29/07/15

LABIRIN SASTRA


Dua orang manusia yang masih gagah sedang asyik bercakap-cakap di sebuah ruang santai Rumah Penyembuhan Sakit Mental (RUHANTAL). Manusia pertama memakai kacamata besar dan manusia kedua memegang sebuah buku besar berwarna hitam. Mereka berdua dikenal oleh penghuni RUHANTAL sebagai Orang Gila dan Orang Pesong. Sebelum mereka masuk RUHANTAL untuk dirawat, Orang Gila dikenal sebagai Orang Paling Cerdik dan Orang Pesong dikenal sebagai Orang Paling Licik. Entah apa sebabnya mereka jadi berganti nama dan masuk RUHANTAL.

Orang Pesong  :  Aku baru selesai menulis dan menerbitkan sebuah buku.
Orang Gila      : Wah, kamu hebat ya bisa menulis dan menerbitkan buku. Apa judulnya?
Orang Pesong : Judulnya Labirin Sastra. (Sambil memperlihatkan bagian depan bukunya.)
Orang Gila      :   Apa isi bukumu?
Orang Pesong :  Bukuku berisikan tentang teori-teori sastra, hasil telaah, sejarah sastra,      dan kritik sastra.
Orang Pesong  :   Teori-teori sastra dalam bukumu itu murni dari pikiranmu?
Orang Gila      :    Ya. Murni dari pikiranku. Adakalanya, aku tidak berpikir.
Orang Pesong :  Wah, wah, kamu memang hebat. Tidak berpikir, tetapi bisa membuat teori-teori sastra.
Orang Gila      :   Bagaimana caranya kamu menghasilkan teori-teorimu itu?
Orang Pesong :  Biasanya aku membaca teori-teori sastra yang sudah ada. Kemudian aku coba berpikir untuk membuat teori-teori baru.
Orang Gila      : Apakah benar kamu membuat teori-teori sastra baru? Jangan-jangan teori-teori sastra lama yang sudah ada, tetapi belum pernah dibaca dan diajarkan oleh orang-orang di negaramu.
Orang Pesong : Ah, kamu ini. Negaraku juga negaramu. Mengapa kamu menanyakan  itu? Kamu memang gila atau tidak?
Orang Gila      : Entahlah. Entahlahku ini tidak seperti lagu, puisi, atau ketidakpedulian. Orang-orang menganggap aku ini gila. Gila yang sinonim dengan gendeng, sableng, edan, tenggen, miring, sinting, crazy, dan senget. (Sambil menaruh telunjuk tangan kirinya di kening sendiri.) Aku hanya bertanya. Jangan marah. Lebih indah ramah daripada marah.
Orang Pesong : Ya. Betul. Aku membuat teori-teori sastra yang baru. Aku sudah membaca banyak buku tentang teori-teori sastra dari luar negeri. Aku terjemahkan teori-teori tersebut. Lantas, aku buat kesimpulannya.
Orang Gila      : Itu artinya kamu menerjemahkan teori-teori sastra dari buku-buku berbahasa asing. Lalu kamu menyimpulkan. Menyimpulkan atau meringkas?
Orang Pesong  : Apakah kamu sudah pernah membaca teori-teori sastra dalam bukuku?
Orang Gila      : Aku sudah baca. Aku meminjamnya dari perpustakaan.
Orang Pesong  : Nanti aku beri kamu bukunya.
Orang Gila      : Wah, terima kasih. Aku mau jujur saja ya. Jujur itu akrab dengan mujur. Jujur bukan fujur atau pujur. Bukumu itu hanya berisikan parafrase, nukilan, ikhtisar, terjemahan, dan kesimpulanmu dari teori-teori sastra yang kamu baca dari buku-buku berbahasa asing. Aku tidak membaca ada teori sastramu dalam bukumu itu.
Orang Pesong  : Ada. Ada. Ada teori sastraku dalam buku ini.
Orang Gila      : Apa teori sastramu itu?
Orang Pesong  : Teoriku adalah menulis dan membaca karya sastra mesti sesuai aturan.
Orang Gila      : Itu bukan teorimu. Itu sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Itu adalah kesepakatan. Itu adalah konvensi. Konvensi (sambil mengaitkan kedua telunjukknya)...bukan konveksi (menggerakkan telapak tangan kanannya ke atas.)
Orang Pesong  : Ah...Kamu seperti ahli tentang teori sastra saja.
Orang Gila      : Aku bukan ahli. Aku masih belajar tentang silsilah kata...Apa boleh aku gunakan istilah genesis kata? (keningnya berkedut dan kelopak matanya berkedip-kedip)...Sastra adalah politik bahasa dan politik bahasa.
Orang Pesong  : Apa argumentasimu?
Orang Gila      : Ketika kamu ingin menyampaikan tentang sesuatu hal untuk alasan dan tujuan tertentu kepada sesuatu yang berada dalam dan di luar dirimu, kamu memilih kata-kata, frase-frase, kalimat-kalimat, dan ungkapan yang kamu anggap sesuai dengan apa yang kamu inginkan sampaikan.
Orang Pesong  : Contohnya....
Orang Gila      : Pertama, dulu cendekiawan ketika hendak mengungkapkan perasaan, menasehati, memberi saran, mengkritik, dan memberi jalan keluar kepada para penguasa, mereka menggunakan pilihan kata-kata yang dianggap santun, indah, dan lembut. Hal itu bertujuan agar para penguasa tidak tersinggung dan marah. Jika para penguasa marah...Ah, gawat...(sambil menggerakkan telunjuknya di leher sendiri.)
Orang Pesong :  Sssstttt.....bukan hanya itu...ini juga...(sambil mengacungkan telunjuk kanan ke kepalanya sendiri.) Contoh lainnya?
Orang Gila      : Kedua, dulu para pemberani ketika hendak berjuang melawan para penjajah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, tak hanya dengan perjuangan fisik mengangkat senjata namun juga dengan berjuang dengan sastra. Sastra yang bahan utamanya adalah bahasa. Mereka berjuang dengan lisan dan tulisan, entahlah itu namanya debat, diskusi, berunding, lobi, dan merayu. Bayangkan jika para penjajah tersinggung dan marah karena lisan dan tulisan....gawat....(mengacungkan telunjuk kiri ke kepalanya sendiri).....Makin gawat lagi kalau....(menggerakkan telapak tangan kanannya secara horizontal.)
Orang Pesong  : Ada lagi argumentasimu?
Orang Gila      : Ketiga, ketika kamu berinteraksi dengan sesama manusia. Kamu tentu akan bermanis mulut. Kalau kamu dalam pergaulan, kamu angkuh dalam berbahasa. Gawat...(menggerakkan telunjuk dan jari tengahnya seperti menggunting kertas.)
Orang Pesong : Ah, kamu ini yang gawat. Sinting. Argumentasimu itu adalah kata-kata bersayap.
Orang Gila      : Itu dia. Kata-kata bersayap...Kata-kata bersayap yang diucapkan olehmu itu adalah contoh sastra sebagai politik bahasa dan bahasa politik.
Orang Pesong  : Apakah kamu mengetahui makna kata labirin dan sastra?
Orang Gila      : Ah, itu mudah. Aku hanya perlu membuka kamus bahasa dan kamus istilah saja. Sebuah makna sejati dari sebuah kata mesti bersumber asal kelahiran kata itu sebelum makna kata tersebut disepakati. Kata X bertanya pada kata Y, “Darimanakan engkau berasal kata wahai kata Y”. Lalu Y menjawab, “Entahlah. Aku ini hanya kata serapan. Aku dari diserap dari kosakata Z, kosakata Z diserap dari kosakata A,               kosakata A diserap dari kosakata B, kosakata B diserap dari kosakata C, kosakata C diserap dari kosakata D, dan seterusnya.”
Orang Pesong  : Kamu memang gila...
Orang Gila      : Gilagilagilagilagila...lagi lagi lagi...Ini bisa menjadi puisi.
Orang Pesong : Tadi kamu mengatakan tentang kemerdekaan. Tahu apa kamu tentang kemerdekaan?
Orang Gila      : Kemerdekaan? Kemerdekaan adalah tidak membuat yang ada dalam dan di luar dirimu sendiri menjadi tidak merdeka. Suatu kemerdekaan tidak mesti membuat hilangnya kemerdekaan yang lain.
Orang Pesong  : Jemu ah...Kamu ini memang....(telunjuknya miring di kening.)
Orang Gila      : Aku juga jemu. Aku jenuh menonton televisi di RUHANTAL ini. Bagaimana kalau kita usulkan kepada pengurusnya agar mengundang penari-penari, penyair-penyair, dan penyanyi-penyanyi menghibur kita yang sedang bosan ini.
Orang Pesong  : Ah, boleh juga usulanmu itu.
Orang Gila      : Ada tidak ya penyair gila yang mau menghibur orang-orang seperti kita ini?
Orang Pesong  : Entahlah. Ini untukmu. (memberikan sebuah buku)
Orang Gila      : Terima kasih. (membuka halaman demi halaman)
Orang Pesong : Semoga kamu berminat untuk menulis dan menerbitkan buku mesti tulisan-tulisanmu dianggap sebagai coret.
Orang Gila      : Moga-moga...Semoga kita selalu sehat walafiat dan waras selamanya.

Di luar Rumah Penyembuhan Sakit Mental, asap semakin menjadi-jadi. Itu telah terjadi berulang-ulang. Entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar