter dekat tepi hutan.
Gamang juga Ihsan. Entahlah ada apa dalam parit galian itu. Ihsan lalu
mengambil dua bongkah tanah sebesar kepalan tangannya. Dia lempar bongkahan
pertama ke tengah-tengah parit galian.
“Pluuuuuunnng”.
Permukaan airnya beriak. Tidak ada
sesuatu yang mencurigakan. Dia lemparkan lagi bongkahan tanahnya. Tiada yang
aneh. Kata orang kalau hendak berenang menyeberang sungai atau parit di tepi
hutan jangan langsung terjun dulu. Lemparkan sesuatu ke sungai atau paritnya
dengan tujuan untuk mengetahui kalau ada binatang buas seperti buaya atau ular.
Biasanya binatang buas yang ada di dekat situ akan bergerak jika ada sesuatu
beriak. Ihsan masih agak cemas juga.Tapi dasar Ihsan sudah kebelet mengail. Dia
memberanikan diri untuk menyeberangi parit galian.
Setelah mengail seharian, hasilnya Ihsan
membawa pulang dua ekor ikan Aruan sebesar betisnya, empat puluh ekor ikan
Sekepar rata-rata sebesar telapak tangannya. Ikan-ikan itu dikaitkan pada
sebuah kawat sepanjang tiga puluh sentimeter.
Ihsan cemas. Terdengar suara azan
berkumandang dari musala.
“Allahuakbar,
Allahuakbar…,”
Dia mempercepat langkahnya ketika
melewati lapangan bola voli. Dia berlari. Bergegas hendak sampai ke rumah.
Ihsan terpaku. Baju kaos dan rambut
keritingnya masih basah. Badannya anyir. Ujung jempol dan telunjuk kirinya
terasa pedih. Telapak tangan dan kakinya agak memucat. Di jalan depan rumah,
Ayahnya sudah tegak sambil memegang pinggang. Ayahnya pemberang.
“Kemana saja Ihsan? Hari sudah senja!
Kau baru saja pulang. Main saja kerjamu. Tidak tahu kalau Ayah dan Emakmu
risau.” Tangan kanan Ayahnya seperti hendak bergerak.
Ihsan menunduk. Agak panas terasa di
pelupuk matanya. Dia hendak menangis. Tapi tidak jadi. Dia angkat tentengan
ikan-ikan yang disembunyikannya di belakang badan.
“Ihsan tadi pergi mengail. Kalau Ayah
tidak percaya, ini ikan-ikan hasil mengail tadi.”
Ayahnya tertegun. Mengeleng-geleng.
“Nanti siap mandi dan shalat, Ihsan
goreng ikan-ikan ini dengan sambal cabai dengan tumis Kemumu untuk Ayah.” Ihsan pun berlari masuk rumah. Ayahnya makin
mengeleng-geleng.
Hari minggu pagi Ihsan pun berangkat ke
rumah Pak Aman. Rumahnya tidak jauh dari rumah Uni Ambun Suri. Ketika hampir
sampai, Ihsan melihat Pak Aman duduk di balai-balai depan rumah sedang
memperbaiki jaring dan jala.
“Assalamu’alaikum,
Pak,” sapa Ihsan sambil tersenyum.
“Wa’alaikumussalam.
Pak Guru rupanya. Silakan masuk, Pak Guru.” Jawab Pak Aman.
Ihsan segera menyalami beliau. Pak Aman
usianya 55 tahun. Rambutnya ikal. Sorot matanya tajam. Dari raut mukanya,
beliau adalah orang nan ramah dan bersahabat.
“Di luar sini saja kita duduknya, Pak.”
“Silakan, Pak Guru.”
“Lagi memperbaiki jaring, Pak?”
“Iya, Pak Guru. Jaring saya koyak.
Mungkin tadi malam kena pelepah kelapa yang hanyut.”
“Banyak juga hasil menjaringnya, Pak?”
“Alhamdulillah,
hampir lima kilo ikannya.”
“Apa saja ikannya, Pak?”
“Macam-macam Pak. Ada ikan sisik dan
ikan kasik[5]
seperti ikan Nila, Gurami, Benso, Baung dan Patin.”
“Kemarin sore saya ada bertemu dengan
Imran, anak Bapak. Imran bilang kalau mau mengail di lubuk-lubuk yang berisi
ikan-ikan besar, temui Pak Aman saja.”
“Ya..ya..Imran tadi malam ada
memberitahu saya. Jangan risau Pak Guru. Besok pagi saya akan ajak Pak Guru
mengail di Batang Hutan. Kalau tidak salah saya, besok sekolah libur ya Pak
Guru?”
“Benar Pak. Wah terima kasih ya Pak
karena sudah mau mengajak saya pergi mengail ke Batang Hutan.”
“Sama-sama Pak Guru. Besok saya
tunjukkan pada Pak Guru di mana lubuk-lubuk yang bagus untuk mengail.”
“Terima kasih Pak.”
Keesokan harinya Ihsan dan Pak Aman
berangkat menuju Batang Hutan untuk mengail. Mereka pergi dengan menggunakan
sepeda motor Uni Ambun Suri yang dipinjam Ihsan. Pak Aman mengajak Ihsan
mengail di sebuah lubuk tak jauh dari pertemuan tiga sungai. Aliran air Batang
Bapilin dan Batang Sekam bertemu pada Batang Hutan. Dibandingkan dari kedalaman
dan lebarnya, Batang Bapilin lebih dalam dan lebih lebar dari Batang Sekam.
Sedangkan Batang Hutan lebih dalam dan lebih lebar dari Batang Bapilin. Arus
Batang Hutan lebih deras daripada keduanya. Batang Hutan seringkali menjadi
tempat olahraga arung jeram. Sudah banyak para pecinta arung jeram yang datang
untuk menikmati jeram-jeramnya nan mampu memacu adrenalin. Jalan tanah dan berbatu-batu
dengan tanjakan dan turunan yang berundak-undak di sebelah kiri Batang Hutan
juga menjadi destinasi kegemaran para pecinta terabas dengan mengendarai sepeda
motor.
Setibanya di lubuk tempat mengail,
mereka mulai mengeluarkan perlengkapan memancing dan memasang umpan. Pak Aman
menggunakan tiga buah joran dan Ihsan hanya dua buah joran saja. Setelah kail
dilemparkan, setiap joran diletakkan pada kayu-kayu bercagak yang sudah
ditancapkan ke tanah di sela-sela bebatuan. Di sepanjang Batang Hutan baik di
tepi maupun di tengahnya memang penuh batu-batu alam. Tebing-tebing batunya
sangat indah sekali. Ukiran-ukiran alami pada tebing-tebing itu tercipta dari
kelembutan air yang mengalir di arus Batang Hutan. Kelembutan air ternyata
dapat membuat batu-batuan menjadi indah dan memukau.
Pak Aman terlihat sedang menangkap
beberapa ekor udang yang bermain-main di sela-sela batu dekat tepi sungai.
Beliau berhasil menangkap lima ekor udang. Udang itu bakal umpan untuk mengail.
Pak Aman sebenarnya sudah membawa berbagai umpan seperti umpan kapas, cacing
tanah dan potongan-potongan singkong yang digoreng setengah masak. Kalau umpan
kapas digunakan untuk umpan mengail ikan Baung. Cacing tanah adalah umpan untuk
segala jenis ikan di sungai. Sedangkan singkong dijadikan umpan untuk mengail
ikan Garing. Menurut Pak Aman, ikan Garing di Batang Hutan besar-besar dan
sering kali memberikan perlawanan jika tersangkut di kail.
Ihsan pun mulai mengobrol dengan Pak
Aman sambil menikmati pemandangan indah Batang Hutan dan sejuknya udara nan
segar.
“Sudah berapa lama Pak Aman bekerja
sebagai pengail ikan?”
“Belum lama Pak Guru. Baru sekitar empat
puluh tahun,” jawabnya seraya tersenyum.
“Apa saja suka dan dukanya Pak kalau
bekerja sebagai pengail ikan?”
Pak Aman tersenyum lagi. Beliau menghela
nafas panjang.
“Beginilah Pak Guru. Kalau jadi pengail
ikan tentu kegembiraannya saat mendapat tangkapan ikan-ikan yang besar dan
banyak. Sebagian dijadikan lauk untuk keluarga. Sebagian dijual ke pasar dan
perolehan uangnya digunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari keluarga.
Alhamdulillah, kalau semua batang, lubuk, hutan dan sekalian alam di sekitar
dijaga maka tak perlu cemas untuk mendapatkan rezeki dari alam.”
“Saya lihat hutan, batang-batang dan
lingkungan sekitar sini masih terjaga ya Pak.” Ujar Ihsan.
“Itulah Pak Guru. Sepertinya memang
begitu. Namun belakangan penduduk banyak dipengaruhi oleh orang-orang dari luar
untuk menebang pohon-pohon di hutan. Ada pula yang menambang batu-batu alam di
Batang Hutan untuk dijual. Kabarnya dijual ke luar negeri.”
Pak Aman lalu menunjuk beberapa batu
besar di tepi Batang Hutan dengan jempolnya.
“Lihatlah itu, Pak Guru. Dulu di dekat
batu-batu ada tiga buah batu yang sangat besar. Sekarang sudah tidak ada lagi.
Sudah diangkat orang dan dibawa pergi dengan truk yang rodanya berjumlah dua
belas. Padahal dulu di situ banyak ikannya. Tebing tanah dipinggir itu juga
jadi sering longsor sedikit demi sedikit. Kata anak saya yang sedang kuliah,
penambangan batu-batu alam dari Batang Hutan sangat merusak. Merusak habitat ikan-ikan
dan ekosistem sungai.”
Wajah Pak Aman terlihat sangat sedih.
Beliau memendam sesuatu di dalam dadanya.
“Sudah ada anak Pak Aman yang kuliah ya?
Di jurusan apa, Pak?
“Alhamdulillah, sudah ada Pak Guru. Dua
anak saya sedang kuliah sekarang. Kedua-duanya dapat beasiswa dari pemerintah.
Kalau tidak dibantu oleh pemerintah, saya tidak sanggup membiayai kuliah
mereka. Anak saya yang sulung kuliah di jurusan Teknik Pertambangan. Kalau yang
kedua kuliahnya di jurusan Politik Ekonomi. Mereka pulang kampung sekali enam
bulan saja.”
“Wah hebat-hebat ya anak-anak Pak Aman.
Semoga mereka selesai kuliah dan mau mengabdi untuk bangsa dan negara ya, Pak.”
“Mudah-mudahan, Pak Guru. Saya
inginnya kalau mereka tamat kuliah segera pulang ke kampung buat membangun
kampung mereka. Saya risau Pak Guru. Banyak orang luar datang ke kampung ini
bukan untuk membangun dan memajukan kampung ini namun malah mencari keuntungan
dengan merusak alam secara berlebihan.”
“Jangan risau, Pak. Tidak semua
orang luar yang datang itu hendak merusak alam. Lagi pula sekarang pemerintah
dan negara kita sedang giat-giatnya mencegah dan menghukum orang-orang yang
merusak lingkungan. Sayangnya perusak lingkungan juga banyak berasal dari
bangsa kita sendiri, Pak.”
“Bukan Pak Guru maksud saya. Saya
dan juga penduduk di sini sangat gembira sekali kalau ada yang mau masuk
jorong-jorong nan terpencil seperti Jorong Jauh untuk mengajar anak-anak
penduduk kampung. Di Jorong Tasuduik nan sangat terpencil itu saja baru ada
tiga orang guru. Kalau hendak ke sana mesti berjalan kaki sejauh sepuluh kilo.
Jalannya masih jalan setapak di dalam hutan.”
“Sekarang pemerintah sudah
mengirimkan guru-guru ke daerah-daerah terpencil, Pak.”
“Pernah saya dengar penduduk di
kabupaten bercerita kalau guru-guru sekarang lebih banyak memilih mengajar di
tengah-tengah kota dan kabupaten saja. Di sekolah-sekolah favorit. Padahal
masih banyak daerah terpencil yang belum punya guru dan sekolah.”
“Mudah-mudahan nanti pemerintah
membuat kebijakan dan peraturan untuk mengirimkan guru-gurunya ke daerah-daerah
terpencil, Pak.”
Tiba-tiba Pak Aman bergegas menuju
ke sebelah kanan. Beliau menyentak jorannya dan memutar katrolnya. Hanya
sepuluh menit saja, seekor ikan Baung sebesar betis orang dewasa sudah
menggelinjang di atas permukaan air.
“Alhamdulillah, naik satu ikan kasik. Pak Guru.”
Ikan kasik itu adalah jenis ikan yang tidak bersisik dan bergigi pasir,
seperti ikan Baung dan ikan Benso. Biasanya ikan kasik gemar mencari makan dan
bermain di dasar sungai nan berpasir dan berlumpur. Sedangkan ikan sisik adalah
ikan bersisik seperti ikan Nila, ikan Gurami dan ikan Garing.
Tak lama kemudian giliran Ihsan pula
menyentak jorannya. Hampir saja jorannya terbang ke dalam Batang Hutan karena
kayu bercagaknya kurang kuat tertanam di tanah. Dia pegang jorannya dengan
tangan kanan sementara tangan kirinya memutar katrol pancing. Meliuk-liuk
jorannya. Dia ulur benang pancingnya sekitar satu meter lalu disentaknya lagi
dengan perlahan.
“Mainkan dulu, Pak Guru. Kalau dia sudah
lelah dan menyerah baru ditarik lagi.”
“Ya, Pak.”
Setelah tak ada lagi perlawanan,
akhirnya seekor ikan Benso sebesar lengannya sendiri berhasil dinaikkan oleh
Ihsan ke tepian Batang Hutan. Gembira sekali hati Ihsan melihat ikan Benso
sebesar itu.
Baru saja Ihsan melepas ikan dari kail, jorannya yang satu lagi terjatuh dari kayu bercagak. Ihsan
memburunya. Dia sentak lagi jorannya dengan pasti ke sebelah kanan atas. Benang
pancingnya menegang dan tertarik ke arah seberang. Dia pegang erat-erat jorannya
dengan kedua tangan. Benang pancingnya di atas air jadi liar. Bergerak ke kiri
dan kanan. Ketika jorannya agak melengkung ke bawah, Ihsan cepat-cepat memutar
katrolnya. Seekor ikan Baung sebesar paha orang dewasa akhirnya berhasil
ditangkap olehnya.
Ihsan masih terengah-engah dan
terburu-buru hendak melepaskan ikan dari kail.
“Astaghfirullah!”
Ihsan terkejut. Telunjuk kirinya tertusuk patil ikan Baung. Dia lupa memakai
tang untuk menjepit dan mematahkan patil-patil nan berbisa itu. Terasa jarinya
berdenyut-denyut sakit.
Pak Aman bergegas datang dan
mencolek-colek lendir di tubuh ikan Baung yang mematil jari Ihsan. Lalu lendir
itu beliau oleskan di telunjuk Ihsan yang terpatil tadi.
“Mudah-mudahan sembuh.”
“Ini obatnya ya, Pak?”
“Ya, Pak Guru. Saya biasanya kalau
terkena patil ikan Baung. Diobatinya pakai lendir tubuh ikan yang mematil.”
Hanya berselang lima belas menit saja,
rasa sakit pada telunjuk Ihsan sudah hilang. Tinggal sebuah lubang kecil dan
bengkak nan memerah saja.
“Mujarab obatnya. Terima kasih, Pak.”
“Sama-sama, Pak Guru. Lain kali
hati-hati.”
Hari itu Ihsan mendapat sebuah pelajaran
dan pengetahuan berharga dari Pak Aman. Jika terpatil ikan Baung, cobalah
mengobatinya dengan lendir di tubuh ikan yang mematil untuk menawar bisa dan
menyembuhkan rasa sakitnya.
Pak Aman memasang seekor udang pada
kailnya lalu dilemparkan jauh hampir dekat seberang. Dari tadi sudah tujuh kali
air di situ membuncah-buncah. Mungkin ada ikan besar sedang mengejar ikan-ikan
kecil. Baru saja kail dilempar ke air nan membuncah-buncah itu, joran Pak Aman
yang belum sempat diletakkan di kayu bercagak sudah melengkung dan benang
pancingnya terlihat sangat tegang. Hampir dua puluh menit lamanya Pak Aman
bertahan menghadapi perlawanan dari penghuni Batang Hutan. Akhirnya seekor ikan
Belida dengan panjang hampir satu meter dan lebar dua jengkal tangan dengan
berat sekitar sembilan kilogram berhasil dinaikkan oleh Pak Aman.
Sudah hampir tengah hari. Mereka pun
membuka bekal makan siang masing-masing dan mulai makan. Setelah makan, Ihsan
pun kembali mengajak Pak Aman mengobrol.
“Memang berisi lubuk di sini ya, Pak.”
“Ya, Pak Guru. Masih ada beberapa lubuk
yang berisi di Batang Hutan ini. Hanya sayangnya, saya risau kalau kelak
lubuk-lubuk nan berisi seperti ini hilang.”
“Mengapa pula sampai hilang, Pak?”
“Bakal hilang, Pak Guru. Tentu saja
hilang sebab makin hari makin banyak orang yang menambang batu-batu alam dari
Batang Hutan. Lalu ada pula yang menambang emas. Ada pula yang meracun dan
menyetrum ikan di bagian-bagian dangkal aliran Batang Hutan. Di Batang Bapilin
dan Batang Sekam begitu juga, Pak Guru. Ditambah lagi ada yang menambang pasir
di sungai.”
“Kalau begitu memang bakal hilang dan
rusak, Pak. Lingkungan jadi rusak. Kalau lingkungan rusak. Manusia juga yang
rugi.”
“Saya sebenarnya maklum juga. Mereka
penambang batu-batu alam, penambang emas dan pasir, peracun dan penyetrum
ikan-ikan dan penebang pohon-pohon itu juga cari makan seperti saya yang
mengail ini. Tapi mestinya dipikirkan juga kalau mencari rezeki dari alam, alamnya
mesti dijaga dan tidak dirusak. Kalau alam sudah rusak, bukannya rezeki yang
diperoleh namun malah bencana alam yang datang.”
Ihsan mengangguk-angguk mendengar kata
Pak Aman. Meski hanya seorang pengail tradisional beliau sangat paham sekali
bahwa lingkungan harus dijaga dan tidak boleh dirusak.
“Saya ini mengail sebab dengan mengail
ini tidak akan merusak lingkungan. Kecuali kalau buang sampah sembarangan di
lokasi mengail. Kalau dengan meracun dan menyetrum ikan itu tidak hanya
ikan-ikan yang besar saja yang mati. Ikan-ikan kecil, induk-induk ikan dan
anak-anak ikan ikut mati juga, Pak Guru.”
Ihsan mendengarkan penjelasan beliau
dengan seksama.
“Selain mengail, saya juga memasang jantang, Pak Guru. Kalau jantang itu hanya untuk menangkap
ikan-ikan yang besar saja. Hampir sama seperti pancing tajur. Jika menangkap ikan dengan jala dan
jaring itu juga dipilih-pilih hasil tangkapannya, Pak Guru. Biasanya kalau
ikan-ikan kecil yang masih hidup sangkut di jala dan jaring langsung dilepas.
Hanya ikan-ikan besar saja yang diambil. Menurut saya itu lebih baik daripada
menangkap ikan dengan cara meracun dan menyetrum.”
“Ya, Pak. Saya dengar dari Pak Katik di
sekolah bahwa pemerintah kabupaten sudah mengeluarkan peraturan yang melarang
segala aktivitas penambangan batu-batu alam sungai, penambangan emas dan pasir
dari sungai. Kata beliau juga ada larangan meracun dan menyetrum ikan.
Pemerintah sedang menggesa pemberdayaan ekonomi kreatif untuk masyarakat
berbasiskan potensi budaya, pariwisata, lingkungan, pertanian dan perikanan.
Kalau tidak salah saya bakal ada pengembangan Wisata Tabek, Wisata Arung Jeram,
peternakan dan budi daya ikan air tawar, berkebun. Dengan pemberdayaan itu
diharapkan masyarakat tidak lagi dari menambang batu, pasir dan emas serta meracun
dan menyetrum ikan di sungai-sungai sebagai mata pencaharian.”
“Pak Guru seperti penyuluh dari
kabupaten saja.” Kata Pak Aman tersenyum.
“Saya sebenarnya juga sudah mendengar
kabar itu, Pak Guru. Saya sangat setuju dengan pemberdayaan ekonomi kreatif
dari pemerintah agar yang kreatif-kreatif merusak alam itu juga dapat mencari
makan dan membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Tapi asal jangan kreatif nan
koruptif pula, Pak Guru. Sudah banyak saya tonton di televisi kalau
program-program pembangunan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang dikorupsi
anggarannya. Mana pula bisa sejahtera rakyatnya kalau di pemerintahnya saja
masih banyak oknum yang suka mencuri uang untuk pembangunan.”
Ihsan hanya tersenyum. Itu memang salah
satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsanya.
“Kata penyuluh budi daya ikan dari
kabupaten. Saya akan diberi bantuan bibit dan pakan ikan dua bulan lagi. Saya
sudah siapkan tabek[6]
untuk beternak ikan di belakang rumah, Pak Guru. Tabeknya tak besar, mungkin
cukup untuk memelihara 1000 ekor ikan Lele atau ikan Nila. Saya yang penting
itu masih bisa mengail saja, ya sudah bersyukur. Biarlah kelak anak-anak saya
saja jadi penambang-penambang kekayaan alam berhasil yang selalu mencintai dan
menjaga lingkungannya.” Sambung Pak Aman.
“Kata Pak Katik akan ada program
Tabek Wisata dari pemerintah yang dikelola oleh penduduk. Lima hektar tanah sudah
disiapkan pemerintah kabupaten untuk tempat peternakan, pembibitan dan
pemancingan ikan air tawar. Di sana juga akan disiapkan kios-kios untuk
berjualan makanan, minuman dan hasil kerajinan tangan dari penduduk. Selain itu
akan dibangun pula musala, pentas teater, galeri dan pondok internet.”
“Mudah-mudahan segera direalisasikan
pemerintah ya, Pak Guru.”
Hari itu mereka berhasil membawa
pulang tangkapan berupa beberapa ekor ikan Baung, ikan Benso, ikan Belida, ikan
Garing dan ikan Barau.
Suatu hari pada malam minggu, Ihsan ikut
bersama Pak Aman mengail malam di Batang Sekam. Sebuah sungai yang lebarnya
sekitar 25 meter dan memiliki kedalaman hampir 3 meter pada lubuk-lubuknya.
Kalau di bagian dangkalnya hanya sebetis orang dewasa dalam airnya. Batang
Sekam memang tidak sedalam dan selebar Batang Hutan dan Batang Bapilin namun
sungai itu juga menjadi tempat kegemaran para pengail di Jorong Jauh dan sekitarnya.
Malam itu bulan mati. Dekat lokasi
mengail ada banyak buluh nan rimbun. Arus Batang Sekam malam itu lumayan deras.
Mungkin kemarin sore hujan turun di hulu.
Pak Aman sudah melemparkan kailnya.
Beliau meletakkan jorannya pada sebuah kayu bercagak dua. Sebuah kerincing
kecil dipasang pada ujung joran. Kalau ada ikan memakan umpan dan menyentak
kail maka kerincing itu akan berbunyi. Ihsan baru saja memasang umpan kapas.
Umpan kapas adalah umpan yang terbuat dari udang yang dilumat-lumat dan
dicampurkan dengan kapas lalu disimpan selama seminggu. Umpan kapas biasanya
dijual seharga delapan ribu rupiah untuk satu bungkus platik kecil. Umpan itu
dikatakan umpan spesial. Spesial karena jika mengail dengan umpan tersebut di
sungai yang banyak ikan Baungnya mesti umpannya langsung disembar kalau di
lokasi mengail ada populasi ikan Baung.
Ihsan sudah pernah membuktikannya
sendiri ketika mengail di Batang Bapilin. Ketika itu belum sampai tiga menit
saja kail dengan umpan kapas dilemparkan Ihsan, jorannya sudah disentak ikan.
Hasilnya malam itu Ihsan menaikkan seekor ikan Baung sebesar paha orang dewasa.
Ihsan bersemangat melemparkan kailnya
hampir ke dekat seberang Batang Sekam. Ada ada yang aneh. Tiada terdengar
kecipak air di seberang saat pemberat timah jatuh ke dalam sungai.
Perlahan-lahan Ihsan memutar katrolnya. Lalu benang pancing sudah terasa agak
tegang. Dia letakkan jorannya pada kayu bercagak.
Tak sampai lima menit. Tiba-tiba
terdengar bunyi.
“Kriiing…kriing..kriing.”
Ihsan tersentak. Detak jantungnya
semakin cepat.
“Makan itu, Pak Guru!” seru Pak Aman.
Tak lengah lagi Ihsan menyentak
jorannya. Terasa sangat berat. Jorannya melengkung ke arah kiri. Ada
perlawanan. Jorannya ditarik ke arah kanan. Ihsan mengulur sedikit benang
pancingnya lalu menggulungnya kembali.
“Melawan tampaknya, Pak Guru?”
“Iya Pak.” Jawab Ihsan
Pak Aman menghidupkan senter dan
menyorotkannya ke seberang. Pecahlah tawa Pak Aman.
“Ha..ha..ha..Itu tersangkut di sampan,
Pak Guru.”
“Ah, meleset lemparnya tadi.”
Ihsan terkecoh. Kailnya tersangkut pada
sebuah sampan yang tertambat di seberang. Sampan itu bergerak-gerak maju mundur
akibat arus sungai. Itulah rupanya yang menyentak joran Ihsan. Dia lupa
menyenter sebelum melempar kailnya. Kalau tadi ada orang di dalam sampan
mungkin bisa bengkak kepalanya terkena pemberat timah joran Ihsan. Setelah
berupaya melambung-lambungkan pemberat timah, akhirnya kail Ihsan terlepas dari
sampan yang tertambat.
“Ke kanan saja lemparnya, Pak Guru.
Jangan melawan arus dari hulu. Kalau memang melawan arus biarkan saja hanyut ke
hilir. Biar tidak tersangkut. Kalau tidak bisa lepas nanti terpaksa diputus
saja benang pancingnya.”
“Ya, Pak. Saya lempar ke tengah saja.”
“Kalau rezeki tidak akan kemana, Pak Guru.
Yakinlah Pak Guru, akan ada ikan besar yang akan terkail oleh Pak Guru.”
“Amin.”
Setelah mengail hampir empat jam, mereka
akhirnya berhasil mendapat sembilan ekor
ikan Baung sebesar betis orang dewasa. Pak Aman dapat enam ekor ikan dan Ihsan
dapat tiga ekor ikan. Gembira sekali Ihsan dapat menghabiskan malam minggunya
dengan mengail. Sekitar pukul 23.33 WIB, mereka pun pulang ke rumah
masing-masing.
Tak terasa sudah dua tahun Ihsan
mengabdi dan menikmati hidup di Jorong Jauh. Kegemarannya mengail pada
hari-hari libur sekolah, hari Minggu dan malam minggu sudah membawanya ke
berbagai lokasi pemancingan seperti di Rawa Hutan Takapuang, Tabek Pacu, Tabek
Ikan Pita, Lubuk Larangan Tapian Daro, Lubuk Nila Subarang Batang Sekam, Batang
Bapilin dan tentu saja Batang Hutan nan eksotis. Hobi memancing itu pula nan
membuat Ihsan berkenalan dengan para pemancing di Jorong Jauh seperti Pak Us,
Pak Buyung, Pak San dan Pak Edi. Mereka adalah penggemar berat memancing ikan
nan rela mengambil jatah cuti kerja hanya untuk memancing. Menurut mereka
selain sebagai aktivitas olah raga menyehatkan tubuh, kegemaran memancing juga
untuk menyegarkan pikiran dan perasaan serta melatih kesabaran.
Selama ikut mengail bersama-sama Pak
Aman, Ihsan mendapatkan pembelajaran yang bermanfaat bahwa sebenarnya alam di
sekitar manusia adalah tempat untuk mencari rezeki bagi manusia yang perlu
dijaga dan tidak boleh dirusak. Di alam juga kaya akan bahan obat-obatan
bermanfaat untuk menyembuhkan penyakit manusia.
Jauh di lubuk hati nan terdalam seorang
pengail ikan seperti Pak Aman ternyata tersimpan kearifan bahwa mencari rezeki
dari alam tidak mesti dengan merusak alam. Mengail juga salah satu bentuk
kecintaan untuk melindungi kelestarian alam khususnya spesies ikan air tawar
yang ada di sungai-sungai. Jika alam dirusak akan semakin banyak bencana alam
terjadi padahal begitu banyak yang dapat manusia pelajari dan peroleh dari alam
baik untuk kepentingan ekonomi dan ilmu pengetahuan manusia. Jadi seperti
pepatah Nusantara nan berbunyi “Alam
Terkembang Jadi Guru”, maka alam adalah mahaguru yang wajib dihormati.
Salah satu cara menghormati alam adalah dengan menjaga kelestariannya.
*****
Dumai, 2014
[1] Pemancing ikan.
[2] Memancing ikan.
[3]
Pasar Kamis.
[4]
Alat menangkap ikan seperti
rawai.
[5] Pasir.
[6] Kolam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar