“Sebaiknya kesenangan orang Riau berpantun tidak dipandang salah
dan janganlah dinyatakan dengan nada pejoratif. Kalaulah orang-orang
di Riau ini sangat tidak menyukai pantun (maksudnya puisi) maka
jangan-jangan mereka akan terdiri dari para pengamuk yang amat
dahsyat.”
Seperti
mendapat infus sekantong darah segar untuk mengalir kembali dalam
pembuluh darah saya yang mungkin sel-sel darah merahnya terkadang
menjadi pekat dan membuat sel-sel darah putih menjadi bersembunyi
dibalik lemak-lemak yang menyumbatnya ketika saya mengetahui bahwa
sebuah monolog yang saya kirimkan telah dimuat dalam Majalah Sagang
(e-magazine) No.166 Juli 2012 tahun XIV yang dapat dibaca di
www.majalahsagang.com, sebuah majalah budaya yang dirintis
oleh Rida K Liamsi yang berada di Pekanbaru, Riau.
Saya
masih ingat hari itu pertengahan bulan Juli 2012 saat saya kirimkan
beberapa buah sajak, sebuah monolog dan esei Sajak et la het Agoes S.
Alam ke tiga majalah sastra dan tujuh media cetak terkemuka yang
berada di Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat dan Jakarta. Sebuah
keraguan tentang tidak dimuatnya sebuah tulisan dalam sebuah media
jika tidak sesuai dengan selera bos, selera pimpinan, selera redaksi,
selera pemilik modal, selera pemilik iklan maupun selera orang-orang
yang berkuasa berubah menjadi setengah sebab setengahnya lagi masih
dalam keraguan.
Beberapa
sajak pernah juga dikirimkan ke Panitia Tarung Penyair Panggung 2011,
Komunitas Sastra Indonesia yang akan menyelenggarakan Kongres Sastra
Indonesia ke-II tahun 2012, Panitia Pertemuan Penyair Nusantara -VI
(PPN) di Jambi dan kepada Panitia Laman Sastra Dewan Kesenian Riau
tahun 2008. Saya waham saja mungkin sajak-sajak saya tidak
termasuk ketagori sajak atau bisa jadi bukan puisi dan masih punya
kelemahan-kelemahan dalam proses kreatifnya. Ya, ya, saya bukan
sastrawan hanya punya gelar dua huruf S di belakang nama. Dua S dari
Jurusan yang dulu pernah diperdebatkan keberadaannya oleh kami yang
baru masuk kawah candradimuka penggodokan ilmiah ketika Ketua Prodi
mengajak kami berdiskusi untuk apa kalian masuk Jurusan ini? Kalian
mau jadi apa setelah lulus? Kami balik bertanya untuk apa Jurusan ini
dibuka? Dasar kepala-kepala plontos paska ospek dan krida yang gemar
balik bertanya jika mendapat pertanyaan dari seniooooor dan ketua.
Gelar
akademik tidak serta merta menandakan seseorang itu layak menjadi
seorang sastrawan. Saya hendak jadi sastrawan? Hah? Kenapa tidak?
Tiada yang melarang. Saya belajar menulis dulu dan masih banyak yang
perlu dijalani, dikecap, dibaca, ditelaah dan dilaser dengan laser
sastra yang saya kembangkan. Saya terniat untuk turut serta dalam
helat Anugrah Sagang atau mungkin Nobel Sastra yang hadiahnya empat
belas miliar? Hah? Kenapa tidak? Siapa yang melarang? Dualisme motif
ini sepertinya, mau menulis atau mau mendapat hadiah? Dua-duanya! Mesti ada motif sebab tiada motif tiada pula proses kreatifnya.
Ada-ada
saja kelakar saya ini baru sekali dimuat monolognya dalam Majalah
Sagang sudah hendak berangan-angan yang panjang. Monolog itu saya
tulis dengan berangan-angan. Angan-angan, khayal, mimpi, imajinasi
dan golumbung-golumbung yang saya tuliskan sebab saya sedang belajar
menulis.
Saya
tentu tidak perlu meragukan lagi kapasitas tujuh orang redaktur dan
segenap redaksi Majalah Sagang sebab mereka adalah orang-orang yang
tunak dalam dunia seni, sastra dan budaya. Saya waham dengan hal itu. Dalam kalimat pengantar
saya saat mengirimkan sajak, monolog dan esei, saya menyatakan
harapan semoga sajak-sajak saya dapat diapreasiasi oleh siapa saja
yang menyenangi sajak (termasuk pula monolog dan eseinya).
Salah
seorang adik saya berkata benarkah tulisan abang dimuat dalam Majalah
Sagang? Majalah Sagang hanya memuat tulisan-tulisah pilihan saja
katanya. Alhamdulillah, tulisan saya mendapat kesempatan untuk dimuat
dan diapresiasi oleh pembaca-pembaca Sagang di berbagai belahan dunia
sebab siapapun dapat mengakses dan membaca majalah Sagang versi
onlinenya selama ada internet dan perangkat untuk membuka majalah
digitalnya. Agaknya adik saya sering membaca Majalah Sagang pula.
Tiba-tiba terdetak jantung saya sebab Monolog Merah saya dimuat
dihalaman nomor 47, 48 dan 49. Saya dapatkan arti dalam semiotika
dengan penanda nomor-nomor itu.
Saya terlalu gemar membaca dan
terbuai dengan penanda dan petanda. Satu semester kepala saya dihajar
dan dihantam dengan palu-palu semiotika sampai-sampai Ibu dosen yang
telah berjasa mau transfer ilmunya mengusir saya secara halus pada
saat ujian berlangsung sebab saya acap kali tidak masuk kelas. Ibu
itu berkata “ Saya tidak akan memeriksa lembar jawaban peserta
ujian yang tidak masuk kelas lebih dari tiga kali.” Kontan saja
saya tersenyum dan menyimpan bolpoin dalam sebuah tas kecil berwarna
biru hadiah seorang abang yang gemar menulis puisi dan menapakkan
kaki di puncak-puncak gunung yang tinggi. “Saya
sudah siap ini Bu”, sambil meletakkan lembaran jawaban yang belum
terisi dan soalnya di meja beliau. Teman-teman yang enam jantan dan
tiga puluh tiga perempuan itu terperangah. “Wah mantap bana lu
sabanta se alah salasai’, pikir mereka. Padahal itu acah-acah
saya saja sebab biar tak tampak betul saya yang dimaksud beliau
sebagai peserta ujian yang tidak akan diperika lembaran jawabannya.
Si Ibu terlihat sinis dan tajam menatap saya yang segera keluar dari
ruangan. Saya mau cari semiotika di depan Taman Budaya dan mungkin di
taplau (tapi lauik) saja.
“Dikau
terbangkan risau malam pada siang-Nya…” sebaris larik sajak
menutup teroka minda saya agar tidak semakin jauh hanyut dalam
penanda dan petanda.
"Jangan
terlalu sering menyinggung ****** melalui puisi yang engkau terbitkan
secara online. Tidak baik", begitu nasehat seseorang yang tidak
perlu kusebutkan namanya. Aku tersenyum mendengarnya. Aku tak
bermaksud menyinggung ****** dengan puisi-puisiku. Aku minta maaf
jika ada ****** yang tersinggung dengan puisiku. Aku tidak menulis
puisi tidak untuk tujuan yang pragmatis sebab aku sekarang sedang
gemar belajar menulis puisi, cerita pendek, resensi, monolog, esei,
telaah sastra dengan pendekatan laser sastra yang saya coba
kembangkan.
Jika
ada isi puisiku yang menyinggung ******, segera sampaikan kepadaku
dengan kritik dan nasehat yang baik. Jangan datang kepadaku dengan
gagang dan pedang sebab aku tak punya gagang dan pedang, aku hanya
punya kata-kata dan bahasa sebagai bahan. Meskipun mungkin tak sampai
sepuluh hektar bahasa yang kumiliki seperti pada sebuah larik dalam
sajak Tyas AG dalam Bulan-Bulan (BBK) sebab aku sedang belajar menulis.
Sekitar
pertengahan tahun 2011 di Dumai setelah selesai diskusi dalam sebuah
kegiatan seni dimana saya mendapat kesempatan untuk membacakan sebuah
puisi, salah seorang tokoh yang masih muda dan aktif di berbagai
kegiatan sosial kemasyarakatan mengatakan kepada saya bahwa kalau
macam ini tema dan isi puisi yang dibacakan meskipun dikemas dalam
bungkusan seni ada kemungkinan yang membaca puisi dan yang
mengupayakan kegiatan berkesenian diberangus kebebasannya oleh
pihak-pihak yang tipis telinganya dengan tema dan isi puisinya dan
isi kegiatan berkeseniannya. Saya tersenyum dalam remang-remang
malam. Saya tidak terpikir menjadi orang yang pragmatis untuk
‘menunggangi’ sajak atau puisi yang saya tulis untuk
kepentingan-kepentingan pragmatis sebab saya menulis sajak dan puisi
sebagai salah satu ekspresi hasil kristalisasi imajinasi, mimpi,
pemikiran dan pengalaman yang saya rasakan. Biarkanlah saya atau anak
bangsa lainnya bebas ‘bersajak’ dan ‘berpuisi’ sebab jika
tidak jangan-jangan banyak yang berubah kegemarannya berekspresi
dengan bom dan peluru?
Sabarlah
tuan-tuan. Tidak perlu tipis telinga. Saya tidak akan dago-dagi sebab
saya orang yang koperatif juga. Masih banyak kerja tuan-tuan yang
perlu tuan-tuan selesaikan agar dapat pula rakyat tuan benar-benar
memberi ‘tabik’ yang tulus dan ikhlas kepada tuan-tuan.
Dari Dumai Cinta Damai
__________________________________________________________________________________
Eksplorasi Sastra Serantau Penyair Kota Dumai Sempena Ramadhan "MANDI PUISI" Menampi Malam Seribu Bulan, Di Tanah Seribu Masalah...1432 H ditaja oleh SANGGAR TEATER BENDERA bekerjasama dengan DEWAN KESENIAN DUMAI di Bandar Bakau.
Eksplorasi Sastra Serantau Penyair Kota Dumai Sempena Ramadhan "MANDI PUISI" Menampi Malam Seribu Bulan, Di Tanah Seribu Masalah...1432 H ditaja oleh SANGGAR TEATER BENDERA bekerjasama dengan DEWAN KESENIAN DUMAI di Bandar Bakau.
Pembacaan Puisi di Panggung Semah Seni Dewan Kesenian Dumai Dalam Rangka Hari Kebangkitan Nasional Bulan Mei 2011 (Foto karya Toy Jepreter)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar