Tersebutlah pada sebuah
Negeri Kaya Kedip di Negara Kaya Batu sedang hangat dengan perbincangan tentang
ASKDIMEGA (apa,
siapa,
kapan, di
mana, mengapa,
dan bagaimana)
dalam memilih calon pemimpin Negeri yang baru. Si Pandir dan Si Cerdik, begitu
nama keduanya, tengah asyik berdiskusi tentang hal itu. Sementara si Telinga
Lancip mendengar, dan si Mata Tajam melihatnya. Begini kira-kira percakapan
antara si Pandir dan si Cerdik...
Si Cerdik: Mengapa mesti memilih kandidat A untuk menjadi pemimpin di kota kita? Dia saja tidak pernah diunggulkan oleh tetangga-tetangganya. Tidak mau mengenal dan dikenal. Sombong. Tidak murah senyum. Meski dia dapat dikatakan sebagai kerabat, entah dekat entah jauh, entah dikerabat-kerabatkan, belum tentu dia akan mau membantu orang-orang yang sedang susah. Keluarganya sedang kesusahan saja tidak dibantunya.
Si Pandir: Kamu mau
kampanye ya?
Si Cerdik: Bukan. Aku
hanya bertanya?
Si Pandir: Pertanyaanmu
sudah menggiring opini dan dapat diduga sebagai kampanye dari mulut ke
mulut..Tujuannya ada dua. Mengetahui pendapat masyarakat tentang kandidat A,
atau memang untuk membunuh karakter kandidat A.
Si Cerdik: Bukan. Ini
bukan kampanye. Bukan juga Black Campaign.
Si Pandir: Kampanye
Hitam? Tidak cocok disebut sebagai Kampanye Hitam. Warna hitam adalah simbol
kebebasan, bukan simbol kebusukan. Kentut tidak berwarna, namun banyak yang
busuk.
Si Cerdik: Bagaimana
menurutmu tentang kandidat A?
Lantas disebut sebagai apa? Kampanye kentut…kampanye jahat…
Si Pandir: Semua
kandidat punya visi dan misi yang baik dan bermanfaat untuk rakyat. Kalau
dicari-cari kesalahannya...Seperti kata seorang Jenderal...Jika dicari-cari, semua
orang punya kesalahan. Lebih baik kamu menyampaikan tentang kelebihan kandidat
yang kamu dukung, dan bukannya menjelek-jelekkan kandidat-kandidat lain. Itu kampanye busuk.
Si Cerdik: Kampanye
dalam ranah politik sah-sah saja.
Si Pandir: Sah atau
tidaknya mesti sesuai dengan aturan kampanye. Mestinya setiap juru kampanye
dalam pemilihan dibekali surat izin resmi untuk kampanye politik. Hal ini untuk
menghindari adanya provokator-provokator yang ingin merusak persatuan dan
kesatuan.
Si Cerdik: Penggiringan
opini dari mulut ke mulut lebih efektif.
Si Pandir: Kalau
tentang citraan-citraan yang positif, tidak apa-apa. Jika dari mulut ke mulut
itu adalah kampanye busuk, itu akan membunuh karakter seseorang dan mengubah
citraan dalam pikiran rakyat sehingga seseorang yang pada mulanya baik menjadi
tidak baik.
Si Cerdik: Biasalah...Politik
kekuasaan...Dalam sejarah manusia di muka bumi ini, jangankan sebatas kampanye
busuk...Untuk merebut kekuasaan...Manusia-manusia mau saling berbunuhan...
Si Pandir: Itu betul. B-e-t-u-l jika diacak dan disusun lagi menjadi
b-e-l-u-t…
Si Cerdik: Mana yang
lebih berbahaya kampanye busuk dari mulut ke mulut atau di internet?
Si Pandir: Keduanya
sama-sama berbahaya karena dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.
Biasanya semua catatan
di internet itu ada yang menyimpan arsipnya.
Si Cerdik: Kalau bangsa
ini sudah memang tidak mau bersatu? Lihatlah...Sudah banyak yang terkotak-kotak
dalam ideologi, kepentingan, dan kelompok? Siapa “pemecah belah abadi” yang sesungguhnya?
Si Pandir: Itu sudah
ada yang mengurusnya. Kalau rakyat ingin berpolitik untuk mendapatkan
kekuasaan, pilihlah partai politik yang sesuai menurut selera masing-masing.
Jika tidak berselera dengan yang ada...Buatlah partai politik baru...Partai
politik yang memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya kepentingan
partai politik, kelompok, golongan, dan pribadinya.
Si Cerdik: Yang tulus?
Si Pandir: Mana yang
tulus dalam politik kekuasaan. Tulus, fulus, dan mulus bedanya hanya satu
aksara saja.
Si Cerdik: Nanti siapa
yang akan kamu pilih? Kamu golput saja?
Si Pandir: Siapa ya?
Golput? Lebih baik memilih. Kalau tidak memilih...Siapa yang bisa menjamin
surat-surat suara yang kosong tidak disalahgunakan?
Si Cerdik: Ada
pengawasnya...
Si Pandir: Apa yang
diawasinya? Mengawasi duit? Orang pandir, orang gila, dan orang senewen pun
merah jambu matanya kalau masalah duit...
Si Cerdik:
Ha..ha..ha...Memang kalau membicarakan tentang politik kekuasaan, tidak ada
habis-habisnya, dan mesti cerdik.
Si Pandir: Itulah
cerdiknya penjajah. Ketika mereka mengetahui rakyat di Negara Kaya Batu telah
bersatu dan berani melawan penjajah, mereka ajarkan rakyat tentang ideologi,
dan cara membentuk partai-partai politik agar bertengkar dan berebut kekuasaan
sesamanya...Lupa siapa penjajah nan sesungguhnya.
Si Cerdik: Siapa yang
mesti dipilih?
Si Pandir: Aku hanya
memilih yang shidiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
Si Cerdik: Siapa yang
dapat membuktikan keempat karakter tersebut ada pada setiap kandidat?
Si Pandir: Hanya Allah.
Seseorang bisa saja bersandiwara menjadi orang paling jujur, dipercayai, mampu
menyampaikan, dan cerdas...
Si Cerdik: Jadi hanya
tuhan saja yang paling mengetahui tentang hal itu?
Si Pandir: Hanya Allah nan Maha Mengetahui.
Si Cerdik: Mengapa pula memilih kandidat A? Masih ada
kandidat B, kandidat C, kandidat D, dan kandidat-kandidat lainnya. Mengapalah
aku bertanya kepada kamu nan pandir ini…
Si Pandir: Itulah
kepandiran sekaligus kecerdikanmu.
Si Cerdik:
Ha..ha..ha...
Si Telinga Lancip bergoyang-goyang
telinganya, dan Si Mata Tajam berkedip-kedip matanya.
Demikianlah percakapan
antara Si Pandir dan Si Cerdik.
Negeri
Kaya Kedip, Negara Kaya Batu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar