08/08/12

Bukan Cerita Pendek


“Sebaiknya kesenangan orang Riau berpantun tidak dipandang salah dan janganlah dinyatakan dengan nada pejoratif. Kalaulah orang-orang di Riau ini sangat tidak menyukai pantun (maksudnya puisi) maka jangan-jangan mereka akan terdiri dari para pengamuk yang amat dahsyat.”
Seperti mendapat infus sekantong darah segar untuk mengalir kembali dalam pembuluh darah saya yang mungkin sel-sel darah merahnya terkadang menjadi pekat dan membuat sel-sel darah putih menjadi bersembunyi dibalik lemak-lemak yang menyumbatnya ketika saya mengetahui bahwa sebuah monolog yang saya kirimkan telah dimuat dalam Majalah Sagang (e-magazine) No.166 Juli 2012 tahun XIV yang dapat dibaca di www.majalahsagang.com, sebuah majalah budaya yang dirintis oleh Rida K Liamsi yang berada di Pekanbaru, Riau. 

Saya masih ingat hari itu pertengahan bulan Juli 2012 saat saya kirimkan beberapa buah sajak, sebuah monolog dan esei Sajak et la het Agoes S. Alam ke tiga majalah sastra dan tujuh media cetak terkemuka yang berada di Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat dan Jakarta. Sebuah keraguan tentang tidak dimuatnya sebuah tulisan dalam sebuah media jika tidak sesuai dengan selera bos, selera pimpinan, selera redaksi, selera pemilik modal, selera pemilik iklan maupun selera orang-orang yang berkuasa berubah menjadi setengah sebab setengahnya lagi masih dalam keraguan. 

Beberapa sajak pernah juga dikirimkan ke Panitia Tarung Penyair Panggung 2011, Komunitas Sastra Indonesia yang akan menyelenggarakan Kongres Sastra Indonesia ke-II tahun 2012, Panitia Pertemuan Penyair Nusantara -VI (PPN) di Jambi dan kepada Panitia Laman Sastra Dewan Kesenian Riau tahun 2008. Saya waham saja mungkin sajak-sajak saya tidak termasuk ketagori sajak atau bisa jadi bukan puisi dan masih punya kelemahan-kelemahan dalam proses kreatifnya. Ya, ya, saya bukan sastrawan hanya punya gelar dua huruf S di belakang nama. Dua S dari Jurusan yang dulu pernah diperdebatkan keberadaannya oleh kami yang baru masuk kawah candradimuka penggodokan ilmiah ketika Ketua Prodi mengajak kami berdiskusi untuk apa kalian masuk Jurusan ini? Kalian mau jadi apa setelah lulus? Kami balik bertanya untuk apa Jurusan ini dibuka? Dasar kepala-kepala plontos paska ospek dan krida yang gemar balik bertanya jika mendapat pertanyaan dari seniooooor dan ketua.

Gelar akademik tidak serta merta menandakan seseorang itu layak menjadi seorang sastrawan. Saya hendak jadi sastrawan? Hah? Kenapa tidak? Tiada yang melarang. Saya belajar menulis dulu dan masih banyak yang perlu dijalani, dikecap, dibaca, ditelaah dan dilaser dengan laser sastra yang saya kembangkan. Saya terniat untuk turut serta dalam helat Anugrah Sagang atau mungkin Nobel Sastra yang hadiahnya empat belas miliar? Hah? Kenapa tidak? Siapa yang melarang? Dualisme motif ini sepertinya, mau menulis atau mau mendapat hadiah? Dua-duanya! Mesti ada motif sebab tiada motif tiada pula proses kreatifnya.

Ada-ada saja kelakar saya ini baru sekali dimuat monolognya dalam Majalah Sagang sudah hendak berangan-angan yang panjang. Monolog itu saya tulis dengan berangan-angan. Angan-angan, khayal, mimpi, imajinasi dan golumbung-golumbung yang saya tuliskan sebab saya sedang belajar menulis.

Saya tentu tidak perlu meragukan lagi kapasitas tujuh orang redaktur dan segenap redaksi Majalah Sagang sebab mereka adalah orang-orang yang tunak dalam dunia seni, sastra dan budaya. Saya waham dengan hal itu. Dalam kalimat pengantar saya saat mengirimkan sajak, monolog dan esei, saya menyatakan harapan semoga sajak-sajak saya dapat diapreasiasi oleh siapa saja yang menyenangi sajak (termasuk pula monolog dan eseinya). 

Salah seorang adik saya berkata benarkah tulisan abang dimuat dalam Majalah Sagang? Majalah Sagang hanya memuat tulisan-tulisah pilihan saja katanya. Alhamdulillah, tulisan saya mendapat kesempatan untuk dimuat dan diapresiasi oleh pembaca-pembaca Sagang di berbagai belahan dunia sebab siapapun dapat mengakses dan membaca majalah Sagang versi onlinenya selama ada internet dan perangkat untuk membuka majalah digitalnya. Agaknya adik saya sering membaca Majalah Sagang pula. Tiba-tiba terdetak jantung saya sebab Monolog Merah saya dimuat dihalaman nomor 47, 48 dan 49. Saya dapatkan arti dalam semiotika dengan penanda nomor-nomor itu. 

Saya terlalu gemar membaca dan terbuai dengan penanda dan petanda. Satu semester kepala saya dihajar dan dihantam dengan palu-palu semiotika sampai-sampai Ibu dosen yang telah berjasa mau transfer ilmunya mengusir saya secara halus pada saat ujian berlangsung sebab saya acap kali tidak masuk kelas. Ibu itu berkata “ Saya tidak akan memeriksa lembar jawaban peserta ujian yang tidak masuk kelas lebih dari tiga kali.” Kontan saja saya tersenyum dan menyimpan bolpoin dalam sebuah tas kecil berwarna biru hadiah seorang abang yang gemar menulis puisi dan menapakkan kaki di puncak-puncak gunung yang tinggi.  “Saya sudah siap ini Bu”, sambil meletakkan lembaran jawaban yang belum terisi dan soalnya di meja beliau. Teman-teman yang enam jantan dan tiga puluh tiga perempuan itu terperangah. “Wah mantap bana lu sabanta se alah salasai’, pikir mereka. Padahal itu acah-acah saya saja sebab biar tak tampak betul saya yang dimaksud beliau sebagai peserta ujian yang tidak akan diperika lembaran jawabannya. Si Ibu terlihat sinis dan tajam menatap saya yang segera keluar dari ruangan. Saya mau cari semiotika di depan Taman Budaya dan mungkin di taplau (tapi lauik) saja. 

“Dikau terbangkan risau malam pada siang-Nya…” sebaris larik sajak menutup teroka minda saya agar tidak semakin jauh hanyut dalam penanda dan petanda.

"Jangan terlalu sering menyinggung ****** melalui puisi yang engkau terbitkan secara online. Tidak baik", begitu nasehat seseorang yang tidak perlu kusebutkan namanya. Aku tersenyum mendengarnya. Aku tak bermaksud menyinggung ****** dengan puisi-puisiku. Aku minta maaf jika ada ****** yang tersinggung dengan puisiku. Aku tidak menulis puisi tidak untuk tujuan yang pragmatis sebab aku sekarang sedang gemar belajar menulis puisi, cerita pendek, resensi, monolog, esei, telaah sastra dengan pendekatan laser sastra yang saya coba kembangkan.

Jika ada isi puisiku yang menyinggung ******, segera sampaikan kepadaku dengan kritik dan nasehat yang baik. Jangan datang kepadaku dengan gagang dan pedang sebab aku tak punya gagang dan pedang, aku hanya punya kata-kata dan bahasa sebagai bahan. Meskipun mungkin tak sampai sepuluh hektar bahasa yang kumiliki seperti pada sebuah larik dalam sajak Tyas AG dalam Bulan-Bulan (BBK) sebab aku sedang belajar menulis. 
Sekitar pertengahan tahun 2011 di Dumai setelah selesai diskusi dalam sebuah kegiatan seni dimana saya mendapat kesempatan untuk membacakan sebuah puisi, salah seorang tokoh yang masih muda dan aktif di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan mengatakan kepada saya bahwa kalau macam ini tema dan isi puisi yang dibacakan meskipun dikemas dalam bungkusan seni ada kemungkinan yang membaca puisi dan yang mengupayakan kegiatan berkesenian diberangus kebebasannya oleh pihak-pihak yang tipis telinganya dengan tema dan isi puisinya dan isi kegiatan berkeseniannya. Saya tersenyum dalam remang-remang malam. Saya tidak terpikir menjadi orang yang pragmatis untuk ‘menunggangi’ sajak atau puisi yang saya tulis untuk kepentingan-kepentingan pragmatis sebab saya menulis sajak dan puisi sebagai salah satu ekspresi hasil kristalisasi imajinasi, mimpi, pemikiran dan pengalaman yang saya rasakan. Biarkanlah saya atau anak bangsa lainnya bebas ‘bersajak’ dan ‘berpuisi’ sebab jika tidak jangan-jangan banyak yang berubah kegemarannya berekspresi dengan bom dan peluru? 
 
Sabarlah tuan-tuan. Tidak perlu tipis telinga. Saya tidak akan dago-dagi sebab saya orang yang koperatif juga. Masih banyak kerja tuan-tuan yang perlu tuan-tuan selesaikan agar dapat pula rakyat tuan benar-benar memberi ‘tabik’ yang tulus dan ikhlas kepada tuan-tuan. 

Dari Dumai Cinta Damai
__________________________________________________________________________________


Eksplorasi Sastra Serantau Penyair Kota Dumai Sempena Ramadhan "MANDI PUISI" Menampi Malam Seribu Bulan, Di Tanah Seribu Masalah...1432 H ditaja oleh SANGGAR TEATER BENDERA bekerjasama dengan DEWAN KESENIAN DUMAI di Bandar Bakau.
__________________________________________________________________________________



Pembacaan Puisi di Panggung Semah Seni Dewan Kesenian Dumai  Dalam Rangka Hari Kebangkitan Nasional Bulan Mei 2011 (Foto karya Toy Jepreter)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar