Dua orang manusia yang masih gagah sedang asyik
bercakap-cakap di sebuah ruang santai Rumah Penyembuhan Sakit Mental (RUHANTAL).
Manusia pertama memakai kacamata besar dan manusia kedua memegang sebuah buku
besar berwarna hitam. Mereka berdua dikenal oleh penghuni RUHANTAL sebagai
Orang Gila dan Orang Pesong. Sebelum mereka masuk RUHANTAL untuk dirawat, Orang
Gila dikenal sebagai Orang Paling Cerdik dan Orang Pesong dikenal sebagai Orang
Paling Licik. Entah apa sebabnya mereka jadi berganti nama dan masuk RUHANTAL.
Orang Pesong : Aku baru selesai menulis
dan menerbitkan sebuah buku.
Orang Gila : Wah, kamu hebat ya bisa menulis dan
menerbitkan buku. Apa judulnya?
Orang Pesong : Judulnya Labirin
Sastra. (Sambil memperlihatkan bagian depan bukunya.)
Orang Gila : Apa
isi bukumu?
Orang Pesong : Bukuku
berisikan tentang teori-teori sastra, hasil telaah, sejarah sastra, dan kritik sastra.
Orang Pesong : Teori-teori sastra dalam
bukumu itu murni dari pikiranmu?
Orang
Gila : Ya. Murni dari pikiranku. Adakalanya, aku tidak berpikir.
Orang Pesong : Wah,
wah, kamu memang hebat. Tidak berpikir, tetapi bisa membuat teori-teori sastra.
Orang
Gila : Bagaimana caranya kamu menghasilkan
teori-teorimu itu?
Orang Pesong : Biasanya aku membaca teori-teori sastra yang
sudah ada. Kemudian aku coba berpikir untuk membuat teori-teori baru.
Orang Gila : Apakah benar kamu membuat teori-teori
sastra baru? Jangan-jangan teori-teori sastra lama yang sudah ada, tetapi belum
pernah dibaca dan diajarkan oleh orang-orang di negaramu.
Orang Pesong : Ah, kamu ini. Negaraku juga negaramu. Mengapa
kamu menanyakan itu? Kamu memang gila
atau tidak?
Orang Gila : Entahlah. Entahlahku ini tidak seperti
lagu, puisi, atau ketidakpedulian. Orang-orang menganggap aku ini gila. Gila
yang sinonim dengan gendeng, sableng, edan, tenggen, miring, sinting, crazy, dan senget. (Sambil menaruh
telunjuk tangan kirinya di kening sendiri.) Aku hanya bertanya. Jangan marah.
Lebih indah ramah daripada marah.
Orang Pesong : Ya. Betul. Aku membuat teori-teori sastra
yang baru. Aku sudah membaca banyak buku tentang teori-teori sastra dari luar
negeri. Aku terjemahkan teori-teori tersebut. Lantas, aku buat kesimpulannya.
Orang Gila : Itu artinya kamu menerjemahkan
teori-teori sastra dari buku-buku berbahasa asing. Lalu kamu menyimpulkan.
Menyimpulkan atau meringkas?
Orang
Pesong : Apakah kamu sudah pernah membaca
teori-teori sastra dalam bukuku?
Orang
Gila : Aku sudah baca. Aku
meminjamnya dari perpustakaan.
Orang Pesong : Nanti aku beri kamu bukunya.
Orang Gila : Wah, terima kasih. Aku mau jujur saja
ya. Jujur itu akrab dengan mujur. Jujur bukan fujur atau pujur. Bukumu itu
hanya berisikan parafrase, nukilan, ikhtisar, terjemahan, dan kesimpulanmu dari
teori-teori sastra yang kamu baca dari buku-buku berbahasa asing. Aku tidak
membaca ada teori sastramu dalam bukumu itu.
Orang Pesong : Ada. Ada. Ada teori sastraku dalam buku ini.
Orang
Gila : Apa teori sastramu itu?
Orang Pesong : Teoriku adalah menulis dan membaca karya sastra mesti sesuai
aturan.
Orang Gila : Itu bukan teorimu. Itu sudah ada sejak ribuan
tahun yang lalu. Itu adalah kesepakatan. Itu adalah konvensi. Konvensi (sambil mengaitkan
kedua telunjukknya)...bukan konveksi (menggerakkan telapak tangan kanannya ke
atas.)
Orang Pesong : Ah...Kamu seperti ahli tentang teori sastra saja.
Orang Gila : Aku bukan ahli. Aku masih belajar
tentang silsilah kata...Apa boleh aku gunakan istilah genesis kata? (keningnya
berkedut dan kelopak matanya berkedip-kedip)...Sastra adalah politik bahasa dan
politik bahasa.
Orang Pesong : Apa argumentasimu?
Orang Gila : Ketika kamu ingin menyampaikan tentang
sesuatu hal untuk alasan dan tujuan tertentu kepada sesuatu yang berada dalam
dan di luar dirimu, kamu memilih kata-kata, frase-frase, kalimat-kalimat, dan
ungkapan yang kamu anggap sesuai dengan apa yang kamu inginkan sampaikan.
Orang Pesong : Contohnya....
Orang Gila : Pertama, dulu cendekiawan ketika hendak
mengungkapkan perasaan, menasehati, memberi saran, mengkritik, dan memberi
jalan keluar kepada para penguasa, mereka menggunakan pilihan kata-kata yang
dianggap santun, indah, dan lembut. Hal itu bertujuan agar para penguasa tidak
tersinggung dan marah. Jika para penguasa marah...Ah, gawat...(sambil
menggerakkan telunjuknya di leher sendiri.)
Orang Pesong : Sssstttt.....bukan
hanya itu...ini juga...(sambil mengacungkan telunjuk kanan ke kepalanya
sendiri.) Contoh lainnya?
Orang Gila : Kedua, dulu para pemberani ketika hendak
berjuang melawan para penjajah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan,
tak hanya dengan perjuangan fisik mengangkat senjata namun juga dengan berjuang
dengan sastra. Sastra yang bahan utamanya adalah bahasa. Mereka berjuang dengan
lisan dan tulisan, entahlah itu namanya debat, diskusi, berunding, lobi, dan
merayu. Bayangkan jika para penjajah tersinggung dan marah karena lisan dan
tulisan....gawat....(mengacungkan telunjuk kiri ke kepalanya sendiri).....Makin
gawat lagi kalau....(menggerakkan telapak tangan kanannya secara horizontal.)
Orang Pesong : Ada lagi argumentasimu?
Orang Gila : Ketiga, ketika kamu berinteraksi dengan
sesama manusia. Kamu tentu akan bermanis mulut. Kalau kamu dalam pergaulan,
kamu angkuh dalam berbahasa. Gawat...(menggerakkan telunjuk dan jari tengahnya
seperti menggunting kertas.)
Orang Pesong : Ah, kamu ini yang gawat. Sinting.
Argumentasimu itu adalah kata-kata bersayap.
Orang Gila : Itu dia. Kata-kata bersayap...Kata-kata
bersayap yang diucapkan olehmu itu adalah contoh sastra sebagai politik bahasa
dan bahasa politik.
Orang Pesong : Apakah kamu mengetahui makna kata labirin dan sastra?
Orang Gila : Ah, itu mudah. Aku hanya perlu membuka
kamus bahasa dan kamus istilah saja. Sebuah makna sejati dari sebuah kata mesti
bersumber asal kelahiran kata itu sebelum makna kata tersebut disepakati. Kata
X bertanya pada kata Y, “Darimanakan
engkau berasal kata wahai kata Y”. Lalu Y menjawab, “Entahlah. Aku ini hanya kata serapan. Aku dari diserap dari kosakata Z,
kosakata Z diserap dari kosakata A,
kosakata A diserap dari kosakata
B, kosakata B diserap dari kosakata C, kosakata C diserap dari kosakata D, dan
seterusnya.”
Orang Pesong : Kamu memang gila...
Orang
Gila : Gilagilagilagilagila...lagi
lagi lagi...Ini bisa menjadi puisi.
Orang Pesong : Tadi kamu mengatakan tentang kemerdekaan.
Tahu apa kamu tentang kemerdekaan?
Orang Gila : Kemerdekaan? Kemerdekaan adalah tidak
membuat yang ada dalam dan di luar dirimu sendiri menjadi tidak merdeka. Suatu
kemerdekaan tidak mesti membuat hilangnya kemerdekaan yang lain.
Orang Pesong : Jemu ah...Kamu ini memang....(telunjuknya miring di kening.)
Orang Gila : Aku juga jemu. Aku jenuh menonton
televisi di RUHANTAL ini. Bagaimana kalau kita usulkan kepada pengurusnya agar
mengundang penari-penari, penyair-penyair, dan penyanyi-penyanyi menghibur kita
yang sedang bosan ini.
Orang Pesong : Ah, boleh juga usulanmu itu.
Orang Gila : Ada tidak ya penyair gila yang mau
menghibur orang-orang seperti kita ini?
Orang Pesong : Entahlah. Ini untukmu. (memberikan sebuah buku)
Orang
Gila : Terima kasih. (membuka halaman
demi halaman)
Orang Pesong : Semoga kamu berminat untuk menulis dan
menerbitkan buku mesti tulisan-tulisanmu dianggap sebagai coret.
Orang
Gila : Moga-moga...Semoga kita selalu
sehat walafiat dan waras selamanya.
Di luar Rumah Penyembuhan Sakit Mental, asap semakin
menjadi-jadi. Itu telah terjadi berulang-ulang. Entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar