"Hampir 70 persen hasil karya puisi, tulisan opini yang lahir di Dumai
terkesan selalu mengawali sikap kemarahan, kemuakan dan ketidaksesuaian
atas kebijakankah itu, pemerintahkah itu dan lain sebagainya."
Menurut saya begitulah jika puisi-puisi dibaca sekilas saja tanpa
ditelaah, dimaknai dan dinikmati. Tidak benar apabila dinyatakan 70%
hasil karya puisi yang lahir di Dumai seperti yang dinyatakan Agoes S.
Alam. Apakah memang sudah semua puisi yang lahir di Dumai dibaca dan
ditelaah hingga muncul angka 70 % itu?
Kita mesti waspada bahwa sekarang banyak Serigala berbulu puisi.
Maksudnya? Nah, itu bermakna ada nan berseragam puisi untuk meraih dan
mewujudkan tujuan kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok dan
golongannya. Serigala berbulu puisi tampil seolah-olah sangat peduli
dengan puisi namun itu hanya semata-mata untuk menerkam
mangsa-mangsanya.
Tidak benar 70 %
yang dinyatakan oleh Agoes S. Alam itu. Padahal sajak-sajak dalam Kumpulan
Sajak et la het karya beliau saja
masih ada hal-hal nan indah dan tidak dimulai dengan kemarahan, kemuakan dan
ketidak sesuaian terhadap kebijakan maupun pemerintah seperti yang dimaksud
oleh beliau sendiri dalam tulisannya. Saya memahami tujuan utama tulisan Tak Berhenti Sampai Satu tersebut adalah
untuk mengungkapkan sebuah harapan agar semakin tumbuh dan berkembangnya
ruang-ruang untuk pengembangan kesenian di Dumai.
Mengapa saya
katakan tidak benar? Sebab di Dumai juga masih banyak syair, pantun, bidal dan
mantra nan kaya akan kearifan lokal. Contohnya seperti Syair Dumai karya M. Syarief, pantun-pantun dalam prosesi adat
istiadat meminang, hantaran belanja, pernikahan, prosesi tepung tawar dan
kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya karya pemantun-pemantun di Dumai. Sedangkan
contoh bidal dan mantra di Dumai sedang saya kumpulkan dulu. Maklumlah tulisan
ini dibuat spontan saja setelah membaca tulisan Agoes S. Alam.
Tentu saja
tidaklah dapat saya kemukakan lebih lengkap tentang kearifan lokal dalam puisi
berjenis syair, pantun, bidal dan mantra yang ada di Dumai dalam tulisan sebab
saat ini saya sedang fokus menelaah beberapa puisi dalam Kumpulan Sajak Pilihan
Dewan Kesenian Dumai dalam buku Bulan-Bulan Kopak. Lagipula butuh waktu dan
kelengkapan lainnya untuk menelaah karya-karya sastra di Dumai nan kaya akan
kearifan lokal. Namun lain halnya jika tuan Agoes S. Alam tertarik untuk mensponsorinya
atau membantu untuk mencarikan sponsornya. Saya sudah tak hendak meragau-ragau
(meminjam ungkapan tuan Agoes S. Alam) lagi dalam hal ihwal sponsorship. Paling
hanya butuh sekitar 100 juta rupiah untuk penelitian keragaman karya sastra di
Dumai (dengan anggaran sebesar itu dah dapat untuk semenisasi gang atau
membantu 10 sanggar seni…ha..ha..ha…). Biarlah saya meragau-ragau saja dalam
perihal belajar menelaah, memaknai dan menikmati karya-karya sastra.
Ungkapan “meragau-ragau” itu tentu kata dasarnya ragau namun apa maknanya? Apakah berasal
dari kata igau? Dalam Kamus Bahasa
Indonesia (Pusat Bahasa, 2008, halaman 539) kata igau, mengigau adalah kata kerja yang bermakna berkata-kata tanpa disadari pada waktu tidur; meracau. Sedangkan kata
mengigaukan bermakna mengatakan sesuatu; mengimpikan
sesuatu; mengigau. Lalu terigau-igau
bermakna terimpi-impi dan kata igauan
bermakna 1 perkataan yg keluar sewaktu tidur; 2 perkataan yg bukan-bukan; omong
kosong. Agaknya saya perlu berdiskusi lebih lanjut lagi dengan Agoes S.
Alam tentang makna meragau-ragau yang
diungkapkannya.
Jika meragau-ragau itu sinonim dengan meracau-racau maka biarkan saja
racauan-racauan itu jadi karya daripada membuat kekacauan, korupsi uang negara
dan terlibat penyakit masyarakat lainnya lebih baik menulis dan terus belajar,
belajar dan belajar mengubah racauan-racauan jadi indah. Meracau-racau bukanlah
kacau. Kalau dikacau-kacau, dikacau, dikacau lama-lama jadi bedelau juga
agaknya racauan-racauan itu. Dibancuhlah ragau-ragau itu agar semakin
bermunculan ragi-ragi nan indah dalam keragaman atau biarkan warna-warni
pelangi dengan keindahannya. Apakah pelangi itu hendak dipaksakan berubah jadi
satu warna? Itu artinya sudah melawan kodrat alam.
Perihal
meminimalisir sisi yang menyakitkan dalam penciptaan karya khususnya puisi,
tidaklah dapat diseragamkan bahkan dipaksakan agar puisi-puisi yang lahir mesti
selalu tentang keindahan baik dari aspek estetik dan tematik maupun fisik dan
batinnya. Memang dalam situasi dan kondisi tertentu seperti ketika seorang
penyair hendak mengikuti sebuah sayembara menulis puisi yang temanya sudah
ditetapkan oleh panitia maka tentu saja penyair bersangkutan mestilah mengarang
puisi sesuai dengan tema tersebut. Lain halnya ketika hendak mengarang puisi bebas
untuk mengungkapkan rasa dan apapun juga yang hendak disampaikannya melalui
puisi maka sudah hakikatnya puisi-puisi dilahirkan sesuai dengan nuraninya.
Sebuah puisi nan
lahir dalam keadaan kenyang dan tawa tentu berbeda dengan puisi nan lahir dalam
keadaan lapar dan duka. Puisi nan tercipta dari kesunyian juga berbeda dengan
puisi nan lahir dari keramaian. Begitu pula halnya dengan puisi-puisi pesanan
sponsor akan berbeda pula dengan puisi-puisi nan tercipta dengan sendirinya.
Apalagi jika puisi-puisi lahir dari Serigala berbulu puisi tentulah sangat
berbeda dengan puisi-puisi nan sesuai dengan selera tuan-tuan besar. Tuan nan
paling besar di negara ini saja juga pernah melahirkan puisi dan sudah pasti
puisi-puisinya berbeda dengan puisi-puisi yang lahir dari kalangan buruh.
Dalam dunia
perpuisian juga dikenal adanya mazhab dan genre
yang masing-masingnya punya aturan dan konvensi tersendiri. Oleh karenanya jika
ditemukan ada puisi-puisi di Dumai yang lebih bermain dalam kekayaan majas
maupun kata-kata nan miskin majas maka tak usah gundah sebab dalam dunia
perpuisian memang ada yang seperti itu.
Jika tertarik
hendak mempelajari tentang hal ihwal puisi maka tak ada ruginya berkunjung dan
membaca sekitar 66 esai sastra di situs web Bengkel
Puisi, Jurnal boemipoetra, kolom Marhalim Zaini di Riaupos.co, Majalah Sagang, Blog klipping Cabik
Lunik, Jendela Sastra, Media Sastra, Kompasiana, Forum Lingkar
Pena dan masih banyak sumber-sumber belajar lainnya termasuk buku-buku yang
berisikan tentang kritik sastra khususnya puisi.
Kata
syabas itu sebenarnya lebih patut
ditujukan kepada beliau yang sudah berkali-kali memberikan motivasi dengan
pelbagai metode dan jalan kepada pelaku dan penikmat seni di Dumai. Salah satu
contoh motivasinya adalah dengan menulis Tak
Berhenti Sampai Satu sehingga saya dapat pula menanggapinya dengan tulisan
pula. Jika tulisan ditanggapi dengan lemparan batu maka termasuklah saya ke
dalam golongan orang-orang nan teraniaya dan menganiaya orang lain.
Menurut
saya meragau-ragau yang diungkapkan oleh Agoes S. Alam tersebut ada nan
sebenar-benar meragau dan ada pula sebenar-benar mengigau. Semoga Agoes S. Alam
selalu sehat walafiat hingga dapat menulis dan menulis agar saya dapat pula
memaknainya. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar