09/08/14

KAIL


Batang Hutan ini jadi sangat keruh dan berwarna kecokelat-cokelatan kalau hujan deras di hulu. Jika cuaca sedang bersahabat dan tidak hujan deras di hulu maupun di hilir maka air Batang Hutan terlihat ada nan jernih, ada pula nan kehijau-hijauan dan kebiru-biruan. Sangat eksotis pemandangannya. Di kiri dan kanan sepanjang 30 kilometer sungai masih banyak ditemukan hutan dan rimba. Tak jauh dari pemukiman penduduk di beberapa Jorong yang berada dekat daerah aliran sungai ada kebun Karet, Cokelat dan Durian. Ada pula beberapa puluh petak sawah nan menghijau.
Di rimba sekitar Batang Hutan masih banyak ditemukan flora dan fauna yang rasanya tak akan pernah dilihat di tengah kota kecuali kalau di kota ada pameran flora dan fauna, kebun binatang serta sirkus. Di dalam rimba itu masih ada ditemukan Bunga Bangkai setinggi 2,8 meter, pohon Kabung dan pohon Cempedak. Selain itu juga ada Harimau Sumatera, Babi hutan, Gajah, Rusa, Kijang, Kancil, Landak, Trenggiling, Enggang dan masih banyak yang lainnya. 

Batang Hutan adalah sebuah sungai yang kedalamannya sekitar 17 meter dengan lebar 80 meter. Tebingnya berbatu-batu di kedua sisi. Kalau hendak sampai ke tepian Batang Hutan dari jalan mesti turun ke bawah sekitar 2 meter. Batang Hutan adalah salah satu sungai terindah nan ada di Jorong Jauh. Jorong Jauh adalah salah satu wilayah terkecil dalam sebuah Nagari Dekat.
Nagari Dekat termasuk dalam sebuah wilayah administrasi pemerintahan pada Kecamatan Tepian di Kabupaten Hujung.  Kabupaten Hujung sendiri pernah dikatakan sebagai salah satu daerah tertinggal dan terisolir karena masih minimnya sarana, prasarana dan fasilitas infrastruktur seperti jalan, listrik, air bersih, sekolah dan rumah sakit. Minimnya alokasi anggaran pembangunan adalah penyebab utama terkendalanya pembangunan di Kabupaten Hujung. Namun sekarang hampir semuanya sudah ada di ibukota Kabupaten Hujung. Penduduknya khusus di Jorong Jauh sejak dibangunnya jalan raya sangat merasakan manfaat dari hasil pembangunan infrastruktur. Mereka tidak lagi mengalami kesulitan jika hendak berobat ketika sakit dan menyekolahkan anak-anak mereka agar menjadi manusia-manusia nan cerdas, pintar, jujur, beriman, bertaqwa serta cinta bangsa, tanah air dan negaranya.
Cuaca di Jorong Jauh masih terasa sejuk dan segar. Masih bersih dari polusi udara. Pohon-pohon nan rimbun dan rindang dengan daun-daun hijau masih setia menyerap karbondioksida lalu mengeluarkan oksigen nan menyehatkan untuk pernafasan manusia dan mahluk hidup lainnya. Ihsan sangat menikmati kehidupan di Jorong Jauh. Dia baru saja sampai di Jorong Jauh nan permai. Belum genap satu minggu berada di sana, Ihsan memutuskan untuk mengabdikan dirinya pada sebuah Sekolah Dasar di Jorong Jauh. Setahun yang lalu Ihsan baru saja selesai menamatkan kuliah dan mendapatkan gelar sarjananya di sebuah perguruan tinggi. Ketika beberapa hari tinggal di Jorong Jauh, Ihsan mendapat kabar bahwa Sekolah Dasar 022 di Jorong itu membutuhkan seorang guru untuk mengajarkan pelajaran bahasa kepada siswa-siswinya. Oleh karena panggilan nurani dan kesesuaian kompetensi yang dimiliki maka Ihsan pun mengabdikan dirinya di sekolah tersebut.
Baru beberapa bulan Ihsan mengajar di Sekolah Dasar tersebut, datang pula beberapa tawaran dari sekolah-sekolah lain dan sebuah Sanggar Kegiatan Belajar untuk menjadi guru dan tutor belajar. Tanpa berpikir panjang, Ihsan pun menyetujui tawaran-tawaran nan datang sebab dia hendak mengabdikan dirinya turut serta mencerdaskan anak-anak bangsa sesuai dengan latar belakang sedikit pengetahuan yang dimilikinya selama kuliah. Masalah besarnya gaji jadi guru dan tutor belajar itu bukan tujuan utamanya. Gajinya hanya sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah untuk mengajar di delapan kelas dari kelas 3 sampai kelas 6 di satu sekolah. Dalam sebulan ada empat Sekolah Dasar dan dua kelas di Sanggar Kegiatan Belajar yang jadi tempat mengabdinya. Itu jadwal mengabdi dari Senin sampai Sabtu. Di hari Minggu pagi, Ihsan mengajar pula di sebuah lembaga pendidikan non formal yang lokasinya berjarak 45 kilometer dari tempat tinggalnya. Ihsan tinggal di rumah Uni Ambun Suri. Kalau malam minggu datang, Jangan ditanya Ihsan berakhir pekan dan kencan di mana. Ihsan baru saja patah hati sebab ditinggal oleh kekasihnya.
Alamak malang sungguh kisah Ihsan kalau begitu. Tapi Ihsan sepertinya sedang dalam proses meresapi makna pepatah Nusantara nan berbunyi “patah tumbuh, hilang berganti”. Seorang kekasih pergi, pasti diberi ganti. Masih ada pula pepatah Nusantara nan berbunyi “asam di gunung garam di laut, dalam belanga bertemu jua” mestilah bermanfaat maknanya untuk diri Ihsan.
Di sela-sela pengabdiannya, Ihsan punya kegemaran yang tak dapat dijauhinya. Namun bagi sebagian kecil penduduk di Jorong Jauh, kegemaran Ihsan adalah sebuah mata pencaharian. Ihsan gemar mengail. Kegemaran Ihsan memancing ikan itu sudah akrab dengannya sejak masih duduk di kelas 4 Sekolah Dasar.
Tapi tak semua orang di Jorong Jauh yang menjadikan mengail sebagai hobi. Masih ada penduduk yang berprofesi sebagai penganyia.[1] Bagi mereka menganyia[2] adalah mata pencaharian. Mengail ikan-ikan di sungai, lubuk dan rawa untuk menghidupi keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya. Mereka adalah nelayan di darat nan tangguh dan sabar memasang umpan-umpan di mata kail dan menunggu rezeki halal dari alam berupa ikan-ikan air tawar nan segar.
Pak Aman adalah salah seorang penganyia di Jorong Jauh yang sering mengajak Ihsan mengail saat hari-hari libur sekolah. Maklumlah tiga orang anak Pak Aman adalah siswa Ihsan di Sekolah Dasar di belakang Pakan Kamih[3].
Perkenalan Ihsan dengan Pak Aman bermula ketika Imran, anak Pak Aman, bertemu gurunya itu pada Sabtu petang di sebuah kedai perlengkapan pancing di ibu kota Kabupaten Hujung.
“Selamat sore Pak Guru,” sapa Imran sambil tersenyum.
“Sore Imran. Kamu hobi mengail juga ya?” tanya Ihsan sebab dia melihat Imran sedang memilih beberapa mata kail ukuran tujuh.
“Tidak Pak Guru. Tadi Ayah menyuruh saya membeli mata kail dan benang pancing,” jawab Imran.
“Bapak kira kamu yang hobi mengail. Ayahmu gemar mengail juga ya?” lanjut Ihsan.
“Kalau Ayah saya bukan gemar lagi. Tiap hari beliau mengail, Pak Guru. Ayah saya itu seorang penganyia, Pak Guru,” jawab Imron agak sedikit tersipu-sipu.
“Tidak apa-apa.”
“Pak Guru gemar mengail ya? Kalau Pak Guru mau mengail dan dapat ikan yang besar-besar, datang saja ke rumah saya besok pagi. Biar saya bilang ke Ayah agar menunjukkan lokasi mengail ikan yang besar-besar kepada Pak Guru.”
Ajakan siswanya itu tentu tidak ditolak oleh Ihsan. Dia memang belum mengetahui lubuk-lubuk ikan yang besar di Jorong Jauh. Sia-sia saja kalau mengail di lubuk yang tiada ikan-ikannya. Ihsan hendak mencari informasi langsung dari penduduk Jorong Jauh tentang kebiasaan-kebiasaan setempat tentang cara mengail ikan-ikan besar.
“Kalau malam ini Bapak ke rumahmu, boleh?”
“Nanti malam, Ayah saya tidak di rumah. Beliau pergi memeriksa jantang[4], jaring dan pancing tajur yang dipasangnya tadi sore, Pak Guru.”
“Terima kasih ya Imran. Besok pagi Bapak ke rumahmu.”
Ihsan pun segera pulang ke rumah setelah selesai membeli sebungkus mata kail ukuran 4, sebungkus mata kali ukuran 9, sebungkus kili-kili ukuran sedang, dua gulung besar benang pancing berukuran 0,45 mm dan 0,15 mm, 5 buah pemberat terbuat dari timah sebesar jempol kaki orang dewasa, 5 buah pemberat timah spiral berukuran kecil, sebuah katrol merek Viking 5000, sebuah katrol pancing merek Viking 2020, dua buah joran bersambung terbuat dari fiber sepanjang 3 meter dan 1,7 meter, 3 buah pelampung ukuran kecil, sepasang sepatu bot karet dan sebuah senter.
Bukan main si Ihsan. Tak main-main tampaknya dia hendak mengail. Perlengkapan pancing yang dibeli Ihsan itu termasuk kategori standar saja. Kalau hendak membeli perlengkapan memancing kategori kelas menengah saja maka Ihsan mesti menabung seluruh gaji yang diperolehnya dari mengabdi sebagai guru honorer di sekolah dan tutor di Paket B dan Paket C selama setahun.
Seumur hidupnya Ihsan tak pernah mengail dengan pancing katrol dan joran fiber. Dia hanya mengail dengan joran dari buluh yang ujungnya diikat dengan benang pancing. Panjang buluhnya 2 hingga 3 meter. Pernah dulu dia hendak membeli sebuah joran lengkap dengan katrolnya seharga Rp 15.000 ketika masih belajar di Sekolah Dasar namun emaknya melarang. Kata emaknya lebih baik belikan arloji saja agar Ihsan selalu ingat waktu kapan mau mandi, belajar, bermain, pulang ke rumah, belajar mengaji, makan dan tidur. Ihsan waktu masih kecil-kecil dulu memang gemar bermain meriam karbit, mengail, mandi di sungai, masuk hutan dan main layang-layang. Kalau sudah diberi izin keluar rumah untuk bermain atau pergi mengail acap kali dia terlambat pulang ke rumah. Padahal ayah dan emaknya sangat risau dan marah sekali kalau anak-anaknya masih di luar rumah lewat dari pukul enam sore.
Pernah sekali Ihsan nekat pergi mengail sendirian ke rawa-rawa dalam hutan dekat belakang rumahnya. Sehari sebelumnya teman-teman Ihsan dan dirinya sudah sepakat untuk pergi mengail bersama-sama. Namun entah kenapa teman-temannya malah asyik bermain kelereng. Mereka tengah keasyikan menyetik gundu-gundu ke dalam tiga lubang di lapangan bola voli ketika Ihsan datang membawa tiga buah joran buluh dan setempurung cacing tanah.
“Ayo kita berangkat.”
“Tidak jadi, San. Kita main kelereng saja. Kalau kelereng kau tidak ada. Ini kami bagi sembilan kelereng.”
“Kelereng lagi, kelereng lagi. Di rumah ada satu kaleng kelereng.”
“Berani kau pergi mengail sendiri?”
“Kalau kalian tidak jadi ikut. Aku mengail sendiri saja.”
Lalu Ihsan pun berangkat sendirian. Sebenarnya Ihsan agak takut juga sebab rawa-rawa lokasi mengailnya ada di seberang parit galian sedalam 1,5 meter dan selebar 6 meter dekat tepi hutan. Gamang juga Ihsan. Entahlah ada apa dalam parit galian itu. Ihsan lalu mengambil dua bongkah tanah sebesar kepalan tangannya. Dia lempar bongkahan pertama ke tengah-tengah parit galian.
“Pluuuuuunnng”.
Permukaan airnya beriak. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Dia lemparkan lagi bongkahan tanahnya. Tiada yang aneh. Kata orang kalau hendak berenang menyeberang sungai atau parit di tepi hutan jangan langsung terjun dulu. Lemparkan sesuatu ke sungai atau paritnya dengan tujuan untuk mengetahui kalau ada binatang buas seperti buaya atau ular. Biasanya binatang buas yang ada di dekat situ akan bergerak jika ada sesuatu beriak. Ihsan masih agak cemas juga.Tapi dasar Ihsan sudah kebelet mengail. Dia memberanikan diri untuk menyeberangi parit galian.
Setelah mengail seharian, hasilnya Ihsan membawa pulang dua ekor ikan Aruan sebesar betisnya, empat puluh ekor ikan Sekepar rata-rata sebesar telapak tangannya. Ikan-ikan itu dikaitkan pada sebuah kawat sepanjang tiga puluh sentimeter.
Ihsan cemas. Terdengar suara azan berkumandang dari musala.
Allahuakbar, Allahuakbar…,”
Dia mempercepat langkahnya ketika melewati lapangan bola voli. Dia berlari. Bergegas hendak sampai ke rumah.
Ihsan terpaku. Baju kaos dan rambut keritingnya masih basah. Badannya anyir. Ujung jempol dan telunjuk kirinya terasa pedih. Telapak tangan dan kakinya agak memucat. Di jalan depan rumah, Ayahnya sudah tegak sambil memegang pinggang. Ayahnya pemberang.
“Kemana saja Ihsan? Hari sudah senja! Kau baru saja pulang. Main saja kerjamu. Tidak tahu kalau Ayah dan Emakmu risau.” Tangan kanan Ayahnya seperti hendak bergerak.
Ihsan menunduk. Agak panas terasa di pelupuk matanya. Dia hendak menangis. Tapi tidak jadi. Dia angkat tentengan ikan-ikan yang disembunyikannya di belakang badan.
“Ihsan tadi pergi mengail. Kalau Ayah tidak percaya, ini ikan-ikan hasil mengail tadi.”
Ayahnya tertegun. Mengeleng-geleng.
“Nanti siap mandi dan shalat, Ihsan goreng ikan-ikan ini dengan sambal cabai dengan tumis Kemumu untuk Ayah.”  Ihsan pun berlari masuk rumah. Ayahnya makin mengeleng-geleng.
Hari minggu pagi Ihsan pun berangkat ke rumah Pak Aman. Rumahnya tidak jauh dari rumah Uni Ambun Suri. Ketika hampir sampai, Ihsan melihat Pak Aman duduk di balai-balai depan rumah sedang memperbaiki jaring dan jala.
Assalamu’alaikum, Pak,” sapa Ihsan sambil tersenyum.
Wa’alaikumussalam. Pak Guru rupanya. Silakan masuk, Pak Guru.” Jawab Pak Aman.
Ihsan segera menyalami beliau. Pak Aman usianya 55 tahun. Rambutnya ikal. Sorot matanya tajam. Dari raut mukanya, beliau adalah orang nan ramah dan bersahabat.
“Di luar sini saja kita duduknya, Pak.”
“Silakan, Pak Guru.”
“Lagi memperbaiki jaring, Pak?”
“Iya, Pak Guru. Jaring saya koyak. Mungkin tadi malam kena pelepah kelapa yang hanyut.”
“Banyak juga hasil menjaringnya, Pak?”
Alhamdulillah, hampir lima kilo ikannya.”
“Apa saja ikannya, Pak?”
“Macam-macam Pak. Ada ikan sisik dan ikan kasik[5] seperti ikan Nila, Gurami, Benso, Baung dan Patin.”
“Kemarin sore saya ada bertemu dengan Imran, anak Bapak. Imran bilang kalau mau mengail di lubuk-lubuk yang berisi ikan-ikan besar, temui Pak Aman saja.”
“Ya..ya..Imran tadi malam ada memberitahu saya. Jangan risau Pak Guru. Besok pagi saya akan ajak Pak Guru mengail di Batang Hutan. Kalau tidak salah saya, besok sekolah libur ya Pak Guru?”
“Benar Pak. Wah terima kasih ya Pak karena sudah mau mengajak saya pergi mengail ke Batang Hutan.”
“Sama-sama Pak Guru. Besok saya tunjukkan pada Pak Guru di mana lubuk-lubuk yang bagus untuk mengail.”
“Terima kasih Pak.”
Keesokan harinya Ihsan dan Pak Aman berangkat menuju Batang Hutan untuk mengail. Mereka pergi dengan menggunakan sepeda motor Uni Ambun Suri yang dipinjam Ihsan. Pak Aman mengajak Ihsan mengail di sebuah lubuk tak jauh dari pertemuan tiga sungai. Aliran air Batang Bapilin dan Batang Sekam bertemu pada Batang Hutan. Dibandingkan dari kedalaman dan lebarnya, Batang Bapilin lebih dalam dan lebih lebar dari Batang Sekam. Sedangkan Batang Hutan lebih dalam dan lebih lebar dari Batang Bapilin. Arus Batang Hutan lebih deras daripada keduanya. Batang Hutan seringkali menjadi tempat olahraga arung jeram. Sudah banyak para pecinta arung jeram yang datang untuk menikmati jeram-jeramnya nan mampu memacu adrenalin. Jalan tanah dan berbatu-batu dengan tanjakan dan turunan yang berundak-undak di sebelah kiri Batang Hutan juga menjadi destinasi kegemaran para pecinta terabas dengan mengendarai sepeda motor.
Setibanya di lubuk tempat mengail, mereka mulai mengeluarkan perlengkapan memancing dan memasang umpan. Pak Aman menggunakan tiga buah joran dan Ihsan hanya dua buah joran saja. Setelah kail dilemparkan, setiap joran diletakkan pada kayu-kayu bercagak yang sudah ditancapkan ke tanah di sela-sela bebatuan. Di sepanjang Batang Hutan baik di tepi maupun di tengahnya memang penuh batu-batu alam. Tebing-tebing batunya sangat indah sekali. Ukiran-ukiran alami pada tebing-tebing itu tercipta dari kelembutan air yang mengalir di arus Batang Hutan. Kelembutan air ternyata dapat membuat batu-batuan menjadi indah dan memukau.
Pak Aman terlihat sedang menangkap beberapa ekor udang yang bermain-main di sela-sela batu dekat tepi sungai. Beliau berhasil menangkap lima ekor udang. Udang itu bakal umpan untuk mengail. Pak Aman sebenarnya sudah membawa berbagai umpan seperti umpan kapas, cacing tanah dan potongan-potongan singkong yang digoreng setengah masak. Kalau umpan kapas digunakan untuk umpan mengail ikan Baung. Cacing tanah adalah umpan untuk segala jenis ikan di sungai. Sedangkan singkong dijadikan umpan untuk mengail ikan Garing. Menurut Pak Aman, ikan Garing di Batang Hutan besar-besar dan sering kali memberikan perlawanan jika tersangkut di kail.
Ihsan pun mulai mengobrol dengan Pak Aman sambil menikmati pemandangan indah Batang Hutan dan sejuknya udara nan segar.
“Sudah berapa lama Pak Aman bekerja sebagai pengail ikan?”
“Belum lama Pak Guru. Baru sekitar empat puluh tahun,” jawabnya seraya tersenyum.
“Apa saja suka dan dukanya Pak kalau bekerja sebagai pengail ikan?”
Pak Aman tersenyum lagi. Beliau menghela nafas panjang.
“Beginilah Pak Guru. Kalau jadi pengail ikan tentu kegembiraannya saat mendapat tangkapan ikan-ikan yang besar dan banyak. Sebagian dijadikan lauk untuk keluarga. Sebagian dijual ke pasar dan perolehan uangnya digunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari keluarga. Alhamdulillah, kalau semua batang, lubuk, hutan dan sekalian alam di sekitar dijaga maka tak perlu cemas untuk mendapatkan rezeki dari alam.”
“Saya lihat hutan, batang-batang dan lingkungan sekitar sini masih terjaga ya Pak.” Ujar Ihsan.
“Itulah Pak Guru. Sepertinya memang begitu. Namun belakangan penduduk banyak dipengaruhi oleh orang-orang dari luar untuk menebang pohon-pohon di hutan. Ada pula yang menambang batu-batu alam di Batang Hutan untuk dijual. Kabarnya dijual ke luar negeri.”
Pak Aman lalu menunjuk beberapa batu besar di tepi Batang Hutan dengan jempolnya.
“Lihatlah itu, Pak Guru. Dulu di dekat batu-batu ada tiga buah batu yang sangat besar. Sekarang sudah tidak ada lagi. Sudah diangkat orang dan dibawa pergi dengan truk yang rodanya berjumlah dua belas. Padahal dulu di situ banyak ikannya. Tebing tanah dipinggir itu juga jadi sering longsor sedikit demi sedikit. Kata anak saya yang sedang kuliah, penambangan batu-batu alam dari Batang Hutan sangat merusak. Merusak habitat ikan-ikan dan ekosistem sungai.”
Wajah Pak Aman terlihat sangat sedih. Beliau memendam sesuatu di dalam dadanya.
“Sudah ada anak Pak Aman yang kuliah ya? Di jurusan apa, Pak?
“Alhamdulillah, sudah ada Pak Guru. Dua anak saya sedang kuliah sekarang. Kedua-duanya dapat beasiswa dari pemerintah. Kalau tidak dibantu oleh pemerintah, saya tidak sanggup membiayai kuliah mereka. Anak saya yang sulung kuliah di jurusan Teknik Pertambangan. Kalau yang kedua kuliahnya di jurusan Politik Ekonomi. Mereka pulang kampung sekali enam bulan saja.”
“Wah hebat-hebat ya anak-anak Pak Aman. Semoga mereka selesai kuliah dan mau mengabdi untuk bangsa dan negara ya, Pak.”
            “Mudah-mudahan, Pak Guru. Saya inginnya kalau mereka tamat kuliah segera pulang ke kampung buat membangun kampung mereka. Saya risau Pak Guru. Banyak orang luar datang ke kampung ini bukan untuk membangun dan memajukan kampung ini namun malah mencari keuntungan dengan merusak alam secara berlebihan.”
            “Jangan risau, Pak. Tidak semua orang luar yang datang itu hendak merusak alam. Lagi pula sekarang pemerintah dan negara kita sedang giat-giatnya mencegah dan menghukum orang-orang yang merusak lingkungan. Sayangnya perusak lingkungan juga banyak berasal dari bangsa kita sendiri, Pak.”
            “Bukan Pak Guru maksud saya. Saya dan juga penduduk di sini sangat gembira sekali kalau ada yang mau masuk jorong-jorong nan terpencil seperti Jorong Jauh untuk mengajar anak-anak penduduk kampung. Di Jorong Tasuduik nan sangat terpencil itu saja baru ada tiga orang guru. Kalau hendak ke sana mesti berjalan kaki sejauh sepuluh kilo. Jalannya masih jalan setapak di dalam hutan.”
                  “Sekarang pemerintah sudah mengirimkan guru-guru ke daerah-daerah terpencil, Pak.”
            “Pernah saya dengar penduduk di kabupaten bercerita kalau guru-guru sekarang lebih banyak memilih mengajar di tengah-tengah kota dan kabupaten saja. Di sekolah-sekolah favorit. Padahal masih banyak daerah terpencil yang belum punya guru dan sekolah.”
         “Mudah-mudahan nanti pemerintah membuat kebijakan dan peraturan untuk mengirimkan guru-gurunya ke daerah-daerah terpencil, Pak.”
            Tiba-tiba Pak Aman bergegas menuju ke sebelah kanan. Beliau menyentak jorannya dan memutar katrolnya. Hanya sepuluh menit saja, seekor ikan Baung sebesar betis orang dewasa sudah menggelinjang di atas permukaan air.
            “Alhamdulillah, naik satu ikan kasik. Pak Guru.”
            Ikan kasik itu adalah jenis ikan yang tidak bersisik dan bergigi pasir, seperti ikan Baung dan ikan Benso. Biasanya ikan kasik gemar mencari makan dan bermain di dasar sungai nan berpasir dan berlumpur. Sedangkan ikan sisik adalah ikan bersisik seperti ikan Nila, ikan Gurami dan ikan Garing.
Tak lama kemudian giliran Ihsan pula menyentak jorannya. Hampir saja jorannya terbang ke dalam Batang Hutan karena kayu bercagaknya kurang kuat tertanam di tanah. Dia pegang jorannya dengan tangan kanan sementara tangan kirinya memutar katrol pancing. Meliuk-liuk jorannya. Dia ulur benang pancingnya sekitar satu meter lalu disentaknya lagi dengan perlahan.
“Mainkan dulu, Pak Guru. Kalau dia sudah lelah dan menyerah baru ditarik lagi.”
“Ya, Pak.”
Setelah tak ada lagi perlawanan, akhirnya seekor ikan Benso sebesar lengannya sendiri berhasil dinaikkan oleh Ihsan ke tepian Batang Hutan. Gembira sekali hati Ihsan melihat ikan Benso sebesar itu.
Baru saja Ihsan melepas ikan dari kail, jorannya yang satu lagi terjatuh dari kayu bercagak. Ihsan memburunya. Dia sentak lagi jorannya dengan pasti ke sebelah kanan atas. Benang pancingnya menegang dan tertarik ke arah seberang. Dia pegang erat-erat jorannya dengan kedua tangan. Benang pancingnya di atas air jadi liar. Bergerak ke kiri dan kanan. Ketika jorannya agak melengkung ke bawah, Ihsan cepat-cepat memutar katrolnya. Seekor ikan Baung sebesar paha orang dewasa akhirnya berhasil ditangkap olehnya.
Ihsan masih terengah-engah dan terburu-buru hendak melepaskan ikan dari kail.
Astaghfirullah!” Ihsan terkejut. Telunjuk kirinya tertusuk patil ikan Baung. Dia lupa memakai tang untuk menjepit dan mematahkan patil-patil nan berbisa itu. Terasa jarinya berdenyut-denyut sakit.
Pak Aman bergegas datang dan mencolek-colek lendir di tubuh ikan Baung yang mematil jari Ihsan. Lalu lendir itu beliau oleskan di telunjuk Ihsan yang terpatil tadi.
“Mudah-mudahan sembuh.”
“Ini obatnya ya, Pak?”
“Ya, Pak Guru. Saya biasanya kalau terkena patil ikan Baung. Diobatinya pakai lendir tubuh ikan yang mematil.”
Hanya berselang lima belas menit saja, rasa sakit pada telunjuk Ihsan sudah hilang. Tinggal sebuah lubang kecil dan bengkak nan memerah saja.
“Mujarab obatnya. Terima kasih, Pak.”
“Sama-sama, Pak Guru. Lain kali hati-hati.”
Hari itu Ihsan mendapat sebuah pelajaran dan pengetahuan berharga dari Pak Aman. Jika terpatil ikan Baung, cobalah mengobatinya dengan lendir di tubuh ikan yang mematil untuk menawar bisa dan menyembuhkan rasa sakitnya.
Pak Aman memasang seekor udang pada kailnya lalu dilemparkan jauh hampir dekat seberang. Dari tadi sudah tujuh kali air di situ membuncah-buncah. Mungkin ada ikan besar sedang mengejar ikan-ikan kecil. Baru saja kail dilempar ke air nan membuncah-buncah itu, joran Pak Aman yang belum sempat diletakkan di kayu bercagak sudah melengkung dan benang pancingnya terlihat sangat tegang. Hampir dua puluh menit lamanya Pak Aman bertahan menghadapi perlawanan dari penghuni Batang Hutan. Akhirnya seekor ikan Belida dengan panjang hampir satu meter dan lebar dua jengkal tangan dengan berat sekitar sembilan kilogram berhasil dinaikkan oleh Pak Aman.
Sudah hampir tengah hari. Mereka pun membuka bekal makan siang masing-masing dan mulai makan. Setelah makan, Ihsan pun kembali mengajak Pak Aman mengobrol.
“Memang berisi lubuk di sini ya, Pak.”
“Ya, Pak Guru. Masih ada beberapa lubuk yang berisi di Batang Hutan ini. Hanya sayangnya, saya risau kalau kelak lubuk-lubuk nan berisi seperti ini hilang.”
“Mengapa pula sampai hilang, Pak?”
“Bakal hilang, Pak Guru. Tentu saja hilang sebab makin hari makin banyak orang yang menambang batu-batu alam dari Batang Hutan. Lalu ada pula yang menambang emas. Ada pula yang meracun dan menyetrum ikan di bagian-bagian dangkal aliran Batang Hutan. Di Batang Bapilin dan Batang Sekam begitu juga, Pak Guru. Ditambah lagi ada yang menambang pasir di sungai.”
“Kalau begitu memang bakal hilang dan rusak, Pak. Lingkungan jadi rusak. Kalau lingkungan rusak. Manusia juga yang rugi.”
“Saya sebenarnya maklum juga. Mereka penambang batu-batu alam, penambang emas dan pasir, peracun dan penyetrum ikan-ikan dan penebang pohon-pohon itu juga cari makan seperti saya yang mengail ini. Tapi mestinya dipikirkan juga kalau mencari rezeki dari alam, alamnya mesti dijaga dan tidak dirusak. Kalau alam sudah rusak, bukannya rezeki yang diperoleh namun malah bencana alam yang datang.”
Ihsan mengangguk-angguk mendengar kata Pak Aman. Meski hanya seorang pengail tradisional beliau sangat paham sekali bahwa lingkungan harus dijaga dan tidak boleh dirusak.
“Saya ini mengail sebab dengan mengail ini tidak akan merusak lingkungan. Kecuali kalau buang sampah sembarangan di lokasi mengail. Kalau dengan meracun dan menyetrum ikan itu tidak hanya ikan-ikan yang besar saja yang mati. Ikan-ikan kecil, induk-induk ikan dan anak-anak ikan ikut mati juga, Pak Guru.”
Ihsan mendengarkan penjelasan beliau dengan seksama.
“Selain mengail, saya juga memasang jantang, Pak Guru. Kalau jantang itu hanya untuk menangkap ikan-ikan yang besar saja. Hampir sama seperti pancing tajur. Jika menangkap ikan dengan jala dan jaring itu juga dipilih-pilih hasil tangkapannya, Pak Guru. Biasanya kalau ikan-ikan kecil yang masih hidup sangkut di jala dan jaring langsung dilepas. Hanya ikan-ikan besar saja yang diambil. Menurut saya itu lebih baik daripada menangkap ikan dengan cara meracun dan menyetrum.”
“Ya, Pak. Saya dengar dari Pak Katik di sekolah bahwa pemerintah kabupaten sudah mengeluarkan peraturan yang melarang segala aktivitas penambangan batu-batu alam sungai, penambangan emas dan pasir dari sungai. Kata beliau juga ada larangan meracun dan menyetrum ikan. Pemerintah sedang menggesa pemberdayaan ekonomi kreatif untuk masyarakat berbasiskan potensi budaya, pariwisata, lingkungan, pertanian dan perikanan. Kalau tidak salah saya bakal ada pengembangan Wisata Tabek, Wisata Arung Jeram, peternakan dan budi daya ikan air tawar, berkebun. Dengan pemberdayaan itu diharapkan masyarakat tidak lagi dari menambang batu, pasir dan emas serta meracun dan menyetrum ikan di sungai-sungai sebagai mata pencaharian.”
“Pak Guru seperti penyuluh dari kabupaten saja.” Kata Pak Aman tersenyum.
“Saya sebenarnya juga sudah mendengar kabar itu, Pak Guru. Saya sangat setuju dengan pemberdayaan ekonomi kreatif dari pemerintah agar yang kreatif-kreatif merusak alam itu juga dapat mencari makan dan membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Tapi asal jangan kreatif nan koruptif pula, Pak Guru. Sudah banyak saya tonton di televisi kalau program-program pembangunan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang dikorupsi anggarannya. Mana pula bisa sejahtera rakyatnya kalau di pemerintahnya saja masih banyak oknum yang suka mencuri uang untuk pembangunan.”
Ihsan hanya tersenyum. Itu memang salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsanya.
“Kata penyuluh budi daya ikan dari kabupaten. Saya akan diberi bantuan bibit dan pakan ikan dua bulan lagi. Saya sudah siapkan tabek[6] untuk beternak ikan di belakang rumah, Pak Guru. Tabeknya tak besar, mungkin cukup untuk memelihara 1000 ekor ikan Lele atau ikan Nila. Saya yang penting itu masih bisa mengail saja, ya sudah bersyukur. Biarlah kelak anak-anak saya saja jadi penambang-penambang kekayaan alam berhasil yang selalu mencintai dan menjaga lingkungannya.” Sambung Pak Aman.
          “Kata Pak Katik akan ada program Tabek Wisata dari pemerintah yang dikelola oleh penduduk. Lima hektar tanah sudah disiapkan pemerintah kabupaten untuk tempat peternakan, pembibitan dan pemancingan ikan air tawar. Di sana juga akan disiapkan kios-kios untuk berjualan makanan, minuman dan hasil kerajinan tangan dari penduduk. Selain itu akan dibangun pula musala, pentas teater, galeri dan pondok internet.”
            “Mudah-mudahan segera direalisasikan pemerintah ya, Pak Guru.”
           Hari itu mereka berhasil membawa pulang tangkapan berupa beberapa ekor ikan Baung, ikan Benso, ikan Belida, ikan Garing dan ikan Barau.
Suatu hari pada malam minggu, Ihsan ikut bersama Pak Aman mengail malam di Batang Sekam. Sebuah sungai yang lebarnya sekitar 25 meter dan memiliki kedalaman hampir 3 meter pada lubuk-lubuknya. Kalau di bagian dangkalnya hanya sebetis orang dewasa dalam airnya. Batang Sekam memang tidak sedalam dan selebar Batang Hutan dan Batang Bapilin namun sungai itu juga menjadi tempat kegemaran para pengail di Jorong Jauh dan sekitarnya.
          Malam itu bulan mati. Dekat lokasi mengail ada banyak buluh nan rimbun. Arus Batang Sekam malam itu lumayan deras. Mungkin kemarin sore hujan turun di hulu.
Pak Aman sudah melemparkan kailnya. Beliau meletakkan jorannya pada sebuah kayu bercagak dua. Sebuah kerincing kecil dipasang pada ujung joran. Kalau ada ikan memakan umpan dan menyentak kail maka kerincing itu akan berbunyi. Ihsan baru saja memasang umpan kapas. Umpan kapas adalah umpan yang terbuat dari udang yang dilumat-lumat dan dicampurkan dengan kapas lalu disimpan selama seminggu. Umpan kapas biasanya dijual seharga delapan ribu rupiah untuk satu bungkus platik kecil. Umpan itu dikatakan umpan spesial. Spesial karena jika mengail dengan umpan tersebut di sungai yang banyak ikan Baungnya mesti umpannya langsung disembar kalau di lokasi mengail ada populasi ikan Baung.
Ihsan sudah pernah membuktikannya sendiri ketika mengail di Batang Bapilin. Ketika itu belum sampai tiga menit saja kail dengan umpan kapas dilemparkan Ihsan, jorannya sudah disentak ikan. Hasilnya malam itu Ihsan menaikkan seekor ikan Baung sebesar paha orang dewasa.
Ihsan bersemangat melemparkan kailnya hampir ke dekat seberang Batang Sekam. Ada ada yang aneh. Tiada terdengar kecipak air di seberang saat pemberat timah jatuh ke dalam sungai. Perlahan-lahan Ihsan memutar katrolnya. Lalu benang pancing sudah terasa agak tegang. Dia letakkan jorannya pada kayu bercagak.
Tak sampai lima menit. Tiba-tiba terdengar bunyi.
“Kriiing…kriing..kriing.”
Ihsan tersentak. Detak jantungnya semakin cepat.
“Makan itu, Pak Guru!” seru Pak Aman.
Tak lengah lagi Ihsan menyentak jorannya. Terasa sangat berat. Jorannya melengkung ke arah kiri. Ada perlawanan. Jorannya ditarik ke arah kanan. Ihsan mengulur sedikit benang pancingnya lalu menggulungnya kembali.
“Melawan tampaknya, Pak Guru?”
“Iya Pak.” Jawab Ihsan
Pak Aman menghidupkan senter dan menyorotkannya ke seberang. Pecahlah tawa Pak Aman.
“Ha..ha..ha..Itu tersangkut di sampan, Pak Guru.”
“Ah, meleset lemparnya tadi.”
Ihsan terkecoh. Kailnya tersangkut pada sebuah sampan yang tertambat di seberang. Sampan itu bergerak-gerak maju mundur akibat arus sungai. Itulah rupanya yang menyentak joran Ihsan. Dia lupa menyenter sebelum melempar kailnya. Kalau tadi ada orang di dalam sampan mungkin bisa bengkak kepalanya terkena pemberat timah joran Ihsan. Setelah berupaya melambung-lambungkan pemberat timah, akhirnya kail Ihsan terlepas dari sampan yang tertambat.
“Ke kanan saja lemparnya, Pak Guru. Jangan melawan arus dari hulu. Kalau memang melawan arus biarkan saja hanyut ke hilir. Biar tidak tersangkut. Kalau tidak bisa lepas nanti terpaksa diputus saja benang pancingnya.”
“Ya, Pak. Saya lempar ke tengah saja.”
“Kalau rezeki tidak akan kemana, Pak Guru. Yakinlah Pak Guru, akan ada ikan besar yang akan terkail oleh Pak Guru.”
“Amin.”
Setelah mengail hampir empat jam, mereka akhirnya berhasil mendapat sembilan  ekor ikan Baung sebesar betis orang dewasa. Pak Aman dapat enam ekor ikan dan Ihsan dapat tiga ekor ikan. Gembira sekali Ihsan dapat menghabiskan malam minggunya dengan mengail. Sekitar pukul 23.33 WIB, mereka pun pulang ke rumah masing-masing.
Tak terasa sudah dua tahun Ihsan mengabdi dan menikmati hidup di Jorong Jauh. Kegemarannya mengail pada hari-hari libur sekolah, hari Minggu dan malam minggu sudah membawanya ke berbagai lokasi pemancingan seperti di Rawa Hutan Takapuang, Tabek Pacu, Tabek Ikan Pita, Lubuk Larangan Tapian Daro, Lubuk Nila Subarang Batang Sekam, Batang Bapilin dan tentu saja Batang Hutan nan eksotis. Hobi memancing itu pula nan membuat Ihsan berkenalan dengan para pemancing di Jorong Jauh seperti Pak Us, Pak Buyung, Pak San dan Pak Edi. Mereka adalah penggemar berat memancing ikan nan rela mengambil jatah cuti kerja hanya untuk memancing. Menurut mereka selain sebagai aktivitas olah raga menyehatkan tubuh, kegemaran memancing juga untuk menyegarkan pikiran dan perasaan serta melatih kesabaran.
            Selama ikut mengail bersama-sama Pak Aman, Ihsan mendapatkan pembelajaran yang bermanfaat bahwa sebenarnya alam di sekitar manusia adalah tempat untuk mencari rezeki bagi manusia yang perlu dijaga dan tidak boleh dirusak. Di alam juga kaya akan bahan obat-obatan bermanfaat untuk menyembuhkan penyakit manusia.
Jauh di lubuk hati nan terdalam seorang pengail ikan seperti Pak Aman ternyata tersimpan kearifan bahwa mencari rezeki dari alam tidak mesti dengan merusak alam. Mengail juga salah satu bentuk kecintaan untuk melindungi kelestarian alam khususnya spesies ikan air tawar yang ada di sungai-sungai. Jika alam dirusak akan semakin banyak bencana alam terjadi padahal begitu banyak yang dapat manusia pelajari dan peroleh dari alam baik untuk kepentingan ekonomi dan ilmu pengetahuan manusia. Jadi seperti pepatah Nusantara nan berbunyi “Alam Terkembang Jadi Guru”, maka alam adalah mahaguru yang wajib dihormati. Salah satu cara menghormati alam adalah dengan menjaga kelestariannya.
*****
Dumai, 2014

[1] Pemancing ikan.
[2] Memancing ikan.
[3] Pasar Kamis.
[4] Alat menangkap ikan seperti rawai.
[5] Pasir.
[6] Kolam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar