....Diantara bunyi, suara dan aksara....
Apa kabar Kawan?
Alhamdulillah kabar baik kawan.
Mana lanjutan cerita mengikuti
Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi?
Ini sedang ditulis kawan.
Masih disunting lagi sebab dalam 20 sehingga 25 halaman sebentuk
catatan reportase bebasnya mau dipublikasikan dalam blog ini agar
terasa estetika dan etikanya kawan.
Semoga bencana banjir
yang melanda wilayah Jambi dapat segera berakhir. Dalam musibah
selalu ada hikmahnya begitu kata orang-orang yang bijak.
Apa lagi yang dikau
buat kawan?
Aku sedang menulis dan
menyunting kumpulan puisi, kumpulan esai dan kumpulan cerita pendek.
Selain itu Aku sedang menyiapkan naskah drama, beberapa kritik puisi
dan esai sastra. Nak mulai perang sastra baru dengan @AngrySipelebegu
sebab kritiknya terhadap puisi esai tidak setajam dan sedalam
kritiknya untuk KUK/TUK. Ada apa?
Aku menata hati agar
benar-benar mencintai Indonesia Raya, tanah airku. Di sebuah stiker
kulihat ada tertera tulisan yang berbunyi “Indonesia Tanah Airku. Tanah
Kusewa, Airku beli”.
Masih mendingan ya masih
bisa menyewa tanah dan membeli air. Lalu yang tidak bisa menyewa tanah
dan membeli air? Entahlah…Entang pukang (versi Agoes S.Alam)
Ah, mau ikut lomba
lagi dikau ya?
Begitulah agaknya kawan.
Tak ada salahnya kalau belajar ekspos dengan menerapkan politik
sayembara sastra ().
Jadi buat bukunya
kawan?
Insyaallah jadi. Aku
sedang menyuntingnya.
Kalau ada penerbit
yang berminat dengan naskah-naskahmu bagaimana kawan?
Ha..ha...ha…Mantap juga
itu kawan. Sekarang sudah banyak pilihan dalam penerbitan buku baik
dengan menerbitkan sendiri atau bekerja sama dengan penerbit yang
menyediakan self-publishing. Pernah dulu nerbitkan tulisan
dalam bentuk fotokopian saja. Kalau sekarang lebih baik rasanya dalam
format digital saja.
Bagaimana pendapat
dikau seputar polemik Damar Juniarto dengan Andrea Hirata?
Tak kenal maka tak
sayang, tak sayang maka tak cinta. Aku berpendapat sebaiknya mereka
duduk bersama dan berdiskusi tentang banyak hal terutama sekali dalam
hal ihwal sama-sama bersinergi memajukan kesusastraan Indonesia.
Kalau mau diperuncing
retorika dan dinamika yang dibungkus dengan konflik kepentingan maka
semakin tidak elok rasanya. Aku jadi teringat tentang polemik
Lekra dengan Manikebu, Saut Situmorang (dengan boemipoetra) versus
Goenawan Mohammad (KUK/TUK), Homicide dengan Thufail Al Ghifari feat
The Muhahidin, FPI versus JIL (dalam konteks yang kompleks).
Itu ada Sayembara Esai
boemipoetra….Dikau tak ikut?
Sedang ditulis kawan.
Entah esai entah kritik entah entang pukang (entang pukang –
mengutip frasa dari Agoes S. Alam) yang jelas nanti dikirim ke
boemipoetranya sebab Aku “mempertanyakan” seberapa benar fakta
dan kebenaran bahwa Saut Situmorang bersama boemipoetranya bukan
milik antek imperialis. Agaknya perlu dibuktikan kebenaran semboyan
“Bukan Milik Antek Imperialis” dari boemipoetra.
Bagaimana kalau nanti
dikau kena “libas” sebab mengkritik mereka?
Kalau “melibas” dalam
bentuk tulisan ya tidak masalah. Jangan libas pakai yang lain sebab
dalam dunia kata-kata moh kita “libas melibas dan melibas-libas” dengan kata-kata
pula. Kalau tidak salah sekitar tanggal 28 Januari 2010 sudah pernah
kena libas sedikit oleh Saut Situmorang melalui komentarnya pada
salah satu jejaring sosial.
Esai Sastraku Sayang,
Sastraku Malang oleh Saut Situmorang mengingatkan Aku dengan puisi
yang berjudul Guruku Sayang, Guruku Malang. Agaknya dulu aku ada
membaca tulisan dengan yang memuat judul Sayang dan Malang itu lalu
membekas dalam memori sehingga indah pula rasanya diksi itu.
Lalu apa tanggapan
dikau atas libasannya?
Dibawa gembira saja sebab
kalau menerapkan pendekatan kritik sastra nan sarkastis maka mesti
kuat dalam melibas dengan kata-kata dan mesti siap kuat dan hebat
pula dilibas kembali dengan kata-kata. Saling bilas-membilaslah dalam
kata-kata. Tahun 2011 lalu pernah Aku asyik “berdebat” dengan
seorang kawan yang juga cerdas dalam hal “libas melibas” dalam
kata-kata dan retorika. Tukang pikir juga kawan itu sekalian tukang
kritik juga hanya bedanya kalau Saut Situmorang sudah dinyatakan
sebagai sastrawan Indonesia di situs web Taman Ismail Marzuki
sedangkan kawan itu masuk dalam direktori yang lain pula sesuai
dengan kompetensinya itupun kalau sudah ada surat resminya
masuk..ha..ha..ha…Lagi dimana kau Tukang Pikir? Tak usah apriori
kau denganku ya…
Apa lagi informasi
terbaru yang menarik?
Kalau kawan-kawan
tertarik kabarnya akan diselenggarakan lagi Sayembara Penulisan
Naskah Buku Pengayaan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan – Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, Lomba
dalam rangka Bulan Bahasa oleh Badan Bahasa, Lomba Menulis oleh
Ditjen EKMDI – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
Sayembara Menulis Kritik Puisi Komunitas Sastra Indonesia Award 2013,
Lomba Esei boemipoetra dan kalau mau mengetahui info lomba menulis
tahun 2013 ini silahkan cek di berbagai situs web, blog maupun media
sosial yang menyediakan info sastra terbaru.
Kalau tak tertarik dengan
aktivitas tersebut maka buatlah saja sendiri aktivitas-aktivitas
sastra yang menyenangkan hatimu dan kawan-kawan. Tak perlulah sampai
ngedumel-ngedumel pula sebab tak dapat bergabung atau diundang dengan
karpet merah untuk mengikuti “ruang-ruang budaya di media” maupun
“tersingkir dalam festival-festival satu warna”.***
Termarjinalkan atau
memarjinalkan diri pada akhirnya adalah pilihan. Sama halnya dengan
memilih untuk kuat dan hebat dalam kompromi atau oposisi. Begitu juga
dalam mewarnai diri dalam hitam, putih, merah, abu-abu, hijau atau
total sepenuhnya merah putih.
“Akulah londok dari
kumpulan chameleon yang teroganisir,” ujar salah seorang kawan
dalam sebuah diskusi. Kalau begitu maka mainkan gendang agitpropnya
kawan biar kulihat sampai dimana kesungguhan dan kebenaran akan
perjuanganmu melawan imperialis dalam kesusatraan Indonesia dan
sekalian dalam beragam sektor kehidupan!
Kalau ada kawan-kawan
mau mengirimkan buku-buku sastra yang gratis untuk dikau mau
dikirimkan kemana kawan?
Ha..ha..ha..
Kirimkan saja
informasinya ke kotak pesan surel hukmi99@gmail.com atau @hukmi99.
Terima kasih kalau ada yang mau mengirimkan buku-buku sastranya baik
yang gratis maupun untuk dikonsiyansikan (dititipkan untuk
didistribusikan untuk penikmat sastra seputaran
Dumai-Mandau-Bengkalis-Meranti).
Ada maunya dikau ini
kawan…Sekalian saja buka toko buku khusus sastra di Kota Dumai.
Mantap juga idenya kawan.
Nanti ya dicari dulu pemodalnya..ha..ha..ha. Ada tidak ya mau
konsiyansi, memodali dan non-franchise? Ha..ha..ha..Rakyat Indonesia
banyak yang tidak punya modal. Modalnya hanya melabu dan membengak
saja. Kalau melabu dan membengak dalam sastra maka maujudlah dia dalam
bentuk cerita pendek, cerbung, puisi, novel dan drama. Kalau melabu
dan membengak dalam kehidupan nyata? Tanggunglah dosanya sendiri ya.
Sudah mengantuk dikau
ya? Kalau begitu kita sambung lagi obrolannya di lain kesempatan.
Mengantuk sikitlah kawan.
Terima kasih ya atas obrolannya. Semoga sehat wal’afiat selalu.
Ingat sehat sebelum sakit katanya.
***Padahal sesungguhnya
personal-personal boemipoetra(lah) yang terkena ‘kekerasan
kebudayaan’, terlempar dari ruang-ruang budaya di media. Tersingkir
dari festival-festival satu warna. (Dalam reportase berjudul 5
Tahun boemipoetra, Pena Dilesatkan di
http://boemipoetra.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar