16/06/16

Sekadar Berkisah


       Aku membaca sebuah tulisan dari seorang sastrawan yang telah banyak menuliskan novel. Tulisannya berkisah ihwal pengalamannya dalam dunia literasi. Dia berkacamata dan gemar mengenakan topi. Orangnya tegap dan gagah. Dia juga sering berbagi kisah dan ilmu melalui bengkel-bengkel sastra. Kisahnya itu, meski hanya sekelumit, namun inspiratif. Oleh karena itu, aku pun jadi ingin berkisah ihwal pengalamanku hingga aku gemar menulis.
      Pada tahun 1998, kakak-kakak kelas di sekolah menengah atas tempat aku belajar, sedang menyelenggarakan Lomba Menulis Surat untuk Ibu sempena Hari Ibu. Aku pun tertarik ingin menuliskan suratku. Pada saat itu ada kegemaran pelajar-pelajar SMA menulis di lembaran-lembaran permintaan (request) lagu-lagu di pelbagai radio.
      Aku menulis surat untuk Emak yang didalamnya ada puisi. Biasanya pelajar-pelajar yang masuk siang, juga mesti hadir Upacara Pengibaran Bendera tiap hari Senin pagi. Entah mengapa, ketika itu, aku tidak hadir. Siangnya aku diberi hadiah sepasang pena oleh teman sekelasku yang dititipkan oleh kakak-kakak kelasku. Temanku itu bilang kalau tulisanku dipilih sebagai pemenang pertama. Surat dan puisinya pun dibacakan ketika pengumuman pemenang setelah selesai Upacara Pengibaran Bendera. 

      Tujuh tahun sebelumnya, aku pernah diberi hadiah berupa tabungan sebesar Rp 15.000 oleh Pengurus Taman Pendidikan Al Quran karena aku membacakan puisi pada kegiatan Pendidikan Subuh.
       Dua tahun setelah mendapat sepasang pena, aku mengirimkan beberapa judul puisi ke Surat Kabar Kampus tempat aku kuliah. Aku pun diberi honor sebesar Rp 7.500. Uang itu kugunakan untuk traktir teman-teman makan nasi sup cendawan di dekat gedung paska-sarjana.
      Dua tahun sesudahnya, aku mulai sibuk bekerja sebagai tenaga lepas penerjemah. Alhamdulillah, honor dari penerjemahan dalam sebulan yang kuterima jumlahnya empat kali lipat dari uang semester.
      Satu semester menjelang semester kedelapan, aku pun mulai mengundurkan diri dari keluyuran, hiruk pikuk, nongkrong, dan hura-hura. Aku mulai rajin ke perpustakaan fakultas dan universitas. Aku menemukan ada banyak buku sastra asing yang sangat antik di lantai empat perpustakaan universitasku. Hanya sayangnya, aku sedang fokus belajar menulis tugas akhir agar bisa lulus kuliah.
     Setelah sempat mengikuti aksi unjuk rasa mahasiswa dan dosen-dosen karena adanya perseteruan antara Rektor terpilih dan Pembantu Rektor yang dipilih, aku pun diwisuda. Aku sangat ingat ketika adik-adik kelas satu fakultasku menghantam dan menabrak kaca depan gedung rektorat dengan kepala tangan dan kepalanya.
     “Kalau sampai pukul 12.00 siang, Rektor tidak muncul dan mendengarkan aspirasi kami. Kami akan….”
    “Prrraaakk…Brraakk…”.
    Hancurlah kaca depan rektorat dihantam dengan kepala. Ternyata kepala-kepala teman-teman seangkatanku dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia itu memang keras seperti batu. Kaca pecah, dan kepalanya pun berdarah.
   Aparat pun sibuk menelusuri dan menangkap mahasiswa-mahasiswa yang dianggap sebagai aktor intelektual, koordinator aksi, dan pelaksana aksi. Beberapa orang ditangkap karena merusak properti.
      Beberapa temanku dan aku sendiri hampir saja masuk dalam lingkaran pelaksana aksi, mujurlah seorang temanku dari Fakultas Teknik memberi kode. Kode itu pun membuat kami menahan diri. Lagi pula demontrasi itu hanya masalah internal rektorat yang sengaja melibatkan mahasiswa-mahasiswi dan dosen-dosen agar pembagian kursi di rektorat proporsional.
      Mahasiswa-mahasiswa dibenturkan dengan mahasiswa-mahasiswa karena kepentingan politik kekuasaan di rektorat. Ada pula mahasiswa-mahasiwa pro Rektor yang membawa senjata tajam bagaikan centeng. Akan tetapi, energi massa tidak dapat dibendung dan dihentikan meski dengan senjata tajam, peluru, kawat berduri, semburan air, dan tank-tank. Energi massa hanya bisa diredakan dengan menyalurkan energinya sesuai jalannya masing-masing. Itu baru pada kalangan mahasiswa. Entahlah kalau pada kalangan politik kekuasaan. Mungkin lebih runyam lagi eskalasi aksinya.
Mungkin pada setiap aksi-aksi unjuk rasa, demontrasi, dan mogok-mogok massal itu terdiri dari 18 elemen. Elemen-elemen tersebut adalah Inisiator (Pencetus), Konseptor (Perumus), Penulis (Penyusun) Skenario, Penilai Skenario, Penyunting Skenario, Pengarah, Perekrut Pemeran, Pemeran Utama, Pemeran Pembantu, Pemeran Figuran, Penghubung (Kurir), Penyokong Dana (Sponsor), Divisi Logistik, Divisi Transportasi, Divisi Desas-Desus & Penggerak, Divisi Barikade & Pengamanan, Divisi Psikis, dan Martir.
      Biasanya setelah aksi-aksi berhasil menggulingkan kekuasaan yang akan direbut, setiap elemen, kecuali martir, akan mendapat posisi masing-masing dalam menikmati kekuasaan. Martir hanya dikenang sebagai korban, kalau mujur dianggap sebagai pahlawan.
     Bagaimana cara mencegah hal itu tidak terjadi? Apa setiap oposisi diajak koalisi dan diberi kursi-kursi kekuasaan akan dapat mencegah terjadinya hal tersebut. Seumpamanya hal tersebut adalah takdir dalam perjalanan sejarah bangsa nan penuh rajah-rajah perebutan kekuasaan. Siapa pun tak akan bisa mencegah takdir.
     Hal tersebut dapat diminimalisir, dan dicegah dengan jalan mengarahkan, memfasilitasi, dan mendorong kedelapanbelas elemen agar berperan aktif dalam roda-roda kehidupan sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing.
     Kerap kali hal tersebut terjadi di suatu negara bukan dipicu oleh warga negaranya sendiri, tetapi dicetuskan oleh kalangan yang tidak mendapat kursi, oleh penjajah dan koalisinya yang ingin menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia di negara itu.
     Seumpamanya hal tersebut diumpamakan pertempuran di papan catur, setiap warga negara dan elemen-elemen lainnya yang dilibatkan, terlibat, dan direkayasa seolah-olah terlibat adalah bidak-bidak yang digerakkan oleh pemain catur.
     Pada papan catur yang diisi oleh Raja, Benteng, Menteri/Gajah, Ratu/Perdana menteri, Kuda/Ksatria, dan Bidak-Bidak, semuanya diatur oleh pemain catur. Pergerakan di papan catur, baik menangkap musuh, mengambil posisi musuh, mengeluarkan musuh posisinya diatur oleh pemain catur. Akan tetapi, hanya bidak-bidak saja yang dapat menggantikan posisi setiap pemain yang ditangkap oleh musuh. Bidak-bidak bisa menjadi siapa saja.
     Dulu tidak hanya belajar menulis saja, aku juga sering diajak teman-teman bermain catur, domino, koa, biliar, remi, qiu qiu, igo, dan sepak bola.
     Setelah wisuda, aku pun masih mendapatkan pesanan-pesanan untuk menerjemahkan pelbagai teks. Delapan tahun kemudian, aku mulai belajar mengirimkan tulisan-tulisan ke surat kabar dan mengikuti lomba-lomba menulis.
     Alhamdulillah, perlahan honor dari menulis yang kuperoleh naik mulai dari lima ratus ribu, satu juta, dua juta, tiga juta, lima juta, hingga sepuluh juta.
     Aku juga sering ditanya orang tentang apa yang kudapat dari menulis? Aku mendapat tulisan. Begitu jawabku.
     Sekarang aku masih menulis. Moga-moga proses penerbitan buku cetak perdana yang berisikan puisi-puisiku lancar hingga aku pun kian semangat menulis.

15 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar